Kondisi masyarakat kita memberi tekanan pada anak. Misalnya saja, sekarang seperti ada tekanan supaya anak bisa membaca sebelum masuk SD. Sekarang seperti ada tekanan kalau anak yang berharga di mata orang tuanya itu yang dapat ranking 1 di kelas. Sekarang seperti ada tekanan kalau anak pintar itu yang belajar dengan cara duduk diam mendengarkan guru.
Orang dewasa cenderung ingin menggegas anak. Menggegas itu buru-buru, mengejar anak supaya cepat bisa. Ada banyak, misalnya ingin anak cepat bisa membaca, cepat bisa berhitung, cepat bisa berbahasa Inggris (atau bahasa Tiongkok, Perancis, Jerman), cepat berani berbicara di depan, dan berbagai penggegasan lainnya.
Salah satu hal yang orang tua tekankan anak untuk bisa itu adalah anak harus bisa cepat membaca. Tanpa kita sadari, hal ini bisa membahayakan anak.
Mengapa anak sebaiknya tidak buru-buru diajari membaca?
Sekarang ini, anak seperti harus bisa membaca sebelum masuk SD. Bahkan di beberapa kasus, anak seperti harus lancar membaca sebelum itu. Saya mengamati ada anggapan seperti ini, “Kalau anak bisa membaca lebih dini, ia lebih pintar.”
Namun, apakah “memaksa” anak bisa membaca sedini mungkin itu baik? Justru berbagai penelitian menunjukkan kebalikannya. Memaksa anak bisa membaca justru menurunkan minat anak belajar, bahkan bisa membuat anak menjadi BLAST (bored, lonely, angry/afraid, stressed, tired). Selengkapnya tentang BLAST dapat ditonton di video ini.
[youtube https://www.youtube.com/watch?v=hk-DRHKg4OA]
Mengapa? Karena untuk bisa membaca, anak bukan hanya membutuhkan otak yang cerdas. Dalam buku Better Late Than Early, pakar pendidikan alternatif Raymond Moore mengungkapkan kalau nak membutuhkan indera penglihatan yang sudah siap, indera pendengaran yang sudah tumbuh, dan juga koordinasi antarindera untuk bisa membaca. Ia mengungkapkan, semua ini baru siap paling cepat saat usia anak 8 tahun. Kita bahas satu per satu yuk.
Indera Penglihatan
Mata itu satu kesatuan dengan otak. Dr. James Chalfant dan Margaret A. Scheffelin menjelaskan retina mata sebagai “sambungan luar dari cerebral cortex.”
Banyak guru di Amerika Serikat mengungkapkan kalau anak-anak 6 tahun ke bawah sering tidak bisa melihat dengan cukup baik untuk bisa membaca. Seringkali hal ini teramati juga di anak usia 7 tahun. Sayangnya, banyak yang menekankan pentingnya mendorong anak bisa membaca di usia dini, bahkan ada yang mengungkapkan sejak usia 2-3 tahun.
Padahal banyak penelitian menunjukkan kalau secara fisik, mata anak belum siap untuk membaca secara konsisten saat usianya 8 tahun,bahkan di banyak kasus lebih tua dari itu.
Untuk membaca, yang paling berperan adalah mata. Kelihatannya memang membaca itu seperti proses visual sederhana. Padahal untuk membaca, banyak bagian otak berperan. Semua bagian otak ini perlu bekerja sinergis pada saat yang bersamaan. Para peneliti menyebutnya faktor pembelajaran visual.
Faktor pembelajaran visual ini sangatlah rumit. Untuk bisa paham isi bacaan, seorang anak harus menghubungkan isi tulisan dengan hal-hal yang sudah dia pelajari. Setelah itu ia harus mengingat ulang apa yang baru ia pelajari dan mengintegrasikannya dengan informasi baru.
Dengan kata lain, membaca itu membuat anak terus-menerus menganalisis dan menyatukan informasi. Semakin abstrak satu bahan bacaan (misalnya matematika), tugas pembelajaran anak akan menjadi semakin rumit.
Ada anak-anak yang sulit membedakan huruf-huruf. Misalnya saja, ada anak yang belum bisa membedakan antara “F” dan “E.” Ada juga anak yang tidak bisa membedakan “p” dari “b” atau “d.”
Di awal abad ke-20, John Dewey mengutarakan mata anak-anak itu utamanya dibuat untuk melihat jarak jauh atau melihat benda besar. Untuk bisa berkonsentrasi melihat jarak dekat atau benda kecil dalam waktu lama, syarafnya menegang. Dewey memperkirakan kalau anak-anak jangan dipaksa latihan membaca sebelum usianya 8 tahun. Jika dipaksakan, akan ada kerusakan sistem syaraf dan gangguan otot.
Ada berbagai penelitian yang mendukung dugaan John Dewey ini.
- Dekade 1930-an, Luella Cole dari Columbia University mengutarakan kalau anak 8 tahun itu terlalu cepat untuk mulai membaca simbol tertulis
- Dekade 40-an, Dr. Arnold Gessel menyarankan agar kita perlu hati-hati memaksa mata anak-anak untuk bisa membaca dan matematika
- Dekade 50-an, Lillian Gray, spesialis membaca, menekankan kalau beberapa anak memang tidak bisa fokus pada benda jarak dekat, seperti yang diperlukan untuk membaca dan matematika, sampai setidaknya anak berusia 7-8 tahun
- Dekade 70-an, psikolog Louise Ames menekankan kalau masalah faktor pembelajaran visual ini salah satu penyebab utama gagal di sekolah
Memang banyak anak yang kelihatannya tidak bermasalah walau dipaksa bisa membaca sejak dini. Namun banyak ahli mata menyebutkan ada efek sampingnya, yaitu rabun dekat lebih dini. Padahal pada masa-masa itu, anak-anak harusnya masih melihat jarak jauh.
Sampai usia 8-9 tahun, jaringan mata anak-anak lebih lembut dan plastis dari orang dewasa. Sampai sang anak sudah melewati masa-masa plastisitas ini terlewati, anak tidak boleh terlalu banyak membaca. Kita perlu menunggu sampai sistem visual anak sudah cukup stabil.
Saking berbahayanya untuk mata, otak, ditambah lagi motivasi belajar anak, kita perlu hati-hati jangan sampai terlalu menekan anak untuk bisa membaca. Semakin cemerlang seorang anak, risiko bahaya mengajarkan membaca terlalu dini malah jadi semakin besar.
H.M. Coleman meneliti murid-murid kelas 1-6 SD yang kesulitan membaca. Ia menyebutkan kalau masalahnya bukan pada kecerdasan anak. Anak yang tidak bisa membaca sampai usianya 8 tahun bukan bodoh, perkembangan organ visualnya hanya belum sampai ke sana.
Ditambah lagi, Coleman menemukan kalau 70% anak yang belum bisa membaca itu anak laki-laki. Mengapa? Karena perkembangan anak laki-laki itu 6-12 bulan lebih lambat daripada anak perempuan.
Ada kasus menarik di Texas awal abad XX. Dewan perwakilan mereka menurunkan usia masuk sekolah dari 8 ke 7 tahun. Pada tahun 1930, 33% anak di Texas matanya rabun.
Pada tahun 1931, usia masuk sekolah di Texas turun menjadi 6 tahun. Ternyata pada tahun 1940, jumlah anak rabun meningkat drastis menjadi 50%. Padahal, pada saat usia masuk sekolah masih 8 tahun di abad ke-19, anak yang matanya rabun hanya sekitar 12%.
Sekarang ini, dengan semakin majunya teknologi, layar televisi, komputer, dan gadget tersebar di mana-mana. Akhirnya, masalah rabun dekat jadi semakin serius. Pada tahun 1962, masalah rabun jauh di Texas terjadi pada 80% anak.
Itulah sebabnya anak-anak sebaiknya bermain di luar, apalagi di tengah alam. Di alam, anak tidak perlu memfokuskan matanya terlalu keras. Howard Gardner, pakar kecerdasan majemuk, menyebutkan kalau melihat pepohonan membuat mata sangat rileks. Tentang pentingnya bermain, terutama dengan alam, akan dibahas di bab berikutnya.
Dari segi kesiapan organ penglihatan, ternyata proses membaca itu sangat membuat fisik anak terkuras. Apalagi kalau orang tua menekankan anak supaya bisa membaca sebelum usianya 8 tahun. Tidak mengherankan kalau bibit BLAST itu menjadi semakin terpupuk.
Indera Pendengaran
Banyak peneliti melihat kalau pendengaran anak juga belum cukup matang untuk membaca dengan baik sebelum usianya 8-9 tahun. Dr. Jerome Rosner, peneliti optik Universitas Pittsburgh, memiliki anak perempuan yang kesulitan membaca. Saat memeriksa anaknya, ia mulai menyadari kalau pendengaran juga penting untuk bisa membaca.
Ia mengamati banyak anak yang sulit membaca sebenarnya matanya baik-baik saja. Hanya saja ia tidak puas sampai di situ. Ia mulai memeriksa kemampuan pendengaran mereka. Hasil penelitiannya menunjukkan kalau membaca juga sangat bergantung pada organ auditori. Saat membaca, anak bukan hanya harus menggunakan matanya. Ia juga harus membedakan bunyi-bunyi yang hampir mirip, misalnya p (‘puh’) dan b (‘buh’).
Apalagi, anak juga harus bisa mendengar keseluruhan kata dan menentukan maknanya dalam kalimat. Kalau tidak, anak tidak bisa mengingatnya. Padahal Joseph Wepman dari Universitas Chicago mengungkapkan kalau sebagian anak tidak bisa membedakan dan mengingat suara tertentu sebelum berusia 9 tahun.
Jika kita mencoba membayangkan menjadi anak usia 7 tahun,ia mencoba membaca namun selalu disalahkan dan dianggap bodoh, terlambat berkembang. Padahal sebenarnya organ pendengarannya saja yang belum sampai tahap perkembangannya. Hal ini berpotensi menjadi bibit BLAST kalau tekanan ini terus diberikan pada anak.
Koordinasi Antarindera
Mata dan telinga yang baik bukan satu-satunya hal yang dibutuhkan untuk membaca. Anak-anak butuh bisa mengintegrasikan hubungan antarorgan tubuh. Dr. Harold Birch dan Dr. Arthur Lefford mengatakan sebelum 8 tahun, anak belum bisa mengintegrasikan pembelajaran visual, pendengaran, dengan indera peraba. Untuk bisa mengintegrasikan semua ini, otak anak perlu menghubungkan banyak sel.
Dr. Homer Hendrikson, ahli optimetrik, menekankan pentingnya kesiapan untuk belajar. Ia mengutarakan sulit membaca bukan hanya masalah pada mata, tapi juga disebabkan oleh bagaimana mata bekerja sama dengan otak dan semua indera anak.
Contohnya saja kerja sama antar-indera pada anak yang belajar memainkan alat musik. Anak yang cukup matang untuk belajar biola itu pada usia rata-rata 8,3 tahun. Penelitian lain menunjukkan kalau pada usia 9,5 tahun, anak baru mulai untuk belajar musik. Penelitian yang sama juga menunjukkan perkembangan terbaik pada saat usia anak 11,5 tahun. Pada usia itu, sang anak baru bisa mengoordinasikan pikiran, telinga, dan tubuhnya.
Saking pentingnya koordinasi ini, tidak mengherankan kalau banyak tempat kursus atau pun klub belum mengajarkan teknik sebelum anak memasuki usia 10 tahun. Di bawah itu, anak baru diajak bermain sesukanya. Cara ini bukan tanpa alasan, memang tak baik menggegas anak terlalu cepat.
Kesimpulan
Jika sampai 8 tahun anak belum bisa membaca, anak tidaklah salah. Dia tidak bodoh. Dia tidak tertinggal. Hanya saja perkembangannya belum sampai ke sana.
Kalau kita merasa anak malas membaca, tahan dulu perkataan kita. Jangan salahkan dia. Tidak perlu merasa malu kalau memang anak agak tertinggal dibandingkan teman-temannya.
Sadari kalau memang Allah belum menyiapkan fisiknya untuk berfokus pada buku. Jika hal ini terjadi, anak mungkin sudah Allah siapkan untuk belajar dalam hal lainnya, seperti lewat bermain, belajar etika, atau bersosialisasi.
Kalau kita memaksa anak belajar sesuai keinginan kita, sayang sekali. Memaksa anak terlalu keras justru malah membuat anak kehilangan potensi belajar berbagai hal lainnya. Begitu pula harapan kita ke anak dalam hal-hal lainnya.
Kemampuan membaca ini hanya satu contoh tekanan pada anak yang tidak pada tempatnya. Apalagi jika anak merasa jauh dari kedua orang tuanya, tekanan akan bertambah parah.
Tulisan ini bukan untuk melarang anak membaca sebelum usia 8 tahun. Hanya saja, sebagai masyarakat kita jangan memberi tekanan pada anak untuk bisa membaca terlalu dini. Perkenalkan saja bacaan pada anak. Jika ia tertarik membaca, bersyukur pada Allah. Namun jika tidak, jangan salahkan anak. Kemungkinan besar mata, telinga, dan koordinasi antarinderanya memang belum waktunya digunakan untuk belajar membaca.
Yang pasti, setiap anak itu Allah ciptakan cerdas. Setiap anak akan senang belajar pada waktu yang tepat. Oleh karena itu, tidak perlu menggegasnya untuk belajar terlalu cepat.