KERAJAAN SRIWIJAYA – Sriwijaya adalah sebuah kerajaan yang sangat terkenal di wilayah nusantara bagian barat. Sriwijaya sendiri termasuk salah satu dari kerajaan besar yang mempunyai wilayah yang luas serta armada perang yang kuat. Kerajaan ini dahulunya menjadi pusat transit perdagangan antar kawasan Asia dan Eropa.
Selain karena daerah basisnya yang berada di semenanjung Sumatera Selatan daerah-daerah kekuasaan lainnya juga tersebar di semenanjung Malaka. Lalu seperti apakah sejarah dari kerajaan ini? Berikut penjelasannya.
Rekam Jejak Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya adalah sebuah kerajaan budha yang berdiri sejak abad 6 M. Kerajaan ini mencapai kejayaan pada abad 9-10 M dengan menguasai seluruh jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara.
Kerajaan Sriwijaya mempunyai wilayah kekuasaan yang hampir meyeluruh sampai Asia Tenggara, diantaranya adalah Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam dan juga Filipina.
Kerajaan yang berbasis di pesisir ini terkenal dengan armada maritimnya yang kuat sampai-sampai disegani oleh lawan-lawannya. Dengan kekuatan tersebut maka langkah untuk memerluas kekuasaan berjalan sangat pesat. Itulah kunci keberhasilan kerajaan ini dan menjadikannya kerajaan terbesar di Asia Tenggara pada abad 6-10 M.
Masa Kejayaan Sriwijaya
Sriwijaya mencapai puncak kejayaan pada masa kekuasaan Dapunta Hyang Sri Jayanaga. Saat Dapunta Hyang Sri Jayanaga dikenal sangat pandai dalam meramu taktik perang dan juga peduli terhadap rakyatnya. Selama Dapunta Hyang Sri Jayanaga memerintah, kerajaan Sriwijaya berhasil menguasai semua wilayah kerajaan yang meliputi hampir seluruh Asia Tenggara.
Kerajaan Sriwijaya saat itu bahkan terkenal dengan armada laut paling kuat dalam sejarah bangsa Indonesia. Dalam sebuah prasasti disebutkan bahwa Dapunta Hyang Sri Jayanaga melakukan ekspansi selama 8 hari dengan 20.000. Tujuan dari ekspansi adalah untuk memperluas daerah kerajaan dan berhasil membuat Sriwijaya menjadi makmur.
Kemajuan Ekonomi Kerajaan Sriwijaya
Pada jamannya dahulu kerajaan Sriwijaya menggunakan sistem perekonomian pesisir dimana pendapatan diperoleh dari biaya penyeberangan dan juga bea cukai barang dagangan. Rata-rata penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan dan pedagang.
Saat itu Sriwijaya adalah salah satu jalur emas perdagangan eropa dan asia sehingga untuk memenuhi kebutuhan melalui ekspor impor sangat mudah dilakukan di sana. Bahkan banyak dari para saudagar India dan Cina menggunakan Sriwijaya sebagai gudang penitipan barang yang dibeli dari daerah jawa dan semenanjung malaka.
Kebudayaan Sriwijaya
Kebudayaan masyarakat Sriwijaya adalah kebudayaan yang dipengaruhi agama budha. Sehingga pada pusat pemerintahannya sering sekali diadakan acara persembahyangan pada budha untuk meminta kemakmuran.
Selain itu juga ada semacam pengadilan kerajaan yang memutuskan dan mengadili para pelaku kejahatan yang melanggar aturan kerajaan. Bisanya hukuman digelar di pelataran hukuman yang dibuka untuk umum agar siapa saja yang menyaksikan tidak melakukan kejahatan serupa.
Dalam sejarah kerajaan Sriwijaya sangat menghormati keberagaman makhluk hidup serta peradilan yang tegas. Tidak ada yang bisa lolos dari hukuman meskipun itu pejabat kerajaan sekalipun.
Struktur Pemerintahan dan Wilayah Kerajaan
Sriwijaya menggunakan sistem pemerintahan yang diselenggarakan berdasarkan struktur kerajaan. Penyelenggaraan pemerintahan dipimpin oleh raja dan semuanya wajib tunduk pada aturan kerajaan. Sriwijaya memiliki ciri khusus dalam penentuan pasukan kerajaan dan armada perang.
Pasukan kerajaan dipilih dengan mempertimbangkan kemampuannya melindungi dan bertarung. Sedangkan pasukan armada lautnya dilatih dengan sangat khusus. Tidak sembarangan orang bisa masuk.
Sriwijaya mempunyai wilayah kekuasaan yang hampir meyeluruh sampai Asia Tenggara, diantaranya adalah Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam dan juga Filipina.
Raja-raja yang Pernah Berkuasa
Raja-raja Sriwijaya yang berkuasa sejak mulai berdiri sampai runtuhnya adalah:
Masa awal kerajaan: Dapunta Hyang Sri Jayanasa, Sri Indravarman, Rudra Vikraman, Maharaja, WisnuDharmmatunggadewa, Dharanindra Sanggramadhananjaya.
Masa pertengahan kerajaan: Samaragrawira, Samaratungga, Balaputradewa, Sri UdayadityavarmanSe-li-hou-ta-hia-li-tan, Hie-tche (Haji), Sri CudamanivarmadevaSe-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa, Sri MaravijayottunggaSe-li-ma-la-pi, Sumatrabhumi, Sangramavijayottungga, Rajendra Dewa, KulottunggaTi-hua-ka-lo, Rajendra II.
Masa menjelang runtuhnya kerajaan: Rajendra III, Srimat Trailokyaraja, Maulibhusana Warmadewa, Srimat, Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa, Srimat, Sri Udayadityawarma Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa.
Masa Kedigdayaan Kerajaan Sriwijaya
Menurut sumber catatan sejarah yang berasaldari Arab, Sriwijaya disebut dengan nama Sribuza. Seorang sejarawan Arab klasik sekaligus seorang pengelana (musafir) yang bernama Al Mas’udi menulis sebuah catatan tentang Sriwijaya pada tahun 955 M.
Dalam catatan tersebut digambarkan bahwa kerajaan Sriwijaya adalah kerajaan yang besar dan kaya raya disertai dengan tentara yang juga banyak. Dan disebutkan pula bahwa kapal tercepat yang ada waktu itu tidak akan cukup untuk mengelilingi seluruh wilayah pulau kerajaan Sriwijaya.
Hasil bumi dari kerajaan Sriwijaya adalah kapur barus, cengkeh, kay cendana, kayu gaharu, pala, gambir, kapulaga, dan masih banyak lagi.
Sedangkan dari catatan yang lain disimpulkan oleh seorang ahli dari Persia Abu Zaid Hasan menyebutkan bahwa kerajaan Sriwijaya maju dibidang agraris. Abu Zaid Hasan ini mendapatkan keterangan dari Sujaimana seorang pedagang dari Arab.
Abu Zaid menulis bahwa kerajaan Zabaj (sebutan untuk kerajaan Sriwijaya bagi orang Arab) mempunyai tanah yang subur dan kekuasaannya luas sampai menyeberang lautan.
- Berkuasa di Jawa
Di pulau Jawa, pewaris dari Dharanindra adalah Samaragrawira yang memerinyah pada tahun 800-819 M. Hail ini disebutkan dalam Prasasti Nalanda sebagai ayah dari Balaputradewa dan putra Sailendravamsatilaka dengan nama gelar Sriviravairimathana yang berarti pembunuh perwira musuh yang merujuk pada Dharanindra.
Tidak seperti pendahulunya yang tidak gemar berperang, seperti Rakai Warak yang lebih cenderung cinta damai. Rakai Warak menikmati kemakmuran dan kedamaian di dataran Kedu pedalaman pulau Jawa dan lebih condong untuk menyelesaikan pembangunan Candi Borobudur.
Kemudian Rakai Warak menunjuk seorang pangeran Khmer yang bernama Jayawarman sebagai Gubernur Indrapura di Delta Sungai Mekong dalam kekuasaan Sailendra. Keputusan yang dibuatnya itu merupakan sebuah kesalahan besar karena Jayawarman dikemudia hari memberontak dan memindahkan Ibukota lebih jauh ke pedalaman utara, yang asalnya di Tonle Sap dipindahkannya ke Mahendraparwata.
Selain itu Jayawarman juga memutuskan ikatan dan memproklamirkan kemerdekaan Kamboja dari Jawa di tahun 802 M.
Sedangkan sjarawan sebelumnya, seperti N. J. Krom dan Coedes, lebih cenderung menyamakan anatara Rakai Warak dengan Samaratungga. Namun, ada sejarawan lain seperti Slamet Muljana yang kemudian menyamakan Samaratungga dengan Rakai Garung yang disebut di Prasasti Mantyasih yang berkedudukan sebagai raja kelima dari kerajaan Mataram. Hal itu berarti Samaratungga merupakan penerus dari Rakai Warak.
Dewi Tara yang merupakan putri Dharmasetu menikah dengan Samaratungga seorang anggota keluarga dai Sailendra. Di abad ke-8 M istana Sriwijaya berpindah tempat ke Jawa karena raja-raja dari wangsa Sailendra diangkat sebagai Maharaja Sriwijaya.
Samaratungga menjadi raja Sriwijaya berikutnya setelah menggantikan Dharmasetu. Samaratungga berkuasa pada tahun 792-835 M. Tidak sama dengan Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak ikut terjun dalam ekspansi militer. Samaratungga lebih suka memperkuat pemerintahan dan pengaruh Sriwijaya terhadap Jawa.
Secara pribadi, Samaratungga mengawasi jalannya proses pembangunan Candi Borobudur yang akhirnya selesai pada tahun 825 M masih dalam masa pemerintahannya.
Menurut salah seorang sejarawan Perancis George Coedes, Jawa dan Sumatra bersatu pada paruh kedua abad kesembilan dibawah kekuasaan wangsa Sailendra, dengan pusat perdagangannya di Palembang.
Seperti halnya Rakai Warak, Samaratungga juga sepertinya sangat dipengaruhi oleh kepercayaan Buddha Mahayana yang merupakan cinta damai. Dia selalu berusaha menjadi pemimpin yang welas asih.
Setelah kepemimpinan Samaratungga, penggantinya adalah Putri Pramodhawardhani tunangan dari Rakai Pikatan yang menganut ajaran Siwa. Rakai Pikatan adalah putra dari Rakai Papatan seorang penguasa yang banyak berpengaruh di Jawa Tengah.
Langkah ini sepertinya sebuah upaya untuk mengamankan kekuasaan Sailendra di Jawa dengan mendamaikan hubungan dari dua aliran yaitu aliran Buddha Mahayana dan aliran Hindu Siwa.
Masa Penurunan Kerajaan Sriwijaya
Jadi setelah melalui masa keemasan, kerajaan Sriwijaya juga mengalami masa penurunan yang mana dalam catatan sejarah hal tersebut terjadi ketika Kerajaan Sriwijaya mendapatkan serangan dari Kerajaan Chola dan ditambah dengan munculnya nama kerajaan Dharmasraya yang menggantikan kepopuleran Kerajaan Sriwijaya di Asia Tenggara.
- Saat Mendapatkan Serbuan Dari Kerajaan Chola
Jadi tepatnya pada tahun 1017 – 1025, seorang raja dari Kerajaan Chola yang berada di India Selatan bernama Rajendra Chola mengutus para prajuritnya untuk melakukan ekspedisi laut guna menyerbu kerajaan Sriwijaya. Adapun di dalam prasasti Tanjore menyebutkan bahwa Kerajaan Chole berhasil menawan Raja Sriwijaya pada saat itu Yakni Sangrama-Vijayottunggawarman sekaligus berhasil menaklukkan beberapa daerah kekuasaan Sriwijaya seperti wilayah Nikobar.
Akan tetapi Raja Chola tetap memberikan kebebasan kepada Raja Sriwijaya selama menjalankan kekuasaan asalkan mereka tetap tunduk terhadap Raja Chola. Namun di sisi lain kemunduran Sriwijaya juga dipengaruhi oleh kondisi alam yang mana pada saat itu terjadi pengendapan lumpur di sungai Musi sehingga mengurangi kapal-kapal dagang yang hendak ke sana. Akibatnya pendapatan dari hasil pajak menurun drastis dan juga melemahkan perekonomian pada saat itu.
Nah, sejak saat itu banyak orang dari Kerajaan Sriwijaya yang migrasi ke Kalimantan Selatan dan di sana mereka mendirikan sebuah kerajaan yang sejaman dengan kerajaan Sriwijaya. Dari sini sudah mulai terlihat era kejayaan Kerajaan Sriwijaya semakin melemah hingga membuat orang-orang Sriwijaya lari untuk bermigrasi.
Bahkan bisa dikatakan pada saat itu Kerajaan Sriwijaya sudah menjadi bagian dari Kerajaan Chola. Dalam catatan Tiongkok menyebutkan di tahun 1079, raja dari dinasi Kerajaan Chola yaitu Rajendra Chola kembali mengirimkan bantuan ke wilayah jajahan Kerajaan Sriwijaya untuk memperbaiki Candi-candi yang berada di dekat Kanton.
Jadi pengaruh invasi semenjak diserbunya Kerajaan Sriwijaya oleh Kerajaan Kanton membuat hegemoni Sriwijaya semakin melemah, hingga pada akhirnya beberapa wilayah yang dijajah berhasil melepaskan diri dan mendirikan sebuah Kerajaan Baru yang bernama Paguruyung dan Dharmasraya mampu berjaya dan memiliki kekuatan baru hingga menguasai Semenanjung Malaya sampai ke Jawa Barat.
- Munculnya Kekuatan Baru Kerajaan Dharmasraya
Berdasarkan salah satu buku Tiongkok yaitu Chu-fan-chi menerangkan bahwa pada abad ke-11 di sepanjang kepulauan Asia Tenggara ada 2 kerajaan yang sangat kaya dan kuat yaitu San-fo-ts’i dan Cho-po. Jadi San-fo-ts’i merupakan sebutan untuk Kerajaan Sriwijaya oleh masyarakat Tiongkok, sedangkan Cho-po adalah sebutan untuk wilayah Jawa.
Adapun dua kerajaan tersebut disebutkan dalam buku Tiongkok bahwa yang di Jawa rakyatnya kebanyakan memeluk agama Budha dan Hindu, sementara rakyat San-fo-ts’i mayoritas memeluk agama Budha dan dikabarkan mempunyai 15 wilayah kekuasaan meliputi : Kamboja, Thailand Selatan, Langkasuka, Kelantan, Pahang, Terengganu, Semenanjung Malaya, Aceh, Palembang, Jambi dan Sunda.
Akan tetapi pada saat itu San-fo-ts’i sudah tidak identik dengan Kerajaan Sriwijaya lagi melainkan Kerajaan Dharmasraya. Padahal seperti yang telah di jelaskan di atas bahwa Kerajaan Dharmasraya merupakan Kerajaan yang baru muncul pasca Menurunnya kekuatan Kerajaan Sriwijaya. Akan tetapi Kerajaan Dharmasraya hegemoninya telah terdengar ke berbagai penjuru dan bahkan dalam buku sejarah Tiongkok juga mencatat hal tersebut.
Warisan Sriwijaya
Walaupun kerjaaan sriwijaya hanya menyisakan sedikit penginggalan arkeologi dan keberadannya sempat terlupakan oleh masyarakat pendukungnya, penemuan kembali yang dilakukan oleh Coedes menemukan sebuah kemaharajaan bahari ini di sekitar tahun 1920an membangkitkan kesadaran bahwa kemaharajaan yang terdiri dari persekutuan kerajaan-kerajaan bahari pernah ada, tumbuh dan berjaya di masa lalu.
Warisan terpenting dari Sriwijaya adalah bahasanya. Selama berabad-abad, kekuatan ekonomi dan militernya sangat berperan besar terhadap tersebarluasnya penggunaan Bahasa Melayu Kuno setidaknya di daerah pesisir Indonesia. Bahasa Melayu Kuno menjadi bahasa yang digunakan sebagai penghubung berbagai pasar dan bandar di kawasan Nusantara.
Tersebarnya Bahasa Melayu Kuno ini kemungkinan yang telah membuka dan menjadikan jalan bagi Bahasa Melayu sebagai bahasa nasional Negara Malaysia dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional Negara Indonesia. Adapun Bahasa Melayu Kuno digunakan hingga abad ke 14 Masehi.
Selain Majapahit, Sriwijaya juga diagungkan sebagai sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau oleh kaum nasionalis Indonesia. Bagi penduduk kota Palembang, Sumatera Selatan, kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan identitas daerah. Keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi. Keluhuran Sriwijaya dijadikan sebagai inspirasi seni budaya seperti lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Bahkan masyarakat selatan Thailand menciptakan kembali tarian yang berdasarkan pada keanggunan seni budaya Sriwijaya yang diberi nama tarian Sevichai.
Di Indonesia, nama Sriwijaya telah banyak digunakan sebagai nama jalan, perusahaan, universitas yang tersebar di berbagai kota di Indonesia. Ini dia penggunaan nama Sriwijaya pada berbagai tempat
- Universitas Sriwijaya. Universitas ini didirikan di Palembang pada tahun 1960.
- Kodam II Sriwijaya
- PT Pupuk Sriwijaya. Merupakan industri urea dan amoniak di Palembang yang didirikan pada tanggal 12 November 2010.
- Sriwijaya Post. Merupakan nama dari sebuah surat kabar atau koran harian di Palembang
- Sriwijaya TV
- Sriwijaya Air
- Stadion Gelora Sriwijaya
- Sriwijaya Football Club
Semua instansi yang menggunakan nama tersebut mempunyai tujuan untuk memuliakan, menghormati dan merayakan kerajaan Sriwijaya yang gemilang.
SEA Games 2011 dibuka dengan upacara pembukaan pada tanggal 11 November 2011 di Stadion Gelora Sriwijaya, Palembang. Upacara tersebut menampilkan tarian kolosal yang bertajuk “Sriwijaya the Golden Peninsula” menampilkan tarian tradisional Palembang serta replika perahu Sriwijaya dengan ukuran yang sebenarnya untuk menggambarkan kejayaan kerajaan ini.
Faktor-Faktor yang menyebabkan Sriwijaya menjadi Kerajaan yang Kuat
Sriwijaya merupakan sebuah kerajaan yang kuat pada masanya. Hal tersebutkan disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah
- Faktor Geografis
Kerajaan Sriwijaya memiliki letak yang strategis dalan jalur perdagangan antara India dan Tiongkok, lebih ramai lagi setelah jalan darat antara India dan Tiongkok terputus. Selain itu, kerajaan Sriwijaya berhasil menguasai perairan di Selat Malaka, Semenanjung Malaya, Selat Sunda dan tanah Genting Kra yang sangat menguntungkan apabila dilihat dari segi perdagangan dan militer.
- Faktor Ekonomi
Selain faktor geografis, faktor ekonomi juga sangat mempengaruhi kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan yang kuat. Hal tersebut dikarenakan di Sumatera banyak dihasilkan barang-barang untuk diperdagangkan seperti gading, penyu, kapus barus, dll
- Keruntuhan Kerajaan Funan
Karena terjadinya keruntuhan kerajaan Funan akibat serangan Kamboja yang dulunya sangat berperan di Asia Tenggara membuat posisi kerajaan Sriwijaya cepat berkembang sebagai Negara Maritim.
Hubungan diplomatik antara kerajaan Sriwijaya dengan India ternyata tidak bertahan lama. Pada tahun 1025 Masehi, terjadi penyerbuan besar-besaran yang dilakukan oleh Kerajaan Colamandala yang berasal dari India ke wilayah Sriwijaya. Dalam peristiwa tersebut, Raja Sriwijaya yang bernama Sanggramawijaya Tunggawarman berhasil ditawan.
Pusat Kerajaan Sriwijaya
Berdasarkan Prasasti Kedukan Bukit, yang diperkirakan dibuat pada tahun605 Saka (683 M), Kerajaan Sriwijaya pertama kali didirikandi daerah Palembang, di tepian Sungai Musi. Adapun, teori Palembang sebagai tempat di kerajaan Sriwijaya pertama kali bermula diajukan oleh seorang peneliti, Coedes dan didukung oleh Pierre-Yves Manguin.
Berapa peninggalan sejarah di Palembang menggambarkan hal tersebut yaitu Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya yang terletak di barat daya pusat kota Palembang. Situs tersebut membentuk poros yang menghubungkan Bukit Seguntang dan tepian Sungai Musi.
Pada tahun 1993, sang peneliti, Pierre-Yves Manguin melakukan observasi dan berpendapat bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi. Lebih tepatnya disekitar situs Karanganyar diantara Bukit Seguntang dan Sabokingking, sekarang di provinsi Sumatera Selatan. Situs Karang Anyar tesebut merupakan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya.
Dasar pendapat ini ialah dari foto udara yang diadakan pada tahun 1984 menunjukkan bahwa situs Karanganyar menampilkan bentuk bangunan air, berupa jaringan kanal, kolam, parit,dan pulau buatan yang disusun rapi yang dipastikan situs ini adalah hasil buatan manusia.
Bangunan air tersebut terdiri dari kolam dan dua pulau berbentuk bujur sangkar dan empat persegi panjang, dilengkapi dengan jaringan kanal dengan luas areal meliputi 20 hektare. Pada situs ini ditemukan banyak peninggalan purbakala yang menunjukkan bahwa kawasan ini pernah menjadi pusat permukiman dan pusat kehidupan manusia.
Ada pendapat lain mengenai pusat kerajaan Sriwijaya. Berdasarkan pendapat Soekmono pusat Sriwijaya terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi yang sekarang merupakan provinsi Jambi.
Pendapat ini memiliki beberapa catatan, yaitu jika Malayu tidak di kawasan tersebut, maka pusatnya berada di kawasan sehilir. Namun jika malayu berada pada kawasan tersebut, ia cenderung menyetujui pendapat Moens yang sebelumnya juga telah berpendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara Takus berada provinsi Riau sekarang. Pendapat tersebut dengan asumsi petunjuk arah perjalanan dalam catatan I Tsing.
Pada perkembangannya, penelitian arkeologi yang digelar oleh Universitas Indonesia pada tahun 2013 menemukan beberapa situs keagamaan dan tempat tinggal di Muaro Jambi. Fakta tersebut menunjukkan bahwa pusat awal Sriwijaya mungkin saja terletak di daerah Kabupaten Muaro Jambi, pada tepian sungai Batang Hari, bukanlah di Sungai Musi seperti anggapan para ahli sebelumnya.
Situs arkeologi yang sedang diteliti tersebut mencakup delapan candi yang sudah digali, pada kawasan seluas sekitar 12 kilometer persegi, membentang 7,5 kilometer di sepanjang Sungai Batang Hari. Selain itu terdapat juga 80 menapo atau gundukan reruntuhan candi yang belum dipugar.
Corak dari Situs Muaro Jambi adalah Buddha Mahayana-Wajrayana. Fakta tersebut menunjukkan bahwa situs tersebut adalah pusat pembelajaran Buddhis yang dikaitkan dengan tokoh cendekiawan Buddhis yang sangat terkenal Suvarṇadvipi Dharmakirti dari abad ke-10. Bukti pendukung lain ialah catatan sejarah dari Tiongkok juga menyebutkan bahwa Sriwijaya menampung ribuan biksu.
Terdapat pula teori lain yang mengajukan pendapat bahwa Dapunta Hyang berasal dari pantai timur Semenanjung Malaya lebih tepatnya di Surat Thani, Thailand Selatan adalah Chaiya yang merupakan pusat kerajaan Sriwijaya.
Selain itu, ada pula pendapat yang menyatakan bahwa nama kota Chaiya berasal dari kata “Cahaya” dalam bahasa Melayu. Ada pula yang percaya bahwa nama Chaiya berasal dari Sri Wijaya, dan kota ini adalah pusat Sriwijaya. Adapun, Teori ini kebanyakan didukung oleh sejarahwan yang berasal dari Thailand walaupun secara umum teori ini dianggap kurang kuat.