Sejarah Nike: Lebih dari Sekadar Produsen Sepatu

Nike Inc. adalah korporasi global dalam bidang olah raga dan kebugaran yang didirkan oleh mahasiswa yang juga pelari bersama pelatihnya untuk mengimpor sepatu lari dari Jepang. Hari ini, “swoosh” Nike merupakan salahs atu logo paling dikenal di dunia.

Akan tetapi, sepatu yang nyaman ini juga mengungkap kebenaran yang pahit dari kapitalisme global. Perusahaan ini mempekerjakan 29.000 orang di seluruh dunia, namun buruh-buruh yang mengerjakan produk-produknya berjumlah dua kali lipat. Para pekerja yang tidak memiliki saham dan digaji rendah di pabrik-pabrik yang dikontrak Nike di Asia, tempat kerja yang digambarkan sebagai abusive sweatshops.

Tonggak Sejarah Nike

1964: Philip Knight dan Bill Bowerman mendirikan Blue Ribbon Sports Inc.

1967: Bill Bowerman menulis Jogging,dan kernjingan pada jogging mulai menyebar.

1968: Knight dan Bowerman mendirikan Nike Inc.

1971: Knight menugaskan pembuatan logo “swoosh.”

1976: Sepatu Nike digunakan oleh atlet-atlet Amerika di Olimpiade.

1979: Nike mengembangkan “sol udara.”

1980: Perusahaan menjual saham kepada publik.

1997: Michael Moore mempertanyakan praktik-praktik ketenagakerjaan Nike dalam The Big One.

2000: Naomi Klein mengkritik perusahaan dalam No Logo.

Pada akhir tahun 1950-an, Philip Knight adalah seorang mahasiswa akuntansi dan pelari jarak jauh di University of Oregon. Pelatihnya adalah Bill Bowerman, yang juga atlet Olimpiade yang terlatih.

Sewaktu berada di Graduate School of Business di Stanford University, Knight menulis rencana bisnis berjudul “Can Japanese Shoes Do to German Sport Shoes Wha Japanese Cameras Did to German Cameras?”

Dari Blue Ribbon ke Nike Inc.

Pada tahun 1964, melalui jabat tangan dengan Bowerman dan investasi masing-masing sebesar $500, Knight memulai Blue Ribbon Sports Inc. dari kamar binatu milik ibunya. Perusahaan ini didirikan untuk mendistribusikan alas kaki atletik yang diimpor dan bermerek Onitsuka Tiger di Amerika Serikat.

Rencana bisnis pascasarjana Knight terwujud. Selagi ia mengelola perusahaan, Bowerman mengalihkan perhatiannya untuk mendesain sepatu lari.

Jeff Johnson, pelari yang juga mengambil antropologi sebagai bidang studi utama di Stanford, menjadi karyawan pertama perusahaan pada 1965. Ia menjual sepatu Blue Ribbon dari belakang mobil vannya di dalam pertemuan di lintasan lari SMA. Johnson juga membuka gerai eceran pertama perusahaan di Santa Monica.

Pada 1967, setelah mengunjungi Selandia Baru, Bowerman menulis buku berjudul Jogging. Buku saku yang terjual jutaan eksemplar ini memperkenalkan konsep jogging ke Amerika Serikat.

Pada 1968, Knight dan Bowerman mendirikan Nike Inc. Nama itu dipilih oleh Johnson, yang ia ambil dari kata Yunani dan bermakna dewi kemenangan.

Pada 1971, perusahaan kekurangan uang tapi memerlukan logo sepatu untuk presentasi ke Jepang. Knight menemui mahasiiswa desain, Carolyn Davidson. Ia menawarkan Carolyn $2 per jam untuk menggarap desain yang menggambarkan gerakan.

Hasilanya adalah “swoosh” yang terkenal melebihi nama perusahaan. “Saya tidak menyukainya, namun akan semakin saya senangi,” kata Knight. Carolyn mengiriminya tagihan sebesar $35. Carolyn kemudian menyimpan bukti pembayarannya dan kelak mendapat penghargaan yang bagus dari perusahaan.

Mensponsori Atlet

Knight, Bowerman, dan Johnson memiliki kredibilitas untuk memasarkan Nike di dunia atletik Amerika. Aset pertama mereka yang ada di lintasan adalah Steve Prefontaine, anak ajaib dari University of Oregon sekaligus salah seorang pelari paling karismatik dalam sejarah.

Prefontaine adalah protégé Bill Bowerman. Ia mengenakan pakaian olahraga dan sepatu Nike gratis. Sewaktu masih menjadi mahasiswa, ia masuk kualifikasi untuk tim Bowerman Olimpiade Munich tahun 1972.

Perjuangan Prefontaine bersama Amateur Athletic Union, yang menuntut agar para atlet yang ingin tetap amatir untuk Olimpiade tidak menerima keuntungan, sekalipun dari pertemuan-pertemuan atletik bernilai jutaan dolar, memberi kontribusi bagi status heroiknya.

Bowerman berbagi pandangan dengan Prefontaine. Ia telah mendesain sepatu latihan yang revolusioner, yang ia sebut “Cortez”. Waktu itu ia telah mencapai semacam status legendaris untuk dirinya sendiri dengna menggunakan (sekaligus menghancurkan) cetakan kue jepit milik istrinya untuk menciptakan sol sepatu ringan yang kelak menjadi sepatu latihan yang laris di negeri itu.

Prefontaine, pemegang rekor Amerika untuk setiap acara dari 2.000 meter hingga 10.000 meter, telah menjadi selebritas dan meraih loyalitas yang biasa dirasakan bintang musik rock. Sayangnya ia secara fatal menabrakkan mobil MG B sports miliknya setelah mengikuti sebuah pesta pada 1975. Saat itu usianya baru 24 tahun.

Nike kehilangan celebrity endorser-nya. Namun pelajarannya jelas, perusahaan ini meningkatkan penggunaan sepatu-lintasannya oleh atlet-atlet muda di Olimpiade 1876. Pada 1978, Blue Ribbon resmi mengubah namanya menjadi Nike. Pada tahun itu juga perusahaan mengontrak bintang tenis baru yang brilian, John McEnroe untuk mempromosikan pakaian olahraganya.

Tahun berikutnya, dengan menggunakan teknologi yang dikembangkan untuk astronot, Nike mengembangkan sepatu berbantalan sol udara bertekanan yang disukai oleh para pelari dan jogger.

Pelari-pelari terkemuka untuk jarak mulai dari 100 meter hingga maraton menyokong produk-produk Nike. Di seluruh Amerika Serikat, lonjakan olahraga lari dna jogging yang dimulai oleh Bill Bowerman menjadi gaya hidup pria dan wanita segala usia.

Pada 1980, Nike menjual sahamnya kepada publik di New York Stock Exchange dan merundingkan kontrak untuk memproduksi  sepatu di Tiongkok.

Dukungan Selebritis

Pada pertengahan 1980-an, kegilaan terhadap jogging sedang mencapai puncaknya. Nike memutuskan untuk menjadi apa yang disebut Knight sebagai “perusahaan olahraga dan kebugaran terbaik di dunia.”

Identifikasi mereka pun berpindah dari jagoan populer ke fenomena baru, super-selebritis. Pilihan Nike atas pemain bola basket Michael Jordan menjadikan Nike apa yang oleh Tom Peters disebut sebagai “a pure player in brand brainware”.

Jordan, yang bakatnya luar biasa, menjadi superstar global, mengantarkan “gagasan” olahraga sebagai lawan fakta lazim tentang pemain keturunan Afrika-Amerika yang tinggi, yang berusaha memasukkan bola ke dalam keranjang. Gagasan itu melekat pada tali pengikat Nike: “Just do it.”

Strateginya berhasil. Antara tahun 1987 dan 1993, melalui resesi yang memengaruhi sebagian besar ekonomi Barat, Nike justru melonjak dari perusahaan senilai $750 juta menjadi $4 milyar. Perusahaan pun beranjak dari sepatu olahraga ke kredibilitas jalanan.

Pada 1992, Knight mengatakan, “Selama bertahun-tahun kami memikirkan diri kami sebagai perusahaan yang berorientasi pada produk… Namun kini  kami mengerti bahwa hal terpenting yang kami lakukan adalah memasarkan produk.”

Kritik terhadap Perusahaan

Begitu gerakan anti-globalisasi memperoleh momentumnya, Nike menjadi sasaran utama. Kritik bahwa sepatu seharga $120 itu dibuat hanya dengan $6 di pabrik-pabrik di Asia mulai melukai perusahaan.

Knight diberi julukan “bajingan korporat” oleh Michael Moore dalam filmnya The Big One. Pada 1997, Knight adalah satu-satunya orang dari 20 CEO yang setuju diwawancara untuk film tersebut.

Ketika Moore menyatakan bahwa perempuan hamil dan gadis 14 tahun membuat sepatu untuk Nike, yang tidak pernah dapat mereka beli di Indonesia, Knight menjawab bahwa Nike tidak memiliki sendiri pabrik-pabriknya.

Ia melanjutkan dengna usulan bahwa jika Moore berinvestasi dan membangun pabrik di AS serta menghasilkan sepatu yang kualitas dan harganya dengan yang dibuat di luar negeri, Nike akan mempertimbangkan untuk membeli sepatu darinya.

Selanjutnya, Nike juga kembali dipertanyakan dalam karya Naomi Klein, No Logo, yang terbit pada 2000 dan memuat polemik yang tidak tulus, namun brilian dan esensial.

Pada 1998, Nagano, reporter CBS yang meliput Olimpiade Musim Dingin,terlihat mengenakan jaket berlogo Nike. Fakta bahwa perusahaan ini menjadi sponsor resmi liputan jaringan televisi tersebut tidak dimaafkan oleh sejumlah pihak sebab  melanggar kesucian merek Olimpiade, yang telah disponsori tanpa menarik perhatian oleh Coca-Cola sejak 1928.

Kembali ke Amerika Serikat, yang buruk menjadi bertambah buruk. Kampanye pemasaran Nike dengan menggunakan rapper Fat Boy Slim untuk menyokong merek menjadi sangat menakutkan saat anak muda terbunuh karena sepatu karetnya. Kata sweatshop mendorong protes oleh anak-anak jalanan di luar toko di New York.

“Nike, kami menciptakanmu. Kami dapat menghancurkanmu,” teriak seorang anak lelaki berusia 13 tahun asal Bronx di depan kamera TV.

Dampaknya terasa sampai kantor pusat perusahaan di Beaverton, Oregon, dan juga di New York Stock Exchange. Setelah perusahaan berupaya membatasi kerusakan, Philip Knight memutuskan agar Nike berkomitmen kepada pratkik pasokan dan sumber yang etis.

Komitmen ini dipegang oleh perusahaan—dengan standar yang ditawarkan penyerangnya—sejak saat itu.

Gagasan Olahraga

“Sekelompok lelaki yang tidak memiliki alasan untuk berada di bisnis sepatu,” ujar Knight pada 2007, “bergabung dan memutuskan untuk membangun merek atletik terbaik di dunia.”

Ini ketidaktulusan yang ekstrem, bahkan merek pun membutuhkan penulisan-ulang sejarah yang konstan. Namun, daktanya tetap bbahwa observasi Nigle Bogle bahwa “kampanye global dilahirkan, bukan diciptakan” meletakkan Nike sama sempurnanya dengan sepatunya.

Yang juga benar adalah observasi Naomi Klein bahwa Nike “adalah perusahaan sepatu yang ditakdirkan untuk menggeser olahraga pro, Olimpiade, dan bahkan atlet-atlet bintang, untuk menjadi definisi terdalam dari olahraga itu sendiri.”

Nike dibangun di atas fakta bahwa perusahaan yang terlibat dalam olahraga akan berusaha berhubungan dengan orang-orang hebat. Tiger Woods dengan golf, Roger Federer dan Maria Sharapova dengan tenis, Wayne Rooney dengan sepakbola, semuanya mewujudkan “gagasan olahraga” melampaui penampilan mereka di lapangan. Walau akar-akar mereka dalam olahraga tertentu tetap merupakan kunci bagi sponsor maupun yang disponsori.

Ketika footballer Amerika yang disponsori Nike, Michael Vick, dikaitkan secara terbuka dengan judi dan adu anjing yang ilegal, perusahaan menghentikan endorsement Vick.

Nike membantu menciptakan dan kemudian menunggangi fenomena kebugarazn. Sejarah akan menunjukkan apakah perusahaan seperti Nike berkontribusi atau tidak terhadap pembangunan negara-negara Asia atau malah memperlambatnya. Jawabannya mungkin keduanya.

Takdir Nike mungkin menjadi perusahaan pasca-supermerek yang pertama dan memasarkan dirinya sendiri untuk dua hal: perusahaan pembuat sepatu olahraga yang sangat bagus dan corporate citizen Beaverton, Oregon.

Pada 2006, Philip Knight memberi sumbangan sebesar $105 juta kepada Stanford Graduate Business School. Pada 2007, ia mengumumkan bahwa ia dan istrinya Penny akan menyumbangkan $100 juta kepada University of Oregon Athletics Legacy Fund.

Pada usia hampir 80 tahun, ia masih memiliki 35 persen saham perusahaan, yang menjadikannya senilai $28,1 milyar dan berada di urutan ke-15 orang terkaya di dunia. Tentu saja dengan kekayaannya itu, ia mampu membangun pabrik di daratan AS seperti yang dulu ia katakan kepada Michael Moore.

Just do it, Phil.