Bagaimanakah cara agar produk dalam negeri bisa unggul di kancah nasional maupun internasional? Manfaatkan kekuatan lokal yang kita miliki. Salah satu contoh yang bisa diambil adalah ekstrak kulit manggis. Produk ini menjadi populer setelah Jamu Borobudur membuat jingle iklan yang menarik perhatian banyak orang. Tentu kita sering mendengar jingle “Kabar gembira untuk kita semua, kulit manggis kini ada ekstraknya,” di berbagai tempat. Jamu Borobudur dengan brand Mastinnya memang pelopor dalam industri ekstrak kulit manggis.
Namun ada strategi menarik yang diluncurkan oleh pesaingnya, PT Zena Nirmala Sentosa dengan produk ekstrak kulit manggisnya. Mungkin kita kurang mengenal nama perusahaannya. PT Zena Nirmala Sentosa memang tidak berupaya untuk membuat nama perusahaannya terkenal. Namun kalau nama produknya bisa jadi sering kita dengar. Garcia, ekstrak kulit manggis.
Perjalanan lahirnya Garcia dimulai sejak tahun 2009. Saat PT Zena Nirmala Sentosa mencari penelitian kekayaan alam Indonesia yang bisa mereka jadikan industri. Mereka mendatangi Balai Penelitian Pascapanen di Bogor dan menemukan ribuan hasil penelitian pengolahan kekayaan alam nusantara.
“Balai Penelitian Pascapanen sangat terbuka bagi siapa pun. Sampai akhirnya kami menemukan laporan penelitian ekstrak kulit manggis,” kata Fernando Zetrialdi dalam wawancara dengan tim Indonesia Setara, “Ekstrak kulit manggis ini kami pilih karena sudah lama dikenal memiliki khasiat.”
Fernando dan timnya pun meluncur ke Padang, Sumatera Barat, untuk menemui peneliti ekstrak kulit manggis ini. “Waktu itu penelitian baru dalam skala laboratorium. Proses ekstraksi masih menggunakan panci. Kami membeli paten penelitiannya dan membantu peneliti menerbitkan buku ekstraksi tentang kulit manggis untuk mendukung penelitiannya,” kata Fernando.
Ekstrak kulit manggis pun dikembangkan agar bisa diproduksi dalam skala massal. Sebelum diluncurkan ke pasar, PT Zena menguji terlebih dahulu khasiat dari ekstrak kulit manggis yang mereka buat.
“Kami memproduksi ekstrak manggis sebanyak 1000 kemasan lalu membagi-bagikannya ke saudara dan kerabat kami. Untuk yang punya penyakit seperti diabetes, kami minta untuk mengukur gula darahnya. Ternyata hasilnya membaik. Kami pun berani untuk menjual ekstrak kulit manggis dalam skala besar,” kata Fernando menjelaskan proses validasi produk Garcia.
Saat produk siap untuk dijual. PR selanjutnya bagi start up adalah traction. Strategi yang sebaiknya start up ambil untuk menjual produknya. Dalam buku Traction: A Start Up Guide of Getting Customers, Weinberg dan Mares mengkritik banyak entrepreneur yang terlalu fokus mengembangkan produk tanpa memikirkan cara agar produknya bisa dimanfaatkan banyak orang.
“Semua start up yang gagal itu pasti punya produk,” tulis Weinberg, “yang tidak dimiliki oleh start up yang gagal adalah cukup banyak konsumen.” Ada perusahaan-perusahaan yang punya produk yang dibutuhkan banyak orang. Namun pada akhirnya tetap bangkrut karena kurang banyaknya konsumen yang mau membayar untuk produk mereka.
Bahkan Marc Andreessen, salah seorang punggawa venture capital di Silicon Valley, mengungkapkan kalau dia akan menolak proposal start up yang produknya bagus namun tak punya strategi distribusi yang mumpuni.
“Banyak entrepreneur yang membuat produk yang hebat punya masalah yang sederhana, mereka tidak punya strategi distribusi yang baik. Bahkan ada entrepreneur yang lebih buruk lagi. Entrepreneur yang merasa tidak butuh strategi distribusi dan merasa ‘cukup hanya dengan’ viral marketing strategy.”
Untuk menghindari kegagalan karena kurangnya traction, Weinberg menyarankan start up untuk menggunakan aturan 50%. Gunakan 50% waktumu untuk mengembangkan produk dan 50% lagi untuk mengembangkan traction.
Aturan 50% ini sangat dipahami oleh PT Zena. “Membuat pabrik dan memproduksi ekstrak kulit manggis itu bagian termudah, yang sulit itu marketing dan menjual produknya,” kata Fernando.
PT Zena berinvestasi besar-besaran untuk mengembangkan jalur distribusi bagi produk-produknya. mereka merekrut distributor di seluruh provinsi di Indonesia dan juga di berbagai kota. Kini sudah ada 37 distributor regional di 34 provinsi dan distributor kota di lebih dari 500 kota di Indonesia. Terlebih lagi, PT Zena melatih ibu rumah tangga untuk menjadi agen penjual Garcia.
Unik sebenarnya jalur distribusi yang dipilih oleh PT Zena ini. Biasanya, perusahaan produsen suplemen memilih menggunakan jalur konvensional seperti apotek atau minimarket untuk mendistribusikan produknya. Alih-alih bertindak pasif , PT Zena menggunakan active direct selling.
Agen-agen PT Zena latih ini menjual Garcia secara door to door maupun dalam arisan dan pengajian. Tiap agen punya hak eksklusif menjual di satu daerah. Kini Garcia sudah menjangkau lebih dari 10 ribu desa dan kelurahan.
Pemilihan strategi distribusi ini membuat PT Zena punya competitive advantage dibanding perusahaan-perusahaan lain. Bahkan tantangan yang akan muncul pasca dilaksanakannya Masyarakat Ekonomi ASEAN tidak terlalu menjadi masalah. Pasalnya, produk-produk kompetitor dari negara tetangga bisa saja datang ke Indonesia, namun PT Zena punya jalur distribusi sendiri yang sulit ditiru oleh kompetitor.
Dalam buku Playing to Win: How Strategy Really Works, A.G. Lafley dan Roger L. Martin mengungkapkan betapa pentingnya sinergi antara arena bertarung suatu produk (where-to-play) dan juga cara memenangkan pertarungan (how-to-win).
“Pilihan where-to-play dan how-to-win itu saling bergantung. Pilihan where-to-play yang kuat hanya akan berharga jika didukung oleh pilihan how-to-win yang feasible. Kedua pilihan ini harus saling menguatkan dan menciptakan kombinasi yang baik,” tulis Lafley.
PT Zena memasarkan produknya di Indonesia, pasar besar yang memiliki lebih dari 250 juta konsumen. Otomatis negara ini menjadi incaran banyak perusahaan multinasional untuk menjual produk-produknya. Daya saing perusahaan besar dan UMKM lokal harus kompetitif bukan hanya dalam hal produk yang diminati pasar, namun juga menguasai karakteristik konsumen Indonesia.
Strategi pengembangan jalur distribusi PT Zena menarik juga untuk kita pelajari. Mula-mula mereka mengembangkan di ujung barat dan timur Indonesia, lalu sedikit demi sedikit ke tengah. Mirip strategi yang dipakai Telkomsel untuk mengembangkan jaringan telekomunikasinya. “Saat orang-orang Jakarta baru mengenal Garcia, orang-orang Aceh sudah kenal Garcia setahun sebelumnya,” kata Fernando.
Baru setelah Garcia punya distribusi yang kuat, PT Zena mengiklankan produknya. Hal ini mampu menangkis kebiasaan banyak pengusaha yang latah, meniru produk yang mereka lihat laku.
Benar saja. Setelah Garcia diiklankan di televisi, banyak pabrikan rumahan yang membuat ekstrak kulit manggis juga. Untuk menjaga keunggulan produknya dari pesaing baru ini, sejak pertama produksi PT Zena menggunakan 100% kulit manggis untuk tiap suplemennya, tidak dicampur dengan bahan lainnya.
Kini dengan armada agen dan distributornya, PT Zena Nirmala Sentosa mampu memasarkan lebih dari 400 ribu botol suplemen Garcia setiap bulannya. Dengan visi menyebarkan produk-produk yang memberdayakan kekayaan alam nusantara, kini PT Zena terus mengembangkan lini bisnis barunya.
Indonesia yang setara butuh lebih banyak perusahaan-perusahaan yang mampu bersaing di dalam negeri dan luar negeri. Keunggulan kompetitif PT Zena berupa jalur distribusi yang kuat dan loyal semoga menjadi inspirasi bagi entrepreneur lainnya untuk terus mengembangkan usahanya.