Perkataan menarik dari Rilke, seorang pujangga dari Austria. Bisa jadi semua naga (hal yang membuat diri kita ketakutan) dalam hidup kita itu sebenarnya putri raja yang hanya menunggu untuk kita bertindak, cukup sekali saja, dengan keindahan dan keberanian.
Bisa jadi semua hal yang membuat kita merasa takut, dalam esensi terdalamnya, adalah hal tak berdaya yang menginginkan cinta kita. Untuk lebih memahami makna perkataan ini, yuk kita simak cerita Adam, seorang anak yang menekan sisi merasa berharga di dalam dirinya.
“Perhaps all the dragons in our lives are princesses who are only waiting to see us act, just once, with beauty and courage. Perhaps everything that frightens us is, in its deepest essence, something helpless that wants our love.”
Rainer Maria Rilke
Kisah anak yang merasa takut untuk menginginkan, dan juga mengungkapkan kebutuhan
Sebagai anak kecil, Adam tidak mendapat banyak pemenuhan kebutuhan emosional dan fisik dari ibunya. Kebutuhan dasar seperti didengarkan dan diberi kasih sayang jarang dihargai. Secara alami, lama kelamaan Adam percaya kalau kebutuhan dan keinginannya itu tidak ada harganya.
Kemarahan dan keputusasaan mengisi sisi rapuh dirinya. Untuk menyelamatkan jiwanya, Adam menyerah meminta apa yang ia inginkan dan butuhkan. Ia terus percaya meminta kebutuhan dari orang tuanya ini malah akan membuatnya tambah menderita. Lebih mudah baginya untuk tidak meminta. Dengan begitu Adam bisa menghindari rasa sakit yang muncul karena ditolak.
Ternyata Adam membuat pilihan tidak sadar untuk percaya kalau dia tidak membutuhkan apa pun. Ia sangat mengidentifikasikan dirinya sampai-sampai dia hidup diselimuti awan yang menipu dirinya sendiri. Awan ini menyelubunginya dari kebutuhan dan keinginan dasar yang hatinya bawa.
Adam menyingkirkan kata hatinya dengan cara yang sama seperti ibunya. Pola delusional dan menghancurkan ini terus hidup di dalam dirinya sampai ia dewasa. Baru kemarin, saat usianya 60 tahun, ia sudah sampai menolak kebutuhannya untuk meminta tolong, bahkan hanya untuk secangkir teh. Sosok “naga pelindung tua” di dalam hatinya terus mengurungnya di dalam guanya.
Jauh dari hati orang lain, bahkan dari hatinya sendiri. Tujuannya? Agar Adam tidak terluka lagi.
Mengapa anak-anak kehilangan jiwa dan hatinya? Mengapa anak-anak menjadi takut meminta dan menginginkan?
“Anak-anak melihat keajaiban karena mereka mencarinya.” – Christopher Moore
“Children see magic because they look for it.” ~ Christopher Moore
Sebagai anak-anak, naga kita itu cukup kecil dan jinak. Kita datang ke dunia ini tanpa terganggu oleh naga kecil jinak ini. Kita juga terlahir penuh akan jiwa dan gairah. Jiwa yang bisa dibilang dengan nama “Ya!” Sebuah “Ya!” yang terus terbakar dan berkata “Ya!” pada kehidupan dan semua hal di dalamnya.
Saat kita masih anak-anak, semuanya mungkin dilakukan. Tak diragukan lagi kita percaya kalau hasrat kita ini bisa dan harus dipenuhi. Sebagai anak-anak, kita punya hasrat untuk sesuatu yang lebih. Hasrat untuk mencipta, untuk mengeksplorasi, dan untuk memiliki. Hasrat untuk merasa dan menyentuh. Hasrat untuk merangkul, untuk merengkuh lembut dalam dekapan lengan kecil kita.
Tidak seperti orang dewasa, anak-anak tidak takut untuk meminta, bahkan untuk menuntut! Mereka tahu kalau sudah haknya untuk menjadi penjelajah dunia ini, untuk mengalami dunia sepenuhnya. Sudah lumrah kalau kita pergi ke mall dan melihat anak merengek, “Pokoknya aku mau ituuuu!” Ia benar-benar serius mengatakannya. Ia juga benar-benar berharap hal itu terlaksana.
Seiring anak tumbuh, jiwa “Ya!” yang ada di dalam diri anak-anak ini perlahan-lahan dipaksa membentuk “Tidak!” oleh orang dewasa. Tentu memang kita perlu berkata “Tidak” pada anak-anak. Namun kita terlalu banyak melarang anak, apalagi tanpa komunikasi yang sensitif dan baik.
Orang tua dan guru seringkali sibuk dan merasa kewalahan. Secara alamiah, tingkat kesabaran mereka dalam menghadapi kegembiraan liar si kecil ini semakin turun. Tapi, orang dewasa melarang sikap “Ya!” dalam diri anak karena banyak orang dewasa yang lupa cara bermain, bermimpi, dan berhasrat.
Di dalam hati orang dewasa, ada sosok anak kecil yang terluka. Anak kecil yang kebutuhannya tidak terpenuhi. Anak kecil yang sudah menerima banyak kata “Tidak!” yang kasar. Sering juga sosok anak dalam hati ini menerima kata “Ya, tapi….” Semua ini memadamkan api mimpi dan hasrat orang dewasa. Tanpa hubungan sehat dengan dorongan batin kekanak-kanakannya, orang dewasa akan kesulitan menghargai dan menghormati kebutuhan anak-anak.
Apakah kamu merasa didengarkan?
“Mendengarkan itu sikap hati, hasrat murni untuk bersama orang lain yang saling menarik dan menyembuhkan.” J. Isham
“Listening is an attitude of the heart, a genuine desire to be with another which both attracts and heals.” ~ J. Isham
Di Amerika Serikat, rata-rata ibu berada bersama anak-anaknya hanya selama 3 menit sehari. Sementara ayah, hanya 40 detik. Mungkin bisa jadi data ini salah, cara penelitiannya dipertanyakan. Namun kita jadi perlu merenungkan berapa banyak waktu yang orang tuamu gunakan untuk hadir bersamamu.
Menanyakan bagaimana nilai ujian sekolah yang disambi mencuci piring (atau memegang gadget) itu bukanlah kehadiran. Kehadiran itu benar-benar berada bersamamu sepenuhnya. Kehadiran itu mendengarkan, memvalidasi, mengapresiasi, membesarkan hati, mendukung, dan yang paling utama, mencintai. Kehadiran itu sepenuhnya bersamamu dengan seluruh perhatian mereka.
Berapa banyakkah kamu dapatkan waktu seperti ini dari orang tuamu?
Kehadiran sepenuhnya adalah kebutuhand an hasrat dasar yang anak-anak miliki. Anak-anak merasa haus akan orang tua yang hadir sepenuhnya. Kelangsungan hidup jiwa “Ya!” sangat bergantung dari validasi semacam ini.
Sayangnya, bagi kebanyakan anak, kebutuhan dan hasrat seperti ini sangat jarang dipenuhi. Seiring anak tumbuh dewasa, kekurangan ini terus merasuk ke dalam hubungan dewasa.
Tidak mau (atau tepatnya, tidak mampu) meminta apa yang kita inginkan itu mewabah di budaya kita. Meminta itu menghargai dan mengungkapkan kebutuhan dan hasrat kita. Meminta kini menjadi tantangan besar bagi hati karena kerapuhan, dan seringkali trauma, terlalu mengikat diri kita saat akan mengungkapkannya.
Masyarakat tertatih-tatih untuk melihat kecantikan dalam bentuk hasrat alaminya. Masyarakat menyaring hasrat melalui kaca mata kuda rasa malu yang berakar dari kepercayaan kalau merasakan, meminta, dan memiliki itu buruk, salah, dan egois.
Rasa sakit yang timbul dari kepercayaan ini belum diberi ruang untuk berduka yang cukup. Begitu pula rasa sakit karena terlalu sering ditolak belum dirangkul. Semuanya belum cukup mendapatkan rasa cinta.
Banyak orang, termasuk saya, kesulitan untuk meminta tolong, untuk mengekspresikan hasratnya untuk sendirian sejenak, untuk dirangkul, atau untuk didengarkan. Banyak yang kesulitan untuk mendapat ruang dan untuk bersuara. Kebutuhan mendasar untuk dicintai dan dihormati telah tenggelam di dalam lautan kesedihan yang suram. Mereka telah menenggelamkannya dengan niat yang sebenarnya baik. Niat baik berupa usaha bertahan menghadapi cobaan hidup, untuk tetap kuat, dan untuk melarutkan diri dalam hal yang kita sebut realita.
4 langkah sederhana mengatasi rasa takut di dalam dirimu
“Di dalam gua yang takut kau masuki, tersimpan harta karun yang selama ini kamu cari.” Joseph Campbell
“The cave you fear to enter holds the treasure you seek.” ~ Joseph Campbell
Pergulatan batin ini bisa berakhir kalau kamu mengumpulkan keberanian untuk merasakan rasa takutmu, berduka terhadap masa lalumu, dan sekali lagi, belajar menjadi anak-anak, belajar meminta apa yang kamu inginkan.
Salah satu kendaraan yang bisa kamu gunakan untuk merasakan proses ini adalah hubunganmu. Kamu bisa menggunakan hubunganmu sebagai wadah yang aman untuk menyebuhkan lukamu. Bukan hanya itu, kamu juga bisa mempperoleh kembali perasaan layak dan juga hasrat.
Hubungan ini haruslah dengan orang yang dekat denganmu. Orang yang kamu cintai dan kamu percaya. Latihan ini membutuhkan 2 orang yang sama-sama berkomitmen untuk memenuhi kebutuhanmu. Bukan hanya itu, kamu juga harus berkomitmen untuk mengungkapkannya setiap hari. Kamu berlatih meminta. Dan dia menganugerahkanmu dengan menjawab kata “Ya!” yang selama ini kamu nanti-nantikan.
Ada 4 langkah sederhana dalam proses ini, dalam dunia terapi terkadang proses ini disebut menggali inner child. Dua langkah terakhir bisa jadi ditukar urutannya. Bisa jadi kamu merasa perlu untuk mengambil langkah ketiga lalu keempat. Setelah itu bisa jadi kamu merasa perlu mengambil langkah keempat baru langkah ketiga.
-
Mintalah pasanganmu untuk berpartisipasi
Mula-mula, tanyalah pada pasanganmu apa dia mau mendukungmu untuk meminta apa yang kamu inginkan, memenuhi kebutuhan dan hasratmu. Minta dia juga untuk membantumu menyembuhkan rasa takutmu dalam prosesnya.
Ini bisa jadi permintaan yang paling menyulitkan. Namun jika kamu punya sejarah komunikasi dengan hati yang terbuka dengan pasanganmu, kamu bisa percaya kalau dia mau mendengarkan dan menghormati permintaanmu.
-
Rancang keamanan dan kenyamanan
Beri tahukan apa saja yang bisa membantumu merasa aman dan nyaman untuk meminta apa yang kamu inginkan. Mungkin kamu merasa perlu meminta dia untuk tidak menghakimi dirimu saat kamu menyebutkan kebutuhanmu. Mungkin kamu merasa butuh agar dia mau memberikan kehadiran sepenuh hatinya.
Orang dalam hubunganmu itu juga bisa jadi punya permintaan tertentu. Mungkin yang dia butuhkan itu agar kamu membuat permintaan yang masuk akal (tentu kalian berdua perlu sama-sama mendefinisikan apa itu “masuk akal” bersama-sama). Mungkin yang dia butuhkan itu kamu meminta hanya pada waktu yang tepat (kamu perlu sensitif saat dia merasa lelah atau sibuk, sampai-sampai tidak bisa memenuhi kebutuhanmu.
Hal-hal lainnya yang bisa didiskusikan bersama-sama adalah:
- Perlu secara konsisten menggunakan kalimat/pertanyaan yang menandakan butuh pertolongan, misalnya seperti “Aku butuh pertolonganmu,” atau “Maukah kamu menolongku
- Berapa lama waktu yang kamu perlukan untuk proses ini? Bisa jadi tak terbatas, namun tidak menutup kemungkinan hanya seminggu
- Satu tujuan yaitu berapa kali kamu akan meminta dalam sehari/seminggu. Tujuan yang spesifik akan sangat membantu.
-
Rasakan ketakutanmu
Saat kamu mulai menyadari apa yang kamu inginkan, rasa takut di dalam dirimu akan menajamkan taringnya. Ini alamiah. Proses ini membangunkan sang naga dengan taring besar dan tajam di dalam dirimu.
Ucapan dan tindakan “sang naga” ini bisa membuatmu merasa takut. Kamu akan merasakan ketakutan yang selama ini enggan kamu masuki.
Namun beranilah untuk tetap menghadapinya. Rasakan di dalam tubuhmu, sepenuhnya, sedalam-dalamnya. Rengkuh rasa takut ini dengan lembut, layaknya kamu harap ibumu akan memelukmu.
Berkabunglah atas rasa sakitmu yang lama. Biarkan rasa takutmu terurai, menyediakan ruang untuk perasaan yang baru. Lalu, mintalah.
-
Mintalah apa yang kamu inginkan
Langkah terakhir ini dimulai dengan meminta apa yang kamu inginkan. Mulailah dengan menanyakan hal-hal sederhana seperti secangkir teh atau pelukan. Lalu kamu bisa menambah dengan permintaan yang lebih besar seperti tumpangan pulang ke rumah atau me-review pekerjaanmu.
Perhatikanlah kebutuhan dan keinginanmu baik-baik. Izinkan impuls alami dari keinginan ini untuk bangkit di dalam dirimu, untuk didengarkan, dihormati, dan dicintai.
Dukungan tambahan
Kamu juga bisa membuat diary keinginan. Menulis diary bisa mengangkat pemberat yang menenggelamkan kebutuhan dan keinginanmu. Alhasil keinginan dan kebutuhanmu ini bisa siap bersemi di hatimu.
Setiap hari, tulislah sebanyak mungkin hal dalam hidupmu, atau yang terjadi dalam hidupmu. Panjang pendeknya sesuai keinginanmu saja.
Jika kamu tidak tahu apa yang kamu mau, tulis apa yang tidak kamu inginkan lalu tulislah hal yang berlawanan dengannya. Terkadang lebih mudah untuk mulai dari apa yang tidak kita inginkan daripada apa yang kita inginkan. Terutama jika kita tidak terbiasa menyesuaikan diri dengan keinginan kita.
Kamu juga akan terbantu jika mendapat dukungan tambahan dari konselor. Konselor ini sebaiknya yang menggunakan pendekatan psikosomatis (mengenali gangguan psikis lewat gejala gangguan fisik), bukannya konselor yang hanya menggunakan terapi bicara kognitif.
Kesulitan mengenali trauma yang kamu miliki sangat tergantung dari sedalam apa trauma itu. Naga yang mengurung hatimu bisa jadi terlalu kuat untuk kamu atasi sendirian, tanpa bantuan profesional yang menuntunmu melalui sudut-sudut gelap dari ruang hatimu.
Cinta itu melayani, dan melayani itulah cinta
Hubungan itu kendaraan untuk penyembuhan dan perkembangan diri. Dengan mendukung pasangan (dan juga orang lain) untuk menyembuhkan luka hati dan mengarahkan dirinya ke kekuatannya, kamu sebenarnya sedang melayani. Dan dalam melayani itulah kamu sedang mencintai.
Inilah paradigma baru untuk hubungan, yakni untuk melayani. Kita tidak berada dalam hubungan (dalam hal ini, pernikahan) hanya untuk saling mengemong, untuk membuat keturunan, dan mengasuh. Kita tidak berada dalam hubungan pernikahan hanya untuk tertawa dan bersenang-senang bersama.
Kita ada dalam hubungan pernikahan juga untuk saling menolong menyelami sisi-sisi gelap dalam jiwa kita. Kita ada dalam hubungan pernikahan untuk sepenuhnya mengarungi air mata kebahagiaan dan kesedihan masing-masing (dan juga bersama) dengan berani.
Kita berada dalam hubungan pernikahan untuk menumpahkan sisi terang dari kedermawanan diri kita. Hingga akhirnya dalam prosesnya, kita mendapatkan kembali perasaan berharga dan hasrat yang sudah seharusnya kita miliki. Kita mendapatkan kembali jiwa “Ya!” dalam menyambut kehidupan.
Kita ada di sini, untuk saling menuntun pulang. Kita ada untuk saling bergandengan tangan, pulang kembali ke kampung akhirat yang kita rindukan.
Itulah tujuan mendalam kita ada di sini, untuk saling mendukung agar memperoleh kembali perasaan berharga dalam diri kita. Kita ada di sini untuk hadir sepenuhnya, dan juga mencintai sepenuhnya.
Kita melakukan hal ini dengan berkata “Ya!” pada sosok anak-anak yang ketakutan, dan juga terluka, baik itu di dalam diri kita, maupun di dalam diri orang lain. Setelah itu, kita membebaskan sosok anak itu lagi, untuk kembali berekspresi.
Diadaptasi dari tulisan Vince Gowmon, Reclaiming Deservedness and Desire ~ Using Relationships to Heal Your Fear of Asking for What You Want