Hafal Al-Quran 30 juz adalah karunia yang teramat besar. Mesti disyukuri serta dijaga dengan semua daya usaha. Syukur sendiri adalah tindakan memanfaatkan karunia supaya sesuai sama kehendak Sang Pemberi nikmat. Bukanlah sebatas perkataan hamdalah di lisan, namun mesti diwujudkan dalam aksi serta perbuatan.
Di beberapa pesantren serta instansi pendidikan yang fokus diri pada tahfiz Al-Quran, kadang-kadang beberapa santri terlena dengan enaknya lancar hafalan. Beberapa jadi malas untuk menggali beberapa pengetahuan agama yang ibaratnya adalah dahan, cabang, serta ranting kandungan Al-Quran.
Telah terasa cukup hanya penuhi undangan untuk isi acara khataman dalam rangkaian resepsi. Sebagai bentuk syukur dalam perbuatan, 5 hadits di bawah ini mesti kita cermati untuk diamalkan pesan-pesannya.
Jangan pernah mejadi hafidz Al-Quran yang sebatas “rekaman” hidup dari mushaf. Nah, sebagai pengingat untuk diri penulis serta pembaca, berikut lima penjelasannya.
Prasyarat Jadi Ahlullah
Allah Swt memuliakan beberapa penghapal Al-Quran dengan menisbatkan mereka sebagai ahlullah. Keluarga dalam makna sebagai beberapa orang spesial disisi-Nya. Tetapi derajat ahlullah tak serta merta terwujud cuma dengan hafal saja.
Dalam satu hadits, Nabi bersabda, “Allah memiliki orang khusus (Ahliyyin) dari kalangan manusia.” Para shahabat bertanya, “Rasulullah, siapakah mereka?” Beliau menjawab, “Mereka adalah Ahlu Alquran. (Mereka itu) Ahlullah dan orang khusus-Nya,” (HR Ibnu Majah).
Dalam Syarah Ibnu Majah, Imam Suyuthi mengutip dari an-Nihayah, arti hadits itu yaitu beberapa orang yang hafal Al-Quran serta mengamalkannya. Mereka inilah sebagai Ahlullah serta orang pilihan Allah.
Diambil dalam Faidh al-Qadir, at-Tirmizi berkata, “Keutamaan ini berlaku bagi para pembaca yang telah membersihkan hatinya dari sifat lalai dan menghilangkan dosa pada dirinya. Yang tergolong orang khusus-Nya hanyalah orang yang membersihkan dirinya dari dosa yang tampak maupun tersembunyi, lalu menghiasi dirinya dengan ketaatan. Maka ketika itu, dia termasuk orang khusus Allah.”
Gampang Hilang
Kitab Al-Quran memanglah unik dan aneh. Unik lantaran walau tebalnya mencapai 600-an halaman, namun banyak umat islam yang hafal. Aneh, lantaran walau selancar apapun hafalan, tak menanggung bakal abadi tanpa ada diulang dengan kata lain tanpa ada dimurajaah.
Untuk santri, hafalan kitab Alfiyyah Ibnu Malik adalah sisi berat serta susah. Namun demikian hafal, walau ditinggal sebagian lama masihlah belum hilang dari memori. Beda dengan ayat-ayat Al-Quran yang umumnya gampang dilafalkan serta dihapalkan tetapi juga gampang hilang atau lupa.
Karena itu Rasulullah Saw berpesan dalam haditsnya, “Jagalah Alquran. Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, ia mudah terlepas, melebihi unta yang terikat,” (HR Muslim).
Di lain waktu beliau mengumpamakan gampang hilangnya hafalan Al-Quran sebagai keledai. “Penghafal Alquran itu seperti pemilik keledai yang terikat. Jika dia menjaganya, dia berhasil menahannya. Jika dia melepasnya, niscaya ia pun pergi,” (HR Bukhari).
Ancaman untuk yang Menyiakan
Imam Nawawi dalam at-Tibyan fi Adabi Hamalah al-Quran menjelaskan kalau beberapa penghapal Al-Quran sebaiknya selalu melindungi hapalan mereka supaya tak terkikis serta hilang.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik, rasulullah bersabda, “Diperlihatkan kepadaku pahala-pahala umatku hingga pahala seorang yang membuang sampah dari masjid. Diperlihatkan pula kepadaku semua dosa-dosa umatku, maka tidak aku lihat dosa yang lebih besar ketimbang dari satu surat atau ayat Alquran yang dikaruniakan kepada seseorang kemudian ia melupakannya,” (HR Abu Daud).
Lupa hafalan lantaran aktivitas, sakit sekalipun, menurut mazhab Syafi’i, tetaplah termasuk dosa besar, seperti diterangkan dalam kitab Nihayatuzzain, 362. Hal semacam itu lantaran semestinya hafalan itu tetaplah dapat diulang-ulang walau dalam hati. Berat juga, ya? Terlebih bila hafalannya belum betul-betul kuat.
Istiqamah Membaca serta Mengulang Hafalan
Seperti disinggung pada poin sebelumnya kalau hafalan Al-Quran demikian gampang lepas, pastinya seseorang hafidz sebaiknya telaten mengulang serta membaca hafalannya. Seperti dicontohkan beberapa teman dekat nabi, saat malam banyak mereka pilih untuk membaca Al-Quran.
Satu diantara keluarga teman dekat yang populer dengan kemerduan bacaan Al-Quran nya yaitu keluarga Abu Musa al-Asy’ari. Hingga rasulullah saat malam hari kerap melalui beberapa tempat tinggal teman dekat Anshar serta berhenti dengarkan bacaan mereka.
Dari Abu Musa al-Asy’ari, kalau Rasulullah Saw. berkata padanya, “Tidakkah engkau melihat aku tadi malam, di waktu aku mendengarkan engkau membaca Alquran? Sungguh engkau telah diberi satu seruling dari seruling Nabi Daud,” (HR Bukhari).
Abu Musa al-Asy’ari berkata, Rasulullah Saw. bersabda, “Aku mengenal kelembutan alunan suara keturunan Asy’ari di waktu malam ketika mereka berada dalam rumah. Aku mengenal rumah-rumah mereka dari suara bacaan Al-Quran mereka di waktu malam, sekalipun aku belum pernah melihat rumah mereka di waktu siang,” (HR Bukhari).
Janganlah Terbawa Paham yang Mengajarkan Gampang Memvonis Syirik
Terkecuali mesti melindungi hafalan, seseorang hafiz Al-Quran harus juga melindungi diri dari memahami serta ajaran yang ujung-ujungnya gampang memvonis sesat serta syirik pada orang lain. Cemas bila kelak termasuk juga dalam kelompok yang dijelaskan Rasulullah dalam haditsnya.
Dari Hudzaifah, Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah seseorang yang telah membaca (menghafal) Alquran, sehingga ketika telah tampak kebagusannya terhadap AlQuran dan dia menjadi pembela Islam. Dia terlepas dari Al-Quran, membuangnya di belakang punggungnya, menyerang tetangganya dengan pedang dan menuduhnya musyrik.”
Saya (Hudzaifah) ajukan pertanyaan, “Rasulullah, siapakah yang lebih pantas disebut musyrik? Penuduh atau yang dituduh?” Beliau menjawab, “Penuduhnya,” (HR Bukhari dalam at-Tarikh, Abu Ya’la, Ibnu Hibban dan al-Bazzar.)
Beberapa orang seperti berikut yang oleh K. H. Mohammad Nizam As-Shofa disinggung dalam Syi’ir Tanpo Waton-nya dengan bait : akeh kang apal quran hadise, seneng ngafirke mareng liyane” (banyak yang hafal Al-Quran serta hadits, namun suka mengkafirkan orang lain).