Cut Nyak Dien (ejaan lama: Tjoet Nja’ Dhien) lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh tahun 1848. Keluarganya adalah bangsawan yang taat beragama. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, seorang uleebalang (golongan bangsawan Aceh yang memimpin sebuah kenegerian/nanggroe, yaitu wilayah setingkat kabupaten) di VI Mukim. Ibunya adalah putri uleebalang Lampagar.
Pada usia 12 tahun, ia dinikahkan oleh orangtuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putra dari uleebalang Lamnga XIII. Mereka memiliki satu anak laki-laki.
Yang menarik dari biografi dan kehidupan beliau adalah perjalanan hidupnya yang sangat berbeda dengan kebanyakan perempuan baik di zamannya maupun masa kini. Simak selengkapnya.
Cut Nyak Dien turut melawan tentara Kerajaan Belanda pada saat terjadi penyerangan terhadap Kerajaan Aceh dan pembakaran Masjid Raya Baiturrahman
26 Maret 1873, Belanda resmi menyatakan perang kepada Aceh, ditandai dengan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Pada perang pertama (1873-1874), pihak Aceh dipimpin oleh Panglima dan Sultan Machmud Syah, sedangkan pihak Belanda dipimpin Johan Harmen Rudolf Köhler.
Pada tanggal 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan membakarnya. Bersama suaminya, Ibrahim Lamnga, Cut Nyak Dien turut bertempur pada peperangan Aceh pertama.
Perang ini dimenangkan oleh Kesultanan Aceh, sementara Köhler tewas tertembak pada April 1873.
Cut Nyak Dien kehilangan Teuku Cek Ibrahim Lamnga pada pertempuran di wilayah VI Mukim
Di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten, daerah VI Mukim yang merupakan tempat tinggal Cut Nyak Dien, dapat diduduki Belanda pada tahun 1873. Kemudian Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874. Cut Nyak Dien dan bayinya lalu mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada tanggal 24 Desember 1875.
Suaminya selanjutnya bertempur untuk merebut kembali daerah VI Mukim. Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni. Hal ini membuat Cut Nyak Dien semakin bertambah kebenciannya pada Belanda.
Cut Nyak Dien menikah dengan Teuku Umar
Keponakan ayah Cut Nyak Dien, Teuku Umar, melamar Cut Nyak Dien. Meskipun awalnya menolak, Cut Nyak Dien akhirnya bersedia menikah dengannya karena Teuku Umar mempersilakannya untuk ikut bertempur dalam medan perang. Hal ini membuat meningkatnya moral semangat perjuangan Aceh melawan Belanda. Berdua, mereka berjuang melawan penjajah. Cut Nyak Dien dan Teuku Umar yang menikah pada tahun 1880, memiliki anak yang diberi nama Cut Gambang.
Cut Nyak Dien kehilangan Teuku Umar pada perang di Meulaboh
Cut Nyak Dien melanjutkan perjuangan Teuku Umar
Ketika Cut Gambang, anak Cut Nyak Dhien, menangis karena kematian ayahnya, ia ditampar oleh ibunya yang lalu memeluknya dan berkata, “Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid.”
Cut Nyak Dien lalu meneruskan perjuangan suaminya, Teuku Umar. Pada 1904, di medan Aceh Barat yang berat, Kapten Campioni mengejarnya. Kapten Campioni tewas diserbu 300 pejuang Aceh. Baru setahun kemudian Cut Nyak Dien menutup lembaran gerilyanya. 4 November 1905, Letnan Van Vuuren, berhasil menyergapnya. Dalam kondisi delapan hari tidak makan nasi, hidup hanya memakan pisang bakar, ia terserang penyakit yang membutakan matanya.
Cut Nyak Dien ditawan Belanda
Pang Laot Ali, anak buah Cut Nyak Dien memberitahukan persembunyiannya kepada Belanda. Pang Laot tidak tega melihat kondisi pemimpinnya yang sangat menderita. Ketika Cut Nyak Dien tahu ia telah dikhianati Pang Laot, ia begitu murka, hingga mencabut rencongnya dan hendak menikam Pang Laot. Namun usahanya tidak berhasil. Kamera berhasil mengabadikan wajahnya yang bersedih saat ia ditawan. Bersama keponakannya, T. Nana, 11 Desember 1906, Cut Nyak Dien dibuang ke Sumedang, karena dianggap membahayakan keamanan.
Cut Nyak Dien wafat di tempat yang jauh dari tanah kelahirannya
Dua tahun setelah penangkapan Cut Nyak Dien, 6 November 1908, ia wafat, jauh dari tanah yang dicintainya. Menurut penjaga makam, makam Cut Nyak Dien baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh, Ali Hasan. Pencarian dilakukan berdasarkan data yang ditemukan di Belanda. Pada batu nisan makam Cut Nyak Dhien, tertulis riwayat hidupnya, tulisan bahasa Arab, Q.S. At-Taubah dan Al-Fajr, serta hikayat cerita Aceh.
Sineas Indonesia mengapresiasi perjuangan Cut Nyak Dien dalam bentuk karya film
Perjuangan Cut Nyak Dien diinterpretasi dalam film drama epos berjudul Tjoet Nja’ Dhien pada tahun 1988. Film ini disutradarai oleh Eros Djarot dan dibintangi Christine Hakim sebagai Tjoet Nja’ Dhien, Piet Burnama sebagai Pang Laot, Slamet Rahardjo sebagai Teuku Umar dan juga didukung Rudy Wowor. Film ini memenangkan Piala Citra sebagai film terbaik, dan merupakan film Indonesia pertama yang ditayangkan di Festival Film Cannes (tahun 1989).
BACA JUGA: Foto-Foto Ini Menunjukkan Kondisi Aceh Sebelum dan Sesudah Pembangunan Kembali Setelah Tsunami
Nama Cut Nyak Dien abadi di hati rakyat Indonesia
Berikut beberapa hal yang dilakukan bangsa Indonesia untuk mengenang perjuangan Cut Nyak Dien.
- Biografinya pernah dituangkan dalam bentuk certa bergambar secara berseri dalam majalah anak-anak Ananda.
- Sebuah kapal perang TNI-AL diberi nama KRI Cut Nyak Dhien.
- Mata uang rupiah yang bernilai sebesar Rp10.000,00 yang dikeluarkan tahun 1998 memuat gambar Cut Nyak Dien dengan deskripsi Tjoet Njak Dhien.
- Perangko bernilai 1500 memuat gambar Cut Nyak Dien.
- Namanya diabadikan di berbagai kota Indonesia sebagai nama jalan.
- Masjid Aceh kecil didirikan di dekat makamnya untuk mengenangnya.