Cara paling sederhana untuk menikmati hidup adalah dengan menjadi anak kecil
Anak kecil itu guru yang mengagumkan. Jika kita ingin mengingat siapa diri kita sebenarnya dan juga arti hidup, kita cukup mengamati anak kecil selama beberapa menit. Tidak butuh waktu lama sebelum kita bisa menghargai kebahagiaan, kesederhanaan, dan hidup sepenuh hati yang anak-anak keluarkan. Bahkan mungkin bisa jadi kita bertanya-tanya, “Bagaimana ya caranya supaya aku bisa lebih jadi seperti dia?”
Kemampuan untuk bisa menikmati momen-momen sederhana dalam hidup itu sebenarnya ada dalam jangkauan tangan kita. Bahkan sebenarnya Tuhan menciptakan manusia agar bisa secara alamiah bisa menikmati hidup.
Dalam kepolosan dan kesucian mereka, anak-anak adalah cermin kuat yang menunjukkan pada kita apa yang sebenarnya ada di dalam diri setiap manusia. Anak-anak ini juga menunjukkan hal yang sangat kita rindukan: kehadiran di saat ini, kemampuan penting yang sebenarnya tidak pernah meninggalkan kita, namun bisa jadi sering kita lupakan. Anak-anak membantu kita melepaskan percikan ramah dari dalam diri yang mengatakan, “Inilah diriku yang sebenarnya, dan selama ini aku selalu menjadi seperti ini, jauh di dalam relung jiwaku.”
Aneh memang, namun lebih sulit bagi kita untuk tidak hadir di saat ini daripada untuk hadir di saat ini. Mengapa? Seperti yang sudah disebutkan di atas, hadir di saat ini itulah bentuk alamiah kita.
Menolak kehadiran di masa kini itu seperti mencoba menenggelamkan bola karet ke bawah laut. Padahal sebenarnya kita sudah tahu kalau bola karet itu sudah seharusnya terapung di atas air terbawa ombak dan disinari mentari.
Namun inilah yang mungkin sering kita sebagai orang dewasa lakukan. Kita menghabiskan hidup kita belajar untuk mengikis jiwa kita, hidup di dalam kepala kita, dan memutuskan hubungan dari SAAT INI. Terobsesi akan masa lalu dan masa depan telah kita paksa untuk menjadi cara alamiah untuk hidup.
Terlalu menyesali masa lalu dan berlebihan mengkhawatirkan masa depan telah menjadi kebiasaan kita. Kebiasaan yang tidak alamiah, tidak fitrah, terpaksa menjadi alami. Sedihnya, hal yang sebenarnya sulit telah menjadi norma. Sampai-sampai kita bisa jadi lupa kalau saat ini sebenarnya ada.
Sebenarnya memang hampir tidak ada orang dewasa yang bisa sepenuhnya hidup di masa sekarang. Hidup sepenuh hati di masa sekarang itu latihan terus-menerus yang perlu diberi komitmen seumur hidup. Hidup sepenuh hati itu perlu dipelajari seumur hidup. Kita bisa mempelajarinya dengan bercermin pada anak-anak.
Dalam kondisi gelisah dan galaunya, anak-anak adalah refleksi esensi kehidupan paling murni, dengan segala bentuk kecantikan yang ada. Anak-anak adalah cerminan kebenaran yang sama-sama diberikan oleh sisi murni dari alam yang bisa memberi kita petunjuk akan realitas hidup.
Jika kita membiarkan anak-anak menjadi dirinya sendiri yang sebenarnya, mereka akan menunjukkan jalan pada kita. Mereka akan membimbing kita kembali ke kebenaran akan diri kita yang sebenarnya.
Kita hanya perlu terbuka dan menerima, mengatakan Ya pada dunia yang anak-anak tawarkan, bukannya mencoba memaksa dunia mereka menjadi seperti kita. Saat kita melakukannya, saat kita mempraktikkan hadir sepenuhnya di dunia mereka, kita belaajr untuk hadir sepenuh hati. Dengan membebaskan anak, mengamati anak, mendengarkan anak, dan tetap merasa ingin tahu, kita memasuki dunia mereka sepenuh hati.
Kuncinya ada pada hati yang hidup di masa sekarang, bukan terlalu banyak menggunakan pikiran. Inilah anugerah yang Allah berikan pada anak-anak, yang menjadi petunjuk bagi kita—hati mereka. Dengan menunjukkan hatinya, anak-anak mengundang hati kita untuk ikut keluar dan bermain. Anak-anak mengundang sisi kreatif dan bahagia di dalam diri kita untuk menari di dalam momen masa kini bersama mereka. Dan juga bersama seluruh kehidupan.
Inilah 6 cara anak-anak hidup di masa sekarang. Keenam cara ini bisa kita semua lakukan juga dalam kehidupan sehari-hari.
Keselarasan Tubuh dengan Hati
Anak-anak belum terlepas keterhubungannya dengan tubuh mereka—hati anak-anak hidup dan berekspresi melalui pergerakan yang selaras, dengan kreativitas yang ajaib. Saat anak-anak bergerak dengan bebas, melompat-lompat di trotoar, berlari menghampiri ayunan, sampai berguling-guling, kita sebagai orang dewasa sudah menjadi kaku.
Tentu saja kita dulu persis seperti mereka. Dulu kita selaras dan mempercayai seluruh elemen dalam diri kita. Kita tidak taku untuk menari, terjatuh, berguling-guling di lumpur. Tapi sekarang kita sudah mulai takut.
Rasa takut kita ini dibarengi dengan kebutuhan (atau mungkin ego) kita untuk terlihat cerdas dan rasional serta untuk merencanakan hidup kita. Semua ini telah membuat diri kita perlahan-lahan menjauh dari hati/tubuh dan semakin merasuk ke pikiran/kepala. Kita tidak lagi menari-nari. Tapi kita bergerak seperti anak panah, lurus langsung ke tujuan kita berikutnya (sambil merencanakan tujuan kita berikutnya).
Pikiran tidak hidup di momen saat ini. Hanya tubuh dan hati yang melakukannya. Semakin kita mengikutsertakan tubuh kita dan melepaskannya, semakin kita mengisi hati kita. Begitu pula dampaknya tubuh kita akan mengisi hati kita. Sampai akhirnya kita benar-benar hidup di dalam keajaiban tanpa batas dari saat ini.
Cara Pikir Pemula
Ingatkah kamu saat pertama kali naik sepeda? Atau mungkin saat pertama kali bisa berenang? Semuanya terasa sangat menyenangkan. Itulah cara pikir pemula.
Anak-anak hidup di masa sekarang karena segalanya terasa segar dan baru. Anak-anak tidak punya prasangka akan bagaimana hal-hal seharusnya terlihat atau menjadi seperti apa. “Harusnya” itu tidak ada dalam kosa kata anak-anak.
Anak-anak tidak melabeli seperti orang dewasa. Setidaknya mereka tidak terikat pada label. Itulah sebabnya bagi anak-anak pohon bisa menjadi kapal perang atau semak-semak bisa menjadi markas pasukan.
Terlebih lagi, anak-anak memiliki lebih sedikit cerita yang dihubungkan dengan label dan benda yang mereka lihat. Penyebabnya adalah anak-anak tidak punya kenangan atau hanya punya sedikit kenangan akan benda tertentu. Sementara kita orang dewasa sudah jauh “lebih banyak tahu.”
Kenangan adalah cerita yang tersimpan di dalam pikiran. Cerita ada yang bahagia, menakutkan, menyedihkan, atau memancing kemarahan. Saat kita melihat satu benda atau melihat satu kejadian, di dalam kepala kita muncul pikiran-pikiran. Lintasan pikiran ini bisa memicu perasaan, yang selanjutnya bisa memicu cerita atau kenangan.
Kenangan dan perasaan ini pada kesempatan berikutnya membawa kita ke pemiiran dan perasaan yang baru. Begitu kita mulai sadar, kita sudah menghabiskan 20 menit hanya dengan sedikit menyadari keindahan pemandangan yang ada di depan kita.
Kita terlalu sibuk merenungkan bagaimana kita berharap orang yang ada di dekat kita bisa menikmati indahnya pemandangan seperti yang bisa kita lihat. Sementara itu, anak-anak sepenuhnya kagum, melihat dengan pemujaan tanpa cerita atau label yang bisa memecah pikirannya. Anak memandang dengan kesegaran bahwa setiap momen itu layaknya awal yang baru.
Orientasi Proses
Anak-anak hidup dalam proses berkarya. Sementara itu orang dewasa biasanya lebih fokus pada hasil dari karyanya. Hal ini membuat orang dewasa kesulitan menikmati proses dan juga memutuskan orang dewasa dari kreativitas tanpa batas yang hidup di dalam hatinya.
Pola pikir orang dewasa sudah mengakar untuk hidup dari A-ke-B-ke-C sampai-sampai menghalanginya dari menggunakan kekuatan saat ini (menenggelamkan diri menikmati kejadian A). Pola pikir ini juga membuat orang dewasa dipenjara oleh daftar pekerjaan yang tidak ada batas puasnya.
Anak-anak tidak tertarik pada daftar pekerjaan. Mereka hanya tertarik untuk menjadi. Bukan daftar yang dibuat di pikiran, tapi anak-anak terus-menerus secara spontan mengekspresikan isi hati mereka. Kondisi mengalir dari hidup di saat ini membuat mereka mampu bergerak dengan hati kreatif dalam tiap momen.
Tiap momen saling berbaur satu sama lain. Ini membuat anak bergerak layaknya kuas. Kuas yang melukis kanvas dari satu tarikan ke tarikan berikutnya dengan kenyamanan dan kepuasan yang konstan. Tidak ada yang bisa menghalangi sang anak sampai ada hal lain yang menarik perhatiannya. Saat itulah hal baru itu menjadi tugas baru yang secara penuh ia kerjakan. Momen saat ini yang memimpinnya ke sana.
Mimpi dan Imajinasi
Anak-anak sangat percaya akan kekuatan mimpi dan imajinasi. Anak-anak tidak mempertanyakan 2 hal ini layaknya orang dewasa. Anak-anak mempercayai 2 hal ini. Anak kecil membiarkan mimpi dan imajinasi untuk memberi tahu dirinya apa yang nyata, apa arti hidup, dan peran anak di dunia ini.
Menjadi peri sangat masuk akal di dalam hati anak. Kita juga tidak mau merebut peran tersebut darinya. Penyebabnya karena mimpi dan imajinasi adalah inspirasi dari hati.
Itulah cara jiwa menawarkan gambaran besar dari realita. Itulah cara jiwa melampaui batas pikiran dan cara hidup konvensional.
Rebut mimpi dari hidup seseorang. Pada saat itulah kita memaksakan realita yang tidak mencerminkan jiwa anak-anak. Semakin sering hal ini dilakukan, anak akan semakin terputus dari hatinya dan juga dari menikmati saat ini. Anak akan tumbuh menjadi sosok yang terpaku pada “harusnya begini” dan “harusnya jangan begitu.” Anak menjadi terjauhkan dari bisikan jiwa yang menginspirasi adanya mimpi dan imajinasi.
Lepas dan Bebas
Anak-anak tidak takut untuk menunjukkan perasaannya. Saat perasaan memuncak, anak-anak membiarkannya keluar. Anak-anak berteriak keras-keras, menangis sesenggukan dengan air mata mengalir di pipinya.
Apa yang muncul dari dalam dirinya itu langsung terlihat dan terdengar tanpa jeda. Tidak ada yang menyalahkan bagaimana anak merasa. Terlebih lagi, saat anak kecil mengekspresikan satu perasaan, setelah itu ia langsung mengungkapkan perasaan berikutnya. Anak-anak bisa merasa bahagia, sedih, dan marah secara bergantian dalam waktu kurang dari 1 menit. Lalu tiba-tiba semua masalahnya terlupakan dan ia terpaku pada mainan bonekanya.
Sungguh mengagumkan bisa menyaksikan momen seperti ini! Anak-anak mengajarkan orang dewasa bagaimana cara berani hidup bersama perasaan kita. Anak-anak mengajarkan kita cara hidup mengalir dengan perasaan yang bebas dan segera terekspresikan. Mengalir dalam bentuk pergerakan energi.
Namun, masalah terjadi saat anak diajari kalau merasakan dan mengekspresikan perasaan tertentu itu tidaklah aman. Anak-anak segera memutuskan secara sadar atau pun tidak sadar untuk memblok aliran energi yang berkaitan dengan perasaan ini.
Perasaan anak menjadi terhambat. Inilah awal mula dari penyakit. Inilah yang menyebabkan kematian kebebasan sang anak dari hidup sepenuh hati.
Terpesona Akan Kehidupan
Anak kecil belum hilang rasa terpesonanya pada kehidupan. Anak kecil berdiri di ujung lautan luas dan melihat segalanya dengan rasa takjub dan kekaguman. Banyak momen akan terlewati, namun ia tetap menatap, hampir tak bergerak.
Anak kecil tidak tahu nama lautan. Ia juga tidak tahu apa yang ada di dalamnya. Namun anak kecil senang memandangi warnanya, burung-burung yang terbang di atasnya, dan kemilau cahaya matahari yang menari di permukaan ombak.
Pesona akan masa sekarang ini ada pada kita semua. Kita bisa mengalaminya dalam berbagai aktivitas, misalnya saja saat memasak atau membersihkan toilet. Syaratnya, kita perlu mengizinkan diri kita untuk sepenuhnya hidup pada saat ini.
Begitu kita menarik nafas dalam-dalam dan melepaskan ego dari lompatan pikiran kita. Jika kita menggunakan semua indera kita. Kita merasakan angin menepis kulit kita, warna yang mencolok, suara dan tekstur yang bervariasi, serta perasaan yang timbul dari tubuh kita.
Kita bisa hadir hanya jika kita mengizinkan diri kita untuk berhenti sejenak dan menghargai keindahan dan keberlimpahan hidup sekali lagi. sama seperti yang kita lakukan saat kita masih anak-anak. Pada saat itulah kita bisa bermesraan dengan esensi kehidupan dan juga diri kita sendiri.
Sebuah esensi yang hanya bisa kita alami di saat ini, bukan masa lalu, bukan pula di masa depan.
“The best way to preserve a child’s vision is to let them see things their way rather than yours.”
Dr. Jacob Liberman