“Kantor tadi gimana Mas?” tanya Anti pada suaminya, Anto. “Yah, begitulah,” jawab Anto sambil mengambil remote televisi, ingin mengganti saluran yang mereka tonton.
Malam itu, Anto dan Anti duduk di sofa ruang tengah mereka. Keduanya baru sejam yang lalu pulang dari tempat kerja masing-masing. Keduanya lelah, banyak tugas kantor yang harus dikerjakan hari tadi.
Anti ingin berbagi pengalamannya hari ini. Namun ia merasa egois jika langsung bicara tanpa bertanya pada suaminya terlebih dahulu. Sementara Anto, setelah bekerja keras seharian, merasa harus “mematikan” kerja otaknya sejenak. Menonton televisi membuatnya bisa melupakan rutinitas sejenak.
Anti dan Anto menikah dua tahun lalu. Entah sejak kapan hubungan keduanya menjadi hambar seperti ini, mereka sudah lupa. Sama-sama ingin berbagi suka duka, namun tak tahu mengapa obrolan mereka datar seperti ini.
“Mas, ngobrol yuk,” kata Anti menatap suaminya,. “Iya, mau ngobrolin apa?” balas Anto sambil menatap televisi. Kadang pembicaraan ini berakhir tanpa adanya kemajuan. Keduanya mengantuk dan beranjak ke tempat tidur. Kadang kesal namun perasaan itu mereka pendam. Kadang pula berakhir dengan pertengkaran, yang biasanya berakhir tanpa solusi. Mungkin lupa penyebab awal mereka bertengkar.
Tentu saja tidak setiap hari mereka seperti ini. Ada saat-saat mereka lancar mengobrol. Namun keduanya merasa perbincangan seperti ini makin sering terjadi.
Apakah cerita seperti pasangan tersebut ada? Semoga tidak ada yang mengalaminya. Hanya saja menurut Biro Psikologi Salman, 90% pernikahan aktivis memiliki masalah dalam komunikasi.
Aktivis? Ya, aktivis. Orang-orang yang semasa kuliah aktif berorganisasi dan memiliki kemampuan komuniasi yang terasah.
Permasalahan yang ditunjukkan oleh statistik Biro Psikologi Salman tersebut layak kita perhatikan. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Solusi Permasalahan Komunikasi Suami Istri
“Ada perbedaan antara ada dan hadir,” kata Dodik Mariyanto dalam kuliah Institut Ibu Profesional Bandung yang bertema Magic Communication in Parenting (Sabtu, 25 Januari 2014). Ketika seseorang hanya sekadar ada, tak ada komunikasi yang terjadi. Mengobrol di depan televisi yang menyala ataupun sama-sama memegang gadget tak menghasilkan komunikasi.
Bagaimana jika kebiasaan komunikasi yang bermasalah sudah terjadi? Dodik menyarankan untuk mulai berlatih. “Luangkan satu hari tanpa gadget ataupun televisi, manfaatkan untuk berkomunikasi dengan pasangan,” kata Dodik.
Komunikasi itu terjadi karena kedua belah pihak hadir. Bukan hanya berbicara. Bukan hanya mendengarkan yang sepintas lalu. Tapi dengan saling membaca intonasi, memperhatikan gestur, dan menangkap mimik wajah.
Hadir berarti ada intensitas fokus, ada hati yang saling berbicara. Masalah dalam komunikasi 2 orang yang dekat timbul karena kepasrahan atas ketidakintiman dalam berbicara. Keintiman berkomunikasi muncul dari dua orang yang berusaha untuk hadir, bukan untuk sekadar ada.