Angka perceraian di Indonesia dianggap paling tinggi di Asia-Pasifik, menurut BKKBN pada tahun 2013 lalu. (sumber: Angka Perceraian di Indonesia Tertinggi di Asia-Pasifik). Data pada tahun 2010 menyatakan bahwa 70% adalah cerai gugat istri, dengan alasan tertinggi ketidakharmonisan. Perceraian membawa dampak bagi anak yang tidak mendapat kasih sayang secara utuh dari kedua orang tua.
Memasuki tahun 2016, angka perceraian di Indonesia masih tetap tinggi. Di Kabupaten Kulonprogo, DIY angka perceraian selama tahun 2015 mencapai 632 perkara, dengan 426 diantaranya adalah cerai gugat (sumber: Harian Jogja). Di Kabupaten Gunungkidul hingga akhir November 2015, tercatat 1.310 perkara (sumber: Tribun Jogja).
Di Kabupaten Ciamis, Pengadilan Agama setempat menerima 4.549 perkara. Kasus tertinggi adalah cerai gugat 2.812 perkara, sedangkan cerai talak hanya 1.573 perkara. (sumber: Pikiran Rakyat). Pengadilan Agama Tigaraksa Tangerang, Banten menyebutkan angka perceraian mencapai 4.700 perkara yang didominasi oleh cerai gugat istri (sumber: Radar Banten). Sedangkan di Pengadilan Agama Kota Bekasi tercatat ada 3.412 perkara, dengan 75% gugatan dilayangkan oleh istri (sumber: Info Bekasi).
Lain lagi di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Pengadilan Agama setempat mengungkapkan ada 1.115 perkara, yang didominasi pihak istri yang menggugat cerai (sumber: Suara Merdeka). Pengadilan Agama kelas 1B Pariaman, Sumatra Barat telah menyelesaikan 535 perkara selama 2015, dengan 65% adalah cerai gugat (sumber: Majalah Kartini). Lalu Pengadilan Agama kelas II A Kota Jambi, menyebutkan sepanjang tahun 2015, terdapat 1.087 perkara, sebanyak 812 diantaranya adalah gugatan cerai (sumber: Republika).
Kenapa perceraian didominasi cerai gugat?
Faktor ekonomi menjadi alasan utama pihak istri menggugat cerai suami. Biaya ke salon perawatan tubuh lebih besar daripada biaya hidup selama sebulan. Penghasilan suami dirasa tidak cukup, padahal istri selalu ingin tampil cantik dan terlihat awet muda. Pakaian dan asesoris yang melekat di badan harus merk terkenal, agar terlihat selalu mengikuti tren dan meningkatkan kelas sosial.
Selain berubahnya gaya hidup istri, faktor ekonomi lain yang menjadi sebab cerai gugat adalah suami tidak bekerja. Tidak tahan karena harus menghidupi anak dan suami, gugatan cerai pun dilayangkan ke Pengadilan Agama. Rata-rata kasus seperti ini adalah pernikahan karena “kecelakaan”.
Tingginya angka perceraian membuat miris, Kementrian Agama bahkan berencana mengadakan kursus pra nikah dengan harapan menurunkan angka perceraian (sumber: Kompas). Shingga nantinya pasangan melangsungkan pernikahan bila sudah memiliki sertifikat kursus pra nikah.