Berbagai kasus kriminal yang dikaitkan dengan depresi
Kecelakaan pesawat Germanwings
Di Eropa, ada tragedi kecelakaan pesawat Germanwings bulan Maret ini, pembunuhnya dicurigai terkena masalah gangguan mental. Aksi bunuh diri yang melanda pilotnya Sebenarnya, gangguan mood tidak sesederhana itu, cukup kompleks.
Depresi dan/atau berpikir mau bunuh diri seringkali dikaitkan dengan kekerasan. Pada akhirnya, perkembangan yang telah peradaban kita buat untuk memahami penyakit tak terlihat ini hilang. Di Amerika Serikat, ada 10% penduduk yang mengonsumsi antidepresan. Di Indonesia, tidak banyak yang mengonsumsi antidepresan, namun bukan berarti depresi tidak melanda masyarakat kita.
Jika kita menganggap depresi dan/atau berpikir ingin bunuh diri itu berhubungan langsung dengan kekerasan, banyak orang depresi yang akan kita anggap berbahaya.
Sekarang, dinding pemisah semakin tinggi dan tebal. Pemisah antara siapa? Antara orang-orang yang bisa mengelola emosinya dengan orang-orang yang rapuh, yang bisa terkena depresi kapan saja.
Andreas Lubitz, pilot yang diduga bertanggung jawab atas kecelakaan pesawat Germanwings, sebelumnya mendapat penanganan untuk kecenderungan bunuh diri sebelum ia mendapat surat izin pilotnya. Lubitz menjadi ikon bagi anak laki-laki yang menderita sakit jiwa di masa lalu.
Pembunuhan massal yang dikaitkan dengan autisme
Dua tahun sebelumnya, Adam Lanza, seorang pria 20 tahun, membunuh 20 anak-anak dan 6 orang dewasa sebelum akhirnya bunuh diri. Media menyebarkan informasi kalau pembantaian ini terkait autisme yang ia derita. Apalagi ada tulisan dari Liza Long, ibu dari seorang anak yang autis, yang menjelaskan hal-hal yang sebenarnya tidak terkait dengan autisme di blognya.
Pembunuhan massal yang dikaitkan dengan keinginan bunuh diri
Ada juga Seung Hui Cho, mahasiswa 23 tahun, yang membunuh 32 orang di Virginia Tech, lalu bunuh diri. Data hanya menunjukkan 2 pembicaraan di telepon dan satu pembicaraan tatap muka antara Cho dengan profesional kesehatan jiwa di Cook Counseling Center, penyedia layanan kesehatan di kampusnya. Namun Cho baru masuk rumah sakit setelah teman sekamarnya khawatir saat Cho mengancam akan bunuh diri.
Informasi seperti ini membuat orang-orang yang mengalami depresi ingin bunuh diri merasa ketakutan. Orang-orang yang depresi sangat membutuhkan dukungan dari orang-orang di sekitarnya. Tapi info semacam ini membuat orang-orang takut mendekati orang depresi, jelas ini menghalangi masyarakat dari membantu orang yang terkena depresi.
Salah paham masyarakat tentang depresi (yang sangat dipengaruhi media massa)
Apakah media membuat masyarakat Barat jadi takut akan orang-orang depresi? Bisa jadi. Berita di media menunjukkan hanya ada 1 jenis depresi: orang gila yang berbahaya. Padahal ada berbagai macam jenis depresi.
Bahkan kalau pun Cho sudah mencari pertolongan profesional, kita perlu bisa membedakan antara rencana kriminal yang jahat. Rencana kriminal ini berkembang di daerah gray matter otaknya, menjadi jenis depresi yang berbeda. Depresi yang pertama membuatnya menembak orang-orang tak bersalah. Depresi lainnya terobsesi akan hasil kerjanya dan penerimaan dari teman-temannya. Berita di media tidak suka mengklarifikasi poin penting ini.
Namun agar tidak ada salah paham dengan orang-orang yang depresi, kita perlu membedakan antara sakit jiwa dengan pembunuhan. Dua hal ini tidak bisa dicampuradukkan.
Terkadang saat merasa depresi, terlintas dalam kepala saya untuk bunuh diri. Namun, apakah saya juga berniat untuk melukai orang lain karena ingin bunuh diri? Tentu saja tidak. Therese Borchard, penulis buku Beyond Blue, membuat komunitas orang-orang depresi yang beranggotakan enam ribu orang. Ia menyebutkan tak satu pun anggota komunitasnya ingin melukai orang lain karena depresi yang mereka alami.
Robert J. Wiks, penulis buku Riding the Dragon, mewanti-wanti tragedi semacam ini. “Membungkus aksi bunuh diri yang membunuh orang lain dengan pakaian sakit jiwa atau depresi itu sangat menyesatkan.”
Dr. Wicks melanjutkan, “Bagaimana pun juga, berapa banyak orang yang kamu tahu yang mengalami kesulitan psikologis atau depresi? Apakah orang-orang ini akan membunuh orang lain yang tak bersalah? Sebaliknya, mengalami depresi dan berbagai kesulitan psikologis lainnya seringkali menyebabkan orang tersebut semakin menunjukkan perhatian dan kasih sayang pada orang lain daripada orang yang belum pernah mengalami tekanan semacam ini.”
Orang-orang yang berjuang menghadapi depresi biasanya lebih penyayang, sensitif, dan mampu mencintai daripada orang yang tidak mengalaminya. Penyebabnya, mereka sudah paham betul betapa menyakitkannya perasaan seperti ini. Orang yang sudah menghadapi depresi akan menjadi orang pertama yang ingin melepaskan perasaan seperti ini dari orang lain.
Mengapa media massa sangat suka menyederhanakan masalah depresi?
Sayangnya, media sangat hobi langsung mengambil kesimpulan dari kelainan suasana hati ke hal mengerikan seperti pembunuhan massal. Memang lebih cepat, mudah, dan tidak begitu menyakitkan memberitakannya seperti ini. Lebih cepat, mudah, dan menenangkan daripada apa?
Daripada menggali kerumitan jiwa manusia dan menemukan tempat gelap dan pahit yang bisa menutupi logika, kasih sayang, dan kebaikan di dalam otak seseorang. Karena begitu kita menggali hal ini, kita akan menemukan persimpangan yang rapuh sekaligus mengerikan antara kejahatan dengan penyakit. Kita akan menemukan sudut-sudut pikiran kita yang tidak pernah mau kita masuki. Sudut pikiran antara pemikiran menyimpang dan tindakan jahat.
Padahal, justru penelitian menunjukkan orang-orang yang depresi itu butuh dirangkul, bukan dijauhi
John Grohol, CEO dan pendiri blog psikologi PsychCentral.com, menyebutkan beberapa penelitian yang meyakinkan kita kalau orang yang menderita depresi itu tidak lebih berbahaya dariapda orang yang tidak mengalaminya. Bukan hanya itu, orang yang mengakui depresi itu lebih aman daripada orang depresi namun pura-pura baik-baik saja dan berbohong atas kondisi kejiwaannya.
Grohol menyebutkan penelitian yang dimuat di Archives of General Psychiatry, “Pasien yang keluar dari fasilitas psikiater yang tidak kecanduan alkohol dan narkoba punya tingkat kekerasan yang sama dengan tetangga-tetangganya.”
Bruce Link, PhD, dan Ann Stueve, PhD, mengomentari hal ini:
“Steadman bertanya tentang target kekerasan dan menemukan kalau sebagian besar (85%) tindakan kekerasan yang dilakukan oleh mantan pasien itu terjadi di konteks keluarga dan persahabatan. Tentu saja, masyarakat Pittsburgh yang cenderung melakukan kekerasan itu sedikit (namun tidak jauh berbeda) lebih mungkin menyerang orang asing (22%) daripada pasien Pittsburgh (11%)! Masyarakat takut kalau pasien dengan penyakit jiwa akan menyerang mereka, namun justru penelitian ini menunjukkan kebalikannya.”
Dr. Grohol menyimpulkan artikelnya ini dengan menuliskan, “Kekerasan itu lebih sering menjadi aktivitas kriminal yang sedikit sekali hubungannya dengan kesehatan jiwa seseorang. Sebagian besar orang yang menderita penyakit jiwa itu tidaklah bengis. Kita tidak perlu takut akan mereka. Rangkul mereka atas diri mereka yang sebenarnya. Mereka adalah manusia yang mengalami masa-masa sulit. Mereka membutuhkan pikiran terbuka darimu, sikap yang peduli, dan dukungan yang membantu.”
Diadaptasi dari tulisan Therese Borchard di Everyday Health, I’m Depressed, Not Dangerous