Pekan lalu Bu Andi lapor kepada ketua RT karena merasa terganggu dengan polah tetangganya. Karena tugas ketua RT cuma menampung aspirasi warga maka tidak memutuskan. Barulah pada pertemuan RT dua hari lalu, sesuai kesepakatan warga maka akan dilakukan tindakan yang tidak populer.
Pada pertemuan warga, Pak Andi curhat kepada warga seperti yang telah diceritakan istrinya kepada ketua RT. Tetangga yang mengganggu, Bagas; telah melakukan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) kepada istrinya. Seisi rumah Pak Andi belum pernah melihat secara langsung kekerasan fisik, namun sering mendengar kekerasan verbal yang dilakukan Bagas kepada istrinya. Nama hampir semua penghuni kebun binatang keluar dari mulut Bagas, juga kata-kata lain yang melecehkan wanita.
Sebenarnya KDRT ini sudah berlangsung lama, tapi Pak Andi waktu itu bersabar tidak melaporkan kepada RT, karena masih merasa satu almameter dengan Bagas dan kenal dengan kakak Bagas. Tapi polah Bagas semakin mengganggu, maka baru kali ini Pak Andi melaporkan. Tidak hanya keluarga Andi saja yang mendengar kata-kata kotor Bagas, tapi juga tetangga lain seperti keluarga Budi dan Marjo.
Bagas memang sok jagoan, sudah empat tahun tinggal di lingkungan kampung tapi tidak pernah lapor pengurus RT. Dia juga tidak kenal tetangga, merasa tidak butuh dan punya sifat temperamental. Jalan depan rumahnya adalah miliknya, bila ada yang lewat jalan tersebut dan ketahuan olehnya, akan disemprot dengan kata-kata kotor.
Setiap melakukan KDRT dia mengancam dengan membawa nama ormas sebagai beking. Istrinya tidak melapor ke RT, polisi, atau ke Kantor Perlindungan Perempuan dan Anak setempat, entah karena dia masih cinta atau takut dengan ancaman Bagas. Lalu bagaimana sikap warga?
Mengutip dari situs hukumonline, pasal 15 UU KDRT berbunyi:
“Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:
a. mencegah berlangsungnya tindak pidana ;
b. memberikan perlindungan kepada korban;
c. memberikan pertolongan darurat; dan
d. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.”
Dalam kasus Bagas, ketua RT sudah konsultasi dengan Polsek dan mendapat jawaban penyelesaiannya tetap harus prosedural, padahal itu dihindari warga karena buntutnya panjang yang menguras waktu, tenaga, dan uang. Pelapor harus menulis laporan, menjadi saksi, dan menerima konsekuensi diteror oleh Bagas.
Atas kesepakatan warga, bila terjadi KDRT lagi dan para tetangga dekat mendengar. Mereka disarankan melapor kepada pengurus RT dan akan melakukan tindakan yang tidak populer dengan mendatangkan ormas yang jadi beking Bagas, Pengurus RT tahu bahwa Bagas hanya menggertak.