Sudah lama Amin dan Ulfa ingin memiliki rumah sendiri, mereka berdua sama-sama bekerja dan uang hasil kerja keras mereka sudah cukup untuk membeli rumah baru. Pasangan suami-istri ini masih bingung menentukan sertifikat tanah dan rumah atas nama siapa? Tabungan suami sudah cukup untuk membeli tanah dan rumah sederhana, demikian juga tabungan istri sudah mencukupi. Bila tabungan mereka digabungkan jadi satu, akan mendapatkan rumah yang lebih baik.
Tidak ada yang tahu masa depan pernikahan mereka, siapa yang ingin sebuah pernikahan kandas di tengah jalan? Semua orang tidak mau mengalami hal itu. Tapi mereka mencoba berpikir realistis, memikirkan bila hal buruk menimpa mereka. Bila mereka sudah meninggal dunia, bagaimana membagi warisan rumah yang mereka beli? Bila mereka bercerai, siapa yang memiliki hak atas rumah itu?
Sebelum menentukan siapa yang namanya tercantum dalam sertifikat, ada baiknya pasangan suami istri berunding terlebih dahulu. Pencantuman nama di sertifikat tanah bisa atas nama satu orang maupun dua orang. Meskipun mereka pasangan suami-istri, buatlah perjanjian antara mereka sendiri hitam di atas putih tentang pembelian dan kepemilikan rumah. Perjanjian juga harus menghadirkan saksi, dan lebih baik lagi direkam dalam bentuk suara atau video.
Kalau tanah dan rumah dibeli hanya dengan satu sumber; suami saja atau istri saja tidak begitu memerlukan perjanjian. Tapi bila yang lain ikut andil juga, maka buatlah perjanjian dengan materai. Misalkan saja beli tanah dengan uang suami, tapi pembangunan dari pondasi hingga atap menggunakan uang istri.
Kenapa harus menggunakan perjanjian? Hal ini untuk mengantisipasi kemungkinan buruk di masa datang. Bila mereka bercerai, harta yang dihasilkan berdua harus dibagi (harta gono-gini). Rumah sangat sering menjadi sengketa karena salah satu pihak mengaku memiliki andil membeli rumah. Yang kedua adalah masalah waris bila salah satu di antara mereka meninggal dunia. Kadang keluarga dari pihak istri atau suami juga menginginkan hak waris.
Itulah mengapa perjanjian antara suami-istri diperlukan. Sehingga di waktu mendatang, keluarga yang ditinggalkan tidak berebut dan pusing memikirkan siapa yang berhak atas rumah yang ditinggalkan.
Tidak dianjurkan membeli rumah dengan cicilan KPR dan asuransi. Disamping riba, proses yang dijalani juga rumit. Tidak sanggup membayar cicilan, rumah idaman akan disita.