Setiap peringatan Hari AIDS, ada beberapa pihak yang membagi-bagikan kondom. Niatnya untuk menyelamatkan orang-orang dari bahaya AIDS.
Tentu ini menimbulkan kontroversi. Masyarakat yang menjunjung tinggi hubungan pernikahan, yakni dengan berhubungan seks dengan pasangan yang sah, merasa tindakan membagi-bagikan kondom ini merusak nilai-nilai bangsa.
Namun apa sebenarnya yang melatarbelakangi tindakan membagi-bagikan kondom ini? Apakah memang benar strategi ini ampuh untuk melawan AIDS?
Saya ingin mengajak Anda untuk menengok Thailand di akhir abad ke-20. Untuk melihat bagaimana jutaan penduduk Thailand selamat dari infeksi HIV.
Tragedi menyebarnya AIDS di Thailand
Pada ulang tahun ke-60 Raja Thailand, Rama IX, memberikan hadiah pada negerinya. Malangnya, hadiah sang raja ternyata berakibat buruk pada rakyatnya.
Sebelum ulang tahun sang raja, kasus AIDS di Thailand hanya ditemukan di penghuni penjara. Penyebab merebaknya AIDS di penjara adalah para narapidana menularkan penyakit satu sama lain dengan menggunakan jarum suntik narkoba yang sama. Pada tahun 1986, hanya 36 kasus AIDS tercatat di Thailand.
Namun pada tahun 1988, niat baik di ulang tahun sang raja, Rama IX memberikan pembebasan ke 30 ribu narapidana. Dibebaskan dari kungkungannya, virus HIV merayakan kebebasannya dengan menyebar ke komunitas pengguna narkoba.
Hanya dalam beberapa bulan, hampir setengah pengguna jarum suntik narkoba di Thailand sudah terinfeksi. Pakar penyakit menular di Thailand menyaksikan betapa mengerikannya penyebaran penyakit dari satu kelompok masyarakat ke masyarakat lainnya.
Dari pengguna jarum suntik narkoba, korban berikutnya adalah para pekerja seks komersial (PSK). Dalam setahun, setiap satu dari 3 PSK sudah terdeteksi positif HIV. Siapakah korban berikutnya setelah PSK? Tentu konsumen mereka.
Pria-pria sudah menikah yang berselingkuh dan “jajan” pun tertular. Istri mereka tidak sadar akan hal ini dan ikut tertular juga. Yang terakhir, bayi-bayi yang baru lahir pun terkena.
Pada tahun 1993, sudah ada 1 juta penduduk Thailand yang terinfeksi HIV. Pakar kesehatan di seluruh dunia memperkirakan beberapa tahun lagi, Thailand akan memiliki tingkat infeksi HIV tertinggi di dunia. Angka prediksinya mengerikan: 1 dari 4 orang dewasa diprediksi terkena HIV.
Namun, ternyata hal itu tidak pernah terjadi. Dua tahun setelahnya, sang virus berhenti menyebar. Pada akhir tahun 1990, penderita baru berkurang sebesar 80%. World Health Organization memperkirakan pada tahun 2004, lebih dari 5 juta orang yang diprediksi terinfeksi akhirnya terselamatkan.
Apa yang terjadi di Thailand? Langkah apa yang Thailand lakukan untuk melawan AIDS? Yuk kita telusuri strategi seorang peneliti. Ialah tokoh utama dalam perang melawan AIDS di Thailand.
Ialah Dr. Wiwat Rojanapithayakorn, yang biasa disebut Dr. Wiwat.
Bagaimanakah cara Dr. Wiwat melawan HIV?
Saat ditugaskan pemerintah Thailand untuk melawan AIDS, Dr. Wiwat tidak tahu cara yang tepat untuk mengatasi badai penyakit yang sedang melanda. Ia pun tidak langsung berhasil.
Saat AIDS mewabah di Thailand, Dr. Wiwat memerangi penyakit ini bersama beberapa rekannya di provinsi Ratchaburi. Yang dia pahami saat itu, kunci untuk memerangi penyebaran penyakit ada pada 1 hal: membuat masyarakat “menyadari” adanya ancaman HIV.
Para pakar memberi saran pada Dr. WIwat bahwa penyakit menyebar karena ketidaktahuan orang-orang. Tentu saja yang disebut pakar ini adalah konsultan dalam dan luar negeri yang sudah mencari tahu masalah penularan AIDS namun belum pernah mengatasinya sendiri.
Dr. Wiwat mengikuti saran menyebarkan kesadaran alias awareness tersebut kepada masyarakat. Dengan spesialisasi dalam bidang penyakit seksual menular, ia mengedukasi “masyarakat yang belum tahu.”
Tim Dr. WIwat menyebarkan poster-poster, memberikan seminar-seminar, sampai meminta para selebritis untuk membicarakan tentang AIDS dan HIV di televisi dan radio.
Walau sudah sekuat tenaga, usaha tim Dr. Wiwat gagal. Setelah menghabiskan waktu 2 tahun, tenaga yang membuat lelah, dan uang pemerintah yang banyak, para peneliti mendapat kesimpulan yang pahit: hasilnya nihil sama sekali. Masalah persebaran HIV malah bertambah buruk.
Pada saat itulah, Dr. Wiwat memutuskan untuk membuang saran para pakar dan juga teori-teori yang ia punya. Dr. Wiwat mulai mengabaikan rekomendasi pihak-pihak yang tidak pernah berhasil mengatasi penyebaran penyakit. Ia mulai mencari strateginya sendiri.
Langkah apa yang pertama Dr. Wiwat Ambil? Ia mengamati data siklus persebaran AIDS di seluruh Thailand.
Tidak butuh waktu lama sampai Wiwat menyadari bahwa 97% infeksi HIV yang baru disebarkan oleh PSK. Data ini tampak aneh sampai Wiwat menyadari bahwa Thailand memiliki lebih dari 150 ribu PSK. Untuk setiap 150 laki-laki dewasa di Thailand, ada 1 PSK.
Dengan harga yang cukup murah dan jumlah PSK yang relatif banyak, sebagian besar pria Thailand rutin mendatangi rumah bordil.
Dengan mengetahui data ini, Dr. Wiwat menyadari fokus timnya perlu diarahkan ke mana. Jika hubungan dengan PSK-lah yang menyebabkan persebaran HIV, pilihan terbaiknya adalah memfokuskan perhatiannya ke industri seks. Walau pada saat itu pemerintah Thailand tidak mau mengakui kalau industri seks komersil yang sangat besar ada di Thailand.
Adanya lebih dari satu juta infeksi HIV di Thailand membuat Wiwat mengesampingkan sensitivitas politik dan imej publik. Jika masalah ada di rumah bordil, solusinya ada di sana juga.
Tugas Wiwat berikutnya adalah memengaruhi PSK untuk berhenti menyebarkan virus HIV. Wiwat perlu mencari strategi yang mengubah kebiasaan pelacuran di Thailand. Bagaimanakah caranya?
Jawabannya adalah penggunaan kondom. Wiwat memperkenalkan strategi yang kini dikenal dengan nama The 100% Condom Program.
Tanggapan penduduk Thailand terhadap kondom
Saya ajak Anda untuk meresapi pandangan masyarakat Thailand terhadap kondom. Di Thailand, masyarakat memilih untuk tidak mau tahu soal perdagangan seks, padahal cukup signifikan di Negeri Gajah Putih ini. Selain itu, masyarakat Thailand yang sopan tidak membicarakan kondom dalam kehidupan sehari-harinya.
Tidak banyak yang bisa Wiwat lakukan. Ia tidak bisa meningkatkan kesetaraan gender. Ia tidak punya kuasa untuk menghentikan perdagangan seks. Sementara itu infeksi HIV di Thailand terus bertambah sangat cepat setiap harinya.
Oleh karena itu, Wiwat benar-benar memfokuskan pekerjaannya dalam membuat PSK Thailand menggunakan kondom dalam rutinitas pekerjaannya.
Wiwat menghadapi PSK wanita yang muda, miskin, dan pemalu. Wiwat perlu mengubah perilaku para wanita ini. Tujuannya adalah membuat mereka mau menolak melayani pelanggan pria yang lebih tua dan lebih kaya jika pelanggannya ini tidak mau memakai kondom.
Mulanya, wanita-wanita muda ini menolak. Mereka takut diintimidasi oleh pelanggan yang vokal. Para PSK ini tidak tahu apa yang bisa ia katakan dan cara mengatakannya. Mereka dengan cepat menyerah dan membuat dirinya dan juga ribuan orang lainnya berisiko terkena HIV.
Wiwat mencari strategi lain. Ia mengidentifikasi PSK yang sudah berpengalaman dan berani berpendapat. Setelah itu Wiwat meminta PSK veteran ini untuk melatih junior-juniornya untuk mempertahankan kesehatannya sendiri.
Para PSK ini saling berbagi kalimat yang bisa diucapkan yang bisa membuat pelanggan tidak tersinggung namun pada saat yang bersamaan tetap teguh meminta menggunakan kondom.
Saat berlatih memeragakan kalimat ini, para PSK muda ini menjadi percaya diri untuk mengatakannya pada pelanggan. Mereka terus berlatihsampai akhirnya benar-benar bisa meminta pelanggan untuk menggunakan kondom.
Hasil dari coaching ini,penggunaan kondom di lingkungan industri seks meningkat dari 14% menjadi 90%. Alhasil, persebaran AIDS di Thailand bisa dihentikan.
Kisah sukses menghentikan AIDS di Thailand ini membuat argumen membagi-bagikan kondom saat Hari AIDS semakin kuat. Di berbagai negara, termasuk di Indonesia, ada saja yang menjadikan bagi-bagi kondom ini tradisi di tanggal 1 Desember.
Namun apakah ini sudah tepat? Untuk mengetahuinya, saya perlu menelusuri persebaran AIDS di Indonesia.
Solusi persebaran AIDS di Indonesia
Berdasarkan data Pelopor Keluarga Berencana di Indonesia (PKBI), kelompok ibu rumah tangga mengalami 6.539 kasus. Disusul oleh wiraswasta sebanyak 6.203 kasus, profesional/karyawan 5.638 kasus, petani/peternak/nelayan 2.324kasus, buruh kasar 2.169 kasus, narapidana 359 kasus.
Data yang ada mirip dengan Thailand pada awal 90-an. Penderita terbesar AIDS adalah ibu rumah tangga. Dugaan saya, pola penyebarannya pun mirip. Sang suami yang selingkuh membawa HIV ke rumah dan menularkannya ke istrinya (ditambah lagi anaknya yang kelak lahir).
Merujuk kasus di Thailand. Jika memang ingin menghentikan infeksi HIV yang baru, strategi yang tepat bukanlah membagi-bagikannya di depan umum. Selain tidak tepat, hal ini memberi kesan pada generasi muda bahwa hubungan seks bebas itu wajar dan sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa ini.
Apakah memang seperti itu? Tentu nurani Anda sendiri yang bisa jujur menjawabnya. Saya pribadi merasa masyarakat Indonesia ini mempunyai karakter yang luhur. Harapan bangsa Indonesia masih tinggi.
Saya percaya kalau masyarakat Indonesia menghargai setia pada pasangan yang sah. Saya percaya anak-anak muda Indonesia mampu menahan diri untuk kawin setelah menikah, hanya dengan pasangannya yang sah tentu saja.
Jika Anda memilih untuk ikut percaya bersama saya, mari bersama-sama kita cerahkan bangsa ini. Jika Anda memilih untuk tidak percaya pada bangsa Indonesia, jika Anda memilih untuk tidak percaya pada bangsa Anda sendiri, dan tetap membagi-bagikan kondom, saya harap kita bisa sepakat untuk tidak sepakat.
Sejatinya, membagi-bagikan kondom di ruang publik itu terasa seperti hanya mencari sensasi. Hanya mencari perhatian. Jika memang serius ingin menghentikan
Namun perbedaannya adalah dalam hal skala, di Indonesia angka ini masih relatif kecil jika saya bandingkan dengan jumlah penduduk. Thailand pada dekade 90-an ada pada kondisi darurat HIV, sementara jumlah pengidap AIDS di Indonesia dapat dikatakan lebih jarang dari Thailand.
Solusi yang lebih tepat di Indonesia adalah menghapuskan industri pelacuran. Tentu akan ada mafia-mafia yang melawan. Namun dampak dari pelacuran terlalu besar. Persebaran AIDS hanya bagian kecil dari dampak buruk industri seks.
Penelitian yang dilakukan oleh London Metropolitan University menunjukkan beberapa dampak negatif jika masyarakat seperti saya membiarkan industri seks:
Berdasarkan hasil riset tersebut, ternyata usaha legalisasi prostitusi (alias lokalisasi yang diatur pemerintah) mengakibatkan dampak berikut ini:
- Meningkatnya semua aspek industri seks
- Meningkatnya keterlibatan mafia kriminal dalam industri seks
- Meningkatnya kasus prostitusi anak-anak
- Ledakan jumlah imigran wanita dan remaja yang diselundupkan ke negara tersebut
- Indikasi peningkatan kekerasan terhadap wanita
Penelitian tersebut dilakukan di Australia, Irlandia, dan Belanda. Ketiga negara ini mencoba melegalkan seks melalui lokalisasi. Namun dampaknya justru bertambah buruk dibandingkan sebelum dilakukan lokalisasi. Belum lagi rumah tangga yang menjadi retak karena “perselingkuhan berbayar” ini.
Saya tidak mau dampak buruk industri seks terjadi juga di Indonesia. Untuk itu, perlu komitmen besar dari bangsa Indonesia yang luhur ini untuk memberantas prostitusi.
Caranya bagaimana? Swedia sudah membuktikan bahwa pelacuran di Negeri Viking tersebut bisa dihapuskan. Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, sudah mampu melakukan di kotanya. Keberanian saya dan juga Anda akan sangat berarti untuk menjadikan bangsa ini generasi emas.
Indonesia masih membutuhkan orang-orang yang percaya bahwa bangsa ini mampu melangkah melewati batas. Indonesia butuh orang-orang yang percaya bahwa bangsa ini menjunjung tinggi keharmonisan keluarga. Dengan keluarga yang hangat, fondasi kebangkitan Indonesia akan sangat kokoh.
Saya masih percaya bahwa bangsa Indonesia ini bukan hanya berkomitmen menghentikan persebaran AIDS. Saya masih percaya bahwa bangsa Indonesia berkomitmen menjaga keutuhan keluarga dan perasaan setiap anggotanya.
Bagaimana dengan Anda?
http://pkbi.or.id/ironis-ibu-rumah-tangga-kelompok-penderita-hivaids-tertinggi-di-indonesia
Harvard Medical School. The 100% Condom Program
Grenny, Joseph. Influencer: The New Science of Leading Change.