5 Faktor yang Menyebabkan Supporter Indonesia Sering Berbuat Anarkis

Sepak bola adalah keindahan, skema permainan antar pemain yang harmoni bagai memandang orkestra di lapangan. Sepak bola adalah seni, gocekan-gocekan maut bak penari yang menari-nari di rumput hijau.

Sepak bola adalah kecerdasan, teknik mengolah si kulit bundar, strategi meraih kemenangan, semuanya membutuhkan olah pikir yang tak sembarangan.

Sepakbola adalah sportivitas, mengakui kekalahan, menerima keputusan wasit, memberi bantuan kepada lawan bertanding, semuanya mengesankan itu. Semangat boleh memanas, tapi pikiran tetap harus dingin.

Keindahan, kesenian, kecerdasan, dan sportivitas, sungguh sangat tidak masuk akal jika sepak bola lalu dimaknai sebagai perang antar supporter, militansi berani mati dan mencelakai pihak lawan.

Inilah gambaran mayoritas supporter di Indonesia, mereka jauh dari kata dewasa jika tidak ingin disebut ‘kolot’. Bentrokan dan pengroyokan seakan menu sehari-hari dalam pemberitaan sepak bola nasional.

Kondisi sepak bola Indonesia yang tengah terpuruk semenjak dibekukannya PSSI dan sanksi dari FIFA, seharusnya menjadi moment tepat untuk membenaahi semua elemen dari sepak bola, termasuk supporter.

Namun belakangan ini dengan kasus meninggalnya supporter akibat gesekan antar mereka, sepertinya Indonesia masih jauh untuk bisa menjadi supporter ideal.

Contoh paling ideal adalah supporter klub liga inggris, mereka tidak kurang fanatiknya dengan supporter kita bahkan ada yang menyebut sepak bola seperti agama kedua supporter Inggris. Namun fanatisme itu tidak membuat mereka berbuat anarkis, mereka tahu dampaknya karena punya pikiran panjang.

Dalam pertandingan di Inggris, tidak ada pagar antara tempat duduk penonton dengan lapangan stadion. Semua orang bisa masuk dan menghampiri pemain lawan dan berbuat anarkis. Namun nyatanya tidak ada kejadian bukan?

Sebenarnya apa sih yang menyebabkan supporter Indonesia berbuat anarkis dan sering melakukan bentrokan fisik? Berikut adalah faktor yang menyebabkan supporter Indonesia sering melakukan kekerasan.

Pendidikan yang Tidak Memadai

cangkallax-corporation.blogspot.com

Bukan berarti kita memandang remeh supporter Indonesia dan menghina. Tapi ini adalah fakta bahwa supporter yang sangat fanatik di Indonesia lebih banyak dari kalangan yang tidak berpendidikan.

Jika mereka punya pendidikan yang memadai, mereka akan punya pikiran dan pandangan yang baik tentang cara mendukung klub sepak bola yang benar.

Kebanyakan supporter yang melakukan kekerasan juga adalah orang-orang yang tidak punya latar pendidikan yang baik. Ini bukan sekedar pendidikan formal, karena kadangkala pendidikan formal juga tidak menjamin.

Yang paling penting adalah pendidikan moral, pendidikan agama, juga pendidikan tentang kebangsaan. Kalau sudah dibekali itu semua, mustahil mereka masih mau melakukan kekerasan dalam kegiatan supporter.

Maka benar pendapat orang bahwa kedewasaan supporter di masyarakat tergantung bagaimana tingkat pendidikan di masyarakat itu.

Akibat Kemiskinan

efekgila.com

Kemiskinan diyakini banyak pengamat sebagai pemicu tindak kekerasan, seperti terorisme. Tidak jauh berbeda dengan kekerasan yang dilakukan oleh supporter sepak bola, kebanyakan mereka adalah orang-orang yang punya latar ekonomi lemah.

Apa hubungannya? Tindak kekerasan lebih mudah dilakukan mereka sebagai bentuk pengalihan terhadap tekanan ekonomi. Mereka mudah tersulut, tidak berpikir panjang tentang nasib dan masa depannya jika melakukan kriminal.

Fanatisme Buta

foto.metrotvnews.com

Fanatisme yang tertanam pada supporter sepak bola yang melakukan kekerasan tentu sudah kelewat batas dan tidak proporsional. Kecintaan yang terlalu dalam bahkan melebih kecintaan pada diri sendiri, akibatnya mereka akan lebih mudah untuk membenci pihak yang berlawanan.

Fanatisme ini juga berasal dari kecintaan kepada daerah asal yang direpresentasikan oleh klub sepak bola.

Budaya Premanisme

simomot.com

Semua bentuk perkelahian massal, tawuran atau pengroyokan, baik dilakukan pelajar, supporter, ataupun warga biasa adalah manifestasi dari budaya premanisme.

Bahkan perguruan pencak silat yang punya nilai dan fiolosofi saja menjadi langganan dalam tawuran. Jadi jangan heran jika supporter yang identik dengan kerumunan, ditambah latar belakang ekonomi dan pendidikan juga banyak melakukan kekerasan.

Pengelola Sepak Bola yang Permisif

detakpalembang.com

Jika ada korban jiwa akibat bentrokan, maka para stakeholder sepak bola baru ramai-ramai untuk turun tangan. Ibaratnya hanya menyelesaikan masalah permukaannya saja, mereka tidak berfikir bagaimana akar masalah dari supporter.

Bisa jadi para pengelola seperti PSSI dan manajemen klub menjadi permisif karena kesengajaan. Itu karena supporter yang militan sama dengan ramainya tiket penonton dan larisnya merchandise, yang artinya pundi-pundi uang bagi mereka. Semoga saja dugaan ini tidak benar.