2 Cara Mendidik Kejujuran pada Anak

Mana yang lebih penting, mendidik anak untuk jadi orang jujur atau orang pintar? Tentu saja kebanyakan kita akan memilih “jadi orang jujur yang pintar”. Atau “orang pintar yang jujur”. Tentu keduanya penting. Namun sayangnya, negeri ini sekarang seperti kekurangan orang jujur. Media massa banyak memberitakan kasus-kasus kebohongan petinggi negeri ini. Apakah tidak ada lagi orang jujur di Indonesia?

Sebenarnya banyak orang jujur di negeri ini, hanya saja kurang diberitakan. Namun tetap saja, jumlah orang jujur yang banyak ini masih terasa kurang. Oleh karena itu tugas kitalah untuk memperbanyak orang jujur. Cara termudah sebagai ayah adalah mendidik anak kita untuk jadi orang jujur.

Sayangnya pendidikan kita terlalu menekankan anak untuk jadi pintar. Kejujuran kurang sekali ditekankan. Padahal kejujuran itu lebih penting dan seharusnya lebih diprioritaskan daripada mendidik anak jadi pintar. Hanya butuh waktu satu tahun untuk mengajarkan anak matematika, namun butuh waktu seumur hidup untuk membuatnya jujur.

Bagaimanakah cara seorang ayah mengajarkan kejujuran pada anaknya? Dalam Fatherhood Forum I, Adriano Rusfi membagikan 2 teknik yang ia lakukan untuk mengajarkan kejujuran. Berikut penuturan Adriano Rusfi.

1

Memberi hadiah atas kejujuran lebih besar dari hukuman atas kebohongan

huffingtonpost.com

Pernah saya dapat laporan kalau anak saya tidak shalat Jumat. Umurnya waktu itu sudah 11 tahun. Aturan mainnya kalau tidak shalat itu dihukum.

Saya panggil dia, “Sini. Kamu tadi shalat Jumat ngga?” “Ngga.” “Kenapa?” “Ngga tau Bi, agak malas tadi.” “Kamu tahu apa hukumannya?” “Pukul Bi.” “Mana punggungmu.” Saya pukul 3 kali.

Tapi saya sadar. Dia sudah jujur mengakui kalau tidak shalat.  Jujur itu lebih mahal. Jangan sampai gara-gara saya pukul, ia jadi rajin shalat, namun ia jadi kapok untuk jujur lagi. Ini yang bahaya. Betapa banyak manusia yang kepribadiannya baik tapi integritasnya buruk.

Apa penyebabnya? Karena ia pernah jujur mengakui kesalahan lalu dihukum karena kesalahannya. Tapi kejujurannya tidak diapresiasi. Setelah itu ia tidak mau lagi berbuat salah namun juga tidak mau jujur lagi. Seperti itulah koruptor. Perangainya baik. Shalatnya rajin. Tapi mentalnya jelek.

Setelah kasus itu saya sadar kalau saya harus menghargai kejujuran anak saya ini. Dia sudah mengaku tanpa perlu dipaksa. Saya bilang, “Abi ingat kamu paling suka main futsal ya? Kebetulan Abi punya rezeki, yuk kita ke mall. Abi belikan sepatu futsal.”

“Kenapa Bi?” tanya anak saya. “Kamu sudah jujur,” jawab saya.

Hadiah atas kejujurannya harus lebih mahal daripada hukuman atas tidak shalatnya. Dengan itu dia bangga dengan jujurnya dan kapok tidak mau meninggalkan shalat lagi.

Saat anak tidak shalat anak dipukul itu memang ajaran agama. Tapi jujur itu mahal. Untuk anak yang dalam proses pendidikan, jauh lebih penting menghargai kejujuran daripada hukuman tidak shalat.

Tadinya saya mau mengkorting dari dipukul 3 kali menjadi hanya sekali saja. Namun itu tidak bagus. Dipukul sekali tidak akan menimbulkan efek jera. Pukulan itu harus tiga kali untuk membuat dia jera. Jangan dikorting karena dia jujur, tapi jujurnya diapresiasi dengan cara yang lain. Ini tanggung jawab ayah.

 

2

momitforward.com

Kasus lain, suatu ketika saya dari laporan dari gurunya kalau anak saya tidak masuk sekolah. Saat saya tanya dia berbohong. “Kamu sekolah?”

“Sekolah, Bi,” jawabnya.

Bohong itu sebenarnya beban bagi pelakunya. Saya tambah bebannya.

“Siapa temanmu yang tadi tidak masuk?” Terpaksa dia bohong lagi.

“Tadi pelajaran apa saja? Siapa saja gurunya? Ngajarin apa?” Dia harus berbohong terus untuk menjawab pertanyaan saya. Semakin banyak saya tanya, dia menambah kebohongannya.

Akhirnya dia menyerah. “Bi, Bi, stop Bi. Ngaku deh tadi ngga sekolah.”

Kalau dia tidak mengaku, akan saya tanya terus. Dia harus membuat lebih banyak kebohongan lagi. Berbohong itu capek.

“Coba dari tadi mengaku. Tidak perlu saya tanya macam-macam kan,” ujar saya.