Dikisahkan, Idris bin Abbas menyertai istrinya dalam sebuah perjalanan yang cukup jauh, yaitu menuju kampung Gaza, Palestina, yang mana saat itu umat Islam sedang berperang membela negeri Islam di kota Asqalan. Pada saat itu Fatimah al-Azdiyyah sedang mengandung, Idris bin Abbas gembira dengan hal ini, lalu ia berkata, “Jika engkau melahirkan seorang putra, maka akan kunamakan Muhammad, dan akan aku panggil dengan nama salah seorang kakeknya yaitu Syafi’i bin Asy-Syaib.”
Harapan menjadi nyata, Fatimah melahirkan seorang bayi laki-laki dan anak itu dinamakan Muhammad, dan dipanggil dengan nama “asy-Syafi’i”. Nama lengkapnya, Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasabnya bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan demikian, ia termasuk sanak kandung Rasulullah karena terhitung sebagai keturunan paman-jauh beliau, yaitu Hasyim bin al-Muththalib.
Imam Syafi’i lahir pada tahun kematian Abu Hanifah
Imam Syafi’i lahir pada tahun 150 H (767 M) yang pada tahun tersebut Abu Hanifah wafat, sehingga dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa ia adalah pengganti Abu Hanifah dalam bidang yang ditekuninya. Adapun tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Gaza (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut sebagai tempat kelahirannya yaitu kota Asqalan dan Yaman.
Ibnu Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Gaza di wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.
Imam Syafi’i menghafal al-Quran, mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair, serta membaca kitab-kitab ulama sejak usia dini
Imam Syafi’i menjadi yatim setelah dua tahun kelahirannya. Ibunya kemudian membawanya ke Makkah, tanah air nenek moyang. Di Makkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi’bu al-Khaif. Di sana, sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Imam Syafi’i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, ‘Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.” Dan ternyata kemudian dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi murid-murid lain) jika dia tidak ada. Maka ia adalah murid yang belajar tanpa biaya dan dalam waktu singkat berubah menjadi seorang guru sebelum menginjak usia baligh.
Dikatakan bahwa ia hafal Alquran pada saat berusia 7 tahun. Usai menghafal Alquran di al-Kuttab, ia beralih ke Masjidil Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Kemiskinan tidak membuatnya putus asa dalam menimba ilmu. Ia kumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Semangat belajarnya juga tampak pada usia 12 tahun ia telah membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik.
Ia juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan yang hidup sesudahnya.
Imam Syafi’i berguru pada ulama-ulama Makkah tentang ilmu fiqh
Imam Syafi’i terinspirasi untuk mendalami ilmu fiqh setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid az-Zanji (mufti kota Mekkah), dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid. Ia mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik. Gurunya antara lain Muslim bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ (yang masih terhitung paman jauhnya), Sufyan bin ‘Uyainah -ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain.
Selain itu, ia juga mempelajari keterampilan memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran.
Imam Syafi’i bertemu dan berguru pada Imam Malik di Madinah
Setelah mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179. Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma’il bin Ja’far, Ibrahim bin Sa’d dan masih banyak lagi.
Imam Syafi’i melanjutkan pengembaraan ilmunya ke Yaman
Di Yaman, Imam Syafi’i mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan. Di Yaman, nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Makkah. Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.
Hal yang selalu dihadapi oleh para ulama generasi terdahulu, sekarang, maupun yang akan datang adalah cobaan. Demikian pula halnya yang terjadi pada Imam Syafi’i.
Imam Syafi’i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Oleh karena itu, peerintahan Bani ‘Abbasiyah bersikap sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Imam Syafi’i miris menyaksikan kenyataan tersebut. Ia menampakkan secara terang-terangan rasa cintanya kepada kalangan ‘Alawiyah, Ahlul Bait.
Sikapnya itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu’, padahal sikapnya sama sekali berbeda dengan tasysayu’ model orang-orang syi’ah. Bahkan Imam Syafi’i menolak keras sikap tasysyu’ model orang-orang syi’ah yang meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka. Kecintaannya terhadap Ahlul Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang terdapat dalam Al-Quran maupun hadits-hadits shahih. Dan kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai ahli fiqh madzhab mereka.
Imamm Syafi’i dituduh hendak mengobarkan pemberontakan, sehingga ia ditangkap lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi’i berusaha memberikan penjelasan kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin al-Hasan (ahli fiqh Irak), ia berhasil meyakinkan Khalifah tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.
Ketika berada di Baghdad, Imam Syafi’i kembali mencari ilmu
Di Baghdad, Imam Syafi’i kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma ‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain.
Imam Syafi’i kembali ke Makkah dan mulai menulis kitab ar-Risalah
Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu, beliau kembali ke Makkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah haji berdatangan ke Makkah. Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika kemasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim surat kepada Imam Syafi’i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.
Imam Syafi’i kembali mengembara ke Baghdad hingga terjadi perubahan iklim politik
Setelah lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, ia kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana. Beliau mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits merasa mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yi. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.
Beliau menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau kembali ke Makkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di Makkah.
Tahun 198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam. Imam Syafi’i sangat paham tentang ilmu kalam, tentang pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh (yang selama ini ia anut) di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Ia mengerti betul kebencian ahlu ra’yi kepada ulama ahlu hadits.
Pasca Yaumul Mihnah, Imam Syafi’i bertolak ke Mesir
Provokasi ahlu ra’yi menyebabkan suatu peristiwa yang dikenal sebagai Yaumul Mihnah. Hari itu Khalifah mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham al-Quran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi’i kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Di Mesir, ia mendapat sambutan baik dari masyarakat. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.
Hari-hari terakhir kehidupan Imam Syafi’i
Imam Syafi’i menderita penyakit bawasir yang selalu mengeluarkan darah akibat kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu. Penyakit inilah yang kemudian merenggut nyawanya. Ia wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun.
Ar-Rabi menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi’i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah?” Beliau menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku mutiara-mutiara yang halus.”
Karya Imam Syafi’i
Imam Syafi’i memang hanya hidup selama setengah abad, namun ia sukses memanfaatkan waktunya untuk melakukan perjalanan jauh dalam rangka mencari ilmu dan menulis banyak kitab. Jumlah karyanya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat. Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisi) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariah.