Cerita Soulmate #6: Jodoh yang Sudah Ditakdirkan

Aku ingin melanjutkan kisahku menemukan pasangan jiwaku dengan dengan menceritakan kejadian yang menjadi pertanda hal itu terjadi. Bertahun-tahun sebelum aku bertemu Arnie, aku masih tinggal di San Diego. Aku sedang berbicara dengan guru spiritualku, Dr. Carmela Corallo.

Aku menanyakan masalah yang sedang kuhadapi dengan pacarku waktu itu, Craig. Corallo menggali suara hatinya. Ia menyebutkan kalau ia tidak melihat cara agar hubunganku dengan Craig bisa berhasil.

“Craig mencintaimu,”  Corallo membenarkan, “dan tampaknya ada kesempatan kalau dia bisa memutuskan untuk menikahimu. Namun kalau pun dia melakukannya, aku perlu  menyarankan agar kamu menolak lamarannya.

“Berkali-kali kamu mengalami LDR dengan suamimu. Kamu selalu membenci pisah yang terlalu jauh. Jika kamu menikahi Craig, hal yang sama akan terjadi lagi. Hidup Craig akan memaksa kalian berdua untuk sering berpisah. Aku tidak bisa membayangkan kamu bisa bahagia dalam hubungan pernikahan sambil LDR.

“Jika kamu melepaskan Craig dan menunggu, kelak kamu akan bertemu pria lain yang akan menjadi suami yang benar-benar kamu inginkan. Suami yang mau membagi semua waktunya denganmu. Walaupun kamu dan Craig saling mencintai, kamu akan merasa hidupmu berantakan kalau kamu menikah dengannya.”

Apa yang Corallo sampaikan sangat membuatku tertekan. Terlebih lagi karena saran ini sangatlah mencerahkan. Pekerjaan Craig sudah membuatnya harus pergi berbulan-bulan, tidak ada kemungkinan kalau hal ini akan berubah.

LDR kami berdua sangat menyiksaku.  Aku tahu kalau Craig merasa sangat bersalah karena telah membuatku tidak bahagia. Aku benci harus melepaskan harapan kalau kami kelak bisa hidup bahagia walau pun kami harus sering terpisah. Namun aku sangat menghormati pandangan Carmela. Aku tahu kemungkinan besar dia benar. Craig tidak akan berubah,dan aku tidak akan pernah bahagia dengan suami part-time.

“Jika Craig dan aku tidak menikah, kapankah aku bisa bertemu pria lain ini?” kutanya Carmela.

Percakapanku dengan Carmela ini kulupakan sampai akhirnya aku pindah dari San Diego ke Los Angeles. Aku bertemu Arnie 8 tahun kemudian.

Arnie dan Aku

jodoh takdir

Beberapa minggu setelah aku dan Brent putus, aku mendapat telepon dari orang asih beraksen South Bronx. Sebagai mantan penduduk New York, aku merasa suaranya sangat bersahabat.

Penelepon ini mengenalkan dirinya sebagai Dr. Arnie Weiss. Dia bilang dia mendapat nomor teleponku dari salah satu mahasiswaku, yang merekomendasikan kami berdua untuk bertemu.  Alasannya, kami sama-sama alumni A Course of Miracles.

Arnie menjelaskan kalau ia sedang berencana untuk membuat workshop dan seminar berdasarkan isi A Course of Miracles. Arnie merasa ia perlu terapis wanita dengan pemikiran yang sama untuk jadi co-founder usahanya ini. Kami pun menjadwalkan meeting di satu kafe untuk menggali kemungkinan yang bisa kami lakukan.

Ternyata Arnie ini pria yang tinggi dan menarik. Ia beberapa tahun lebih tua dariku. Aku terpesona oleh kecerdasannya, selera humornya, dan pengetahuannya yang luas akan A Course of Miracle. Yang terakhir ini bukanlah bacaan ringan.

Arnie ini orangnya terbuka, bersahabat, dan mudah diajak bicara. Tampaknya kami berdua bisa bekerja sama dengan baik.

Aku sudah suka Arnie dari perjumpaan pertama kami ini. Namun jujur, tidak pernah muncul di benakku kalau hubungan kami akan jadi lebih dari sekadar hubungan profesional.

Satu hal yang pasti, aku baru saja putus dengan Bren dan sedang menikmati sensasi baru dari tidak membutuhkan pacar untuk bisa bahagia. Untuk pertama kalinya sejak masa puber, aku tidak menilai setiap pria yang kutemui apakah cocok untuk jadi kekasih atau tidak!

Selain itu, Arnie bukanlah tipeku. Aku cenderung mencari pria petualang dan ceria. Arnie sebagai pria berlatar belakang sains dan bisnis, terlihat terlalu konservatif dan intelektual untuk membuatku merasa tertarik secara romantis. Perbedaan 12 tahun antara aku dan Arnie melengkapi  gambaran kalau Arnie ini seorang pria yang akan menjadi  teman dan kolega kerja yang berharga. Namun tidak lebih dari itu.

Arnie pun merasakan hal yang sama tentangku. Dia punya aturan tersendiri yang cukup tegas kalau ia tidak akan mendekati wanita di bawah usia 40. Selain itu, Arnie beranggapan kalau kecantikan feminin itu wanita yang kecil mungil. Sebagai wanita pirang 175 cm, lonceng romantis Arnie tidak berdentang seperti juga lonceng romantisku yang tak bersuara. Sebenarnya bagi Arnie tak masalah, karena biasanya hubungan profesional akan jadi rumit kalau dikaitkan dengna ketertarikan seksual.

Bagaimana pun juga, Arnie bilang padaku kalau tak satu hal pun dalam diriku yang menarik perhatiannya pada perjumpaan pertama kami. Saat kami bersiap-siap untuk pergi dari kafe, iaingat kalau ia menghampiriku, meletakkan tangannya di atas tanganku, menatap mataku dalam-dalam dan berkata, “Aku sangat senang bisa berjumpa denganmu!”

Baca kelanjutan dari artikel ini di Cerita Soulmate #7:  Ketika Suara Hatiku Berkata Kalau Dialah Jodohku