Tokoh yang satu ini terlahir dengan nama Muhammad Hasyim di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur pada 10 April 1875 yang bertepatan dengan 4 Jumadil Awwal 1292 H. Ia adalah salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia yang merupakan pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam terbesar di Indonesia. Di kalangan Nahdliyin dan ulama pesantren ia dijuluki dengan sebutan Hadratus Syeikh yang berarti maha guru.
KH Hasyim Asy’ari lekat dengan kehidupan pesantren sejak kecil
Sosok KH Hasyim Asy’ari tidak bisa dilepaskan dari kehidupan pesantren. Ayahnya, Kyai Asy’ari mendidiknya langsung. Nama Asy’ari ia dapatkan dari ayahnya. Ia tumbuh menjadi anak yang shalih dan cerdas. Menjadi penuntut ilmu yang tekun dan belajar dari berbagai ulama di Jawa, diantaranya, di Pesantren Sono, Sewulan (Sidoarjo), Langitan (Tuban), dan Bangkalan (Madura). Bahkan setelah ia menikah di usia 21 tahun, ia memboyong istrinya ke tanah suci untuk berhaji menuntut ilmu. Di sana ia belajar kepada Syekh Nawawi Al Bantani, Sayyid Abbas Al Maliki Al Hasany (mengkaji ilmu hadits), Syekh Mahfudz Termas (mengkaji fiqih dan adab), bahkan ia berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi, yang dikenal sebagai guru para tokoh reformis Islam seperti KH Ahmad Dahlan, Haji Rasul dan Haji Agus Salim.
KH Hasyim Asy’ari meneruskan ilmunya di Pesantren Tebuireng dan dalam kitab-kitab karangannya
Pada tahun 1899, sepulangnya dari Mekkah, KH Hasyim Asy’ari mendirikan Pesantren Tebuireng di Jombang, yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Pada awalnya di sana adalah daerah yang tidak aman, penuh dengan tempat plesir,rampok dan penjual minuman keras. Lambat laun Tebuireng menjadi pusat pendidikan islam yang disegani karena KH Hasyim Asy’ari gigih menyiarkan syariat Islam.
Ia sangat perhatian dengan pendidikan umat, karena itu ia banyak menulis kitab, di antaranya , Ziyadatul Taliqat, Ar , Risalatu At Tauhidiyyah dan termasuk Adabul Alim Wa Al-Muta’alim sebuah kitab yang berisi adab antara pengajar (ulama) dan yang diajar. Pada salah satu buku yang ia tulis, ia mengungkapkan pandangannya terhadap ulama. Baginya, para ulama adalah, “…yang senantiasa mengamalkan ilmunya dengan landasan ketaqwaan kepada Allah, mengharap ridho-Nya, serta demi mendekatkan diri (taqarrub) kepada-Nya.”
Ia juga mengingatkan para ulama untuk tidak menggunakan ilmunya untuk mencari kesenangan duniawi, seperti mencari kedudukan, kekayaan, reputasi, pengaruh, jabatan dan lain sebagainya. Dalam melandaskan pendapatnya ini, ia mengutip hadist riwayat Imam Tirmidzi, “Barang siapa mencari ilmu pengetahuan demi menjatuhkan ulama (lain) dan berdebat dengan fuqaha (orang-orang ahli agama), atau demi mendapatkan pengaruh di mata manusia, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka.”
Ia mengingatkan para alim (ulama) untuk senantiasa takut kepada murka/siksa Allah dalam setiap gerak, diam, perkataan dan perbuatan. Menurutnya, “Hal ini sangat penting diperhatikan mengingat seorang alim pada hakekatnya adalah orang yang dipercaya dan diberi amanat oleh Allah berupa ilmu pengetahuan dan hikmah. Maka meninggalkannya berarti suatu pengkhianatan atas amanat yang telah dipercayakan kepadanya itu.”
Seorang alim bagi KH Hasyim Asy’ari selalu dituntut untuk melakukan hal-hal yang terbaik dan berusaha mengerjakannya dengan sempurna. “Ini penting, mengingat seorang alim adalah figur yang dijadikan panutan dan rujukan oleh umatnya dalam masalah-masalah hukum (syariat). Ia adalah hujjatullah (juru bicara Allah) atas orang-orang awam yang setiap perkataan dan petunjuknya akan diperhatikan oleh mereka.”
Perhatian besar KH Hasyim Asy’ari dalam dunia pendidikan, selalu ia ingatkan bagi para pendidik dan yang dididik untuk senantiasa mencari ridho Allah, mengamalkan ilmu pengetahuan serta menghidupkan (melestarikan) syariat Islam.
KH Hasyim Asy’ari turut berjuang membela kemerdekaan Indonesia
KH Hasyim Asy’ari membuat Belanda kelimpungan dengan memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Fatwa ini menimbulkan perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana. Kyai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Fatwa ini membuat Belanda bingung karena banyak umat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.
Pada tahun 1913, intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas. Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kyai Hasyim dengan tuduhan pembunuhan. Dalam pemeriksaan, Kyai Hasyim mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis sehingga ia dilepaskan dari jeratan hukum. Merasa gagal menjerat KH Hasyim Asy’ari, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren Tebuireng hingga hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an.
Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang. Salah satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap KH Hasyim Asy’ari karena penolakannya melakukan seikerei yaitu berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Tentu saja Kyai Hasyim menolak aturan tersebut sebab hanya Allah lah yang wajib disembah, bukan manusia. Selama dalam tahanan, Kyai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan.
Penahanan KH Hasyim Asy’ari menyebabkan segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng, Jombang vakum total dan keluarganya tercerai berai. Isteri Kyai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang. Namun, berkat protes dari para Kyai dan santri serta usaha dari KH Wahid Hasyim dan KH Abdul Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, Kyai Hasyim dibebaskan oleh Jepang pada tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara.
Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kyai Hasyim Asy’ari bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut. Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu.
KH Hasyim Asy’ari adalah ketua Masyumi yang pertama
Pada tanggal 7 Nopember 1945—tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di Surabaya—umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Kyai Hasyim Asy’ari diangkat sebagai Ro’is ‘Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947.
Dakwah KH Hasyim Asy’ari terhenti oleh usia
Tdak ada makhluk di dunia ini yang dapat menentang kematian. KH Hasyim Asy’ari meninggal di Jombang, Jawa Timur tanggal 25 Juli 1947 yang bertepatan pada tanggal 6 Ramadhan 1366 H. Ia meninggal pada umur 72 tahun dan kini makamnya berada di Tebuireng, Jombang.
Sineas Indonesia mengangkat film tentang sepak terjang KH Hasyim Asy’ari dalam melawan penjajah
Kisah hidup KH Hasyim Asy’ari diangkat ke dalam film Sang Kiai yang rilis tahun 2013. Film ini disutradarai oleh Rako Prijanto dan dibintangi oleh Ikranegara, Christine Hakim, Agus Kuncoro, dan Adipati. Film ini terpilih sebagai wakil Indonesia untuk kategori Film Berbahasa Asing Terbaik dalam Academy Awards ke-86, namun tidak lolos nominasi.