Gosip dan ngerumpi sudah menjadi makanan sehari-hari bagi banyak orang. Bukan hanya wanita, pria pun melakukannya, hanya saja dalam bentuk yang berbeda. Seringkali kebiasaan gosip dan ngerumpi ini menjebak orang-orang di dalamnya ke satu hal: membicarakan keburukan orang lain.
Namun, apa sebenarnya yang ilmu psikologi katakan tentang kebiasaan ngerumpi dan gosip ini? Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari kebiasaan seseorang untuk ngerumpi dan bergosip? Terlebih lagi, apa pengaruh dari gosip dan ngerumpi terhadap pendidikan anak?
Dalam buku Daring Greatly, Brene Brown menceritakan kisah Susan, seorang ibu yang belajar tentang dampak gosip dan ngerumpi pada anaknya yang baru kelas 1 SD.
Cerita ibu-ibu yang ngegosip dan tanggapan anaknya
Susan sedang berkumpul dengan teman-temannya, sesama orang tua murid, di sekolah. Mereka sedang sibuk bergosip dan ngerumpi sambil menunggu jam pulang sekolah. Topik yang mereka bicarakan adalah: orang tua siapa yang akan menjadi tuan rumah acara tahunan kelas?
Semua ibu yang ada di sana tidak mau repot menjadi tuan rumah. Tapi ada satu ibu yang merelakan diri. Semua ibu yang ada di sana merasa rumah ibu ini “kotor dan jorok.”
Ibu-ibu ini pun membicarakan hal-hal tentang ibu yang menawarkan diri ini dan juga kondisi rumahnya. Pada akhirnya, mereka memutuskan tidak akan membiarkan rumah itu dijadikan tempat acara tahunan kelas. “Rumah yang ‘kotor’ itu akan membuat kita semua terlihat jelek,” kata para ibu yang merasa “rumahnya masing-masing lebih baik.
Setelah acara gosip dan ngerumpi selesai, Susan menjemput ketiga anaknya. Yang tertua kelas 3 SD, yang tengah kelas 1 SD, yang bungsu masih TK. Mereka pun pulang naik mobil.
Saat perjalanan pulang, anak keduanya tiba-tiba berujar dari kursi belakang, “Saya rasa Ibu adalah ibu yang hebat.” Susan pun tersenyum dan berkata, “Oh, terima kasih Sayang.”
Beberapa lama kemudian, mereka berjalan memasuki rumah. Anak tengahnya ini datang sambil menangis. Ia tatap wajah Susan sambil bertanya, “Apakah Ibu merasa rendah diri? Apa Ibu baik-baik saja?”
Jelas Susan sangat terkejut akan reaksi anaknya ini. Susan pun mendekati anaknya lalu berlutut. “Tidak, Sayang. Kenapa?” tanya Susan.
Anaknya menjawab, “Ibu selalu bilang kalau ketika orang-orang berkumpul dan berbicara buruk tentang seseorang hanya karena merkea berbeda, itu berarti mereka mungkin sedang merasa rendah akan diri mereka sendiri.”
Anaknya melanjutkan, “Ibu bilang kalau kita merasa percaya diri, kita tidak akan mengatakan hal-hal buruk tentang orang alin.”
Susan tiba-tiba merasa sangat malu. ia menyadari kalau anaknya mendengar obrolannya di sekolah.
Brene Brown mengajukan pertanyaan reflektif untuk menghadapi kondisi seperti ini.
Inilah saat untuk menunjukkan parenting yang sepenuh hati. Dapatkah Susan menahan diri menoleransi kerapuhan dirinya selama beberapa waktu agar bisa bertindak lebih bijak?
Atau Susan merasa harus melepaskan rasa malu dan tidak nyaman yang ia rasakan dengan menyalahkan sang anak karena telah berkata “kurang ajar”?
Dapatkah Susan mengambil kesempatan ini untuk memuji anak atas empati yang anak tunjukkan? Dapatkah Susan menerima bahwa dirinya bisa berbuat salah? Lebih penting lagi, apakah Susan mau memperbaikinya?
Jika Susan ingin anak-anaknya merasa memiliki dan jujur terhadap pengalaman mereka, dapatkah ia jujur terhadap dirinya sendiri?”
Susan memutuskan untuk berani menghadapi rasa malunya. Ia menatap anaknya dan berkata, “Terima kasih banyak sudah perhatian sama Ibu dan menanyakan perasaan Ibu. Ibu merasa baik-baik saja tapi Ibu pikir Ibu sudah membuat kesalahan. Ibu butuh sedikit waktu untuk memikirkan hal ini. Kamu benar tentang satu hal Nak, Ibu sudah mengucapkan hal-hal yang menyakitkan orang lain.”
Setelah Susan selesai dengan perasaannya sendiri, ia mengajak anaknya duduk bersama. Mereka mendiskusikan betapa mudahnya terjebak bergosip saat sedang berkumpul dengan teman.
Susan jujur dan mengakui bahwa ia terkadang berjuang melawan “apa yang orang lain pikirkan.” Lalu anaknya mendekat padanya dan berbisik, “Aku juga kayak gitu Bunda.” Mereka pun berjanji untuk terus saling menceritakan pengalamannya masing-masing.
Apa yang bisa kita pelajari dari kisah Susan ini?
Setidaknya ada 2 hal, yang pertama adalah dampak dari bergosip (membicarakan hal buruk tentang orang lain) pada perkembangan anak. Penelitian yang dilakukan Brene Brown menunjukkan bahwa membicarakan keburukan orang lain adalah tanda kurang percaya diri pada pelakunya.
Saat orang tua melakukan hal tersebut, orang tua sedang menunjukkan bahwa perasaan rendah diri itu harus ditutupi. Cara menutupinya adalah dengan merendahkan orang lain (sehingga orang tua merasa dirinya lebih baik. Terdengar logis kan?) Itulah yang kita ajarkan pada anak saat bergosip.
Itulah sebabnya dalam parenting, hindarilah bergosip. Jadilah orang yang layak untuk anak contoh. Hal-hal yang orang tua lakukan jauh lebih melekat dalam diri anak daripada nasihat-nasihat.
Hal kedua adalah dalam menanggapi kesalahan. Semua orang tua pasti tahu kalau “tidak ada orang tua yang sempurna.” Tapi apakah Anda menyadari bahwa Anda juga tidak sempurna dan tidak selalu benar. Agar otak dan jiwa anak berkembang dengan sehat, orang tua perlu menunjukkan bahwa orang tua berani mengakui kesalahannya sendiri di depan anaknya..
Brene Brown mengungkapkan pentingnya orang tua untuk menunjukkan perasaan seperti ini pada anak, “Ayah dan Bunda tidak sempurna. Ayah dan Bunda tidak selalu benar. Tapi Ayah d anBunda selalu ada di sini, terbuka, memperhatikanmu, dan mencintaimu.”
Tanggapan Susan sudahlah tepat. Susan tidak kalah oleh rasa malunya. Susan tidak memarahi anaknya untuk menutupi perasaan bersalahnya. Susan berpikir mendalam. Susan mengajak anaknya berbicara. Susan mengakui kesalahannya. Dan Susan menunjukkan komitmen untuk memperbaiki kesalahannya. Anaknya belajar banyak dari tindakan Susan ini, dan tentu Susan belajar lebih banyak dari tindakan anaknya.
Jadi, setiap kali Ayah/Bunda bergosip tentang keburukan orang lain, tanyakanlah pada diri sendiri, “Apa sebenarnya alasan saya membicarakan hal buruk tentang orang lain? Adakah hal-hal dalam hidup saya yang membuat saya minder? Inikah yang ingin saya contohkan pada anak saya?”