Bosan Dikasih Harapan Palsu Mulu? Yuk Atasi dengan Belajar Berharap yang Benar

Harapan palsu. Dua kata yang cukup populer di kalangan anak muda zaman sekarang. Harapan palsu sudah membuat banyak anak muda merasa galau. Campur aduknya perasaan, merasa senang sekaligus cemas bahkan sampai marah pada saat yang bersamaan.

Banyak yang mengira kalau harapan itu sejenis perasaan. Tapi apa benar begitu? Yuk kita gali apa hasil penelitian psikologi tentang yang namanya harapan ini. Dengan begitu, kita bisa menghadapi yang namanya harapan palsu ini.

Apa arti harapan?

psychotherapynetworker.org
psychotherapynetworker.org

C.R. Snyder, psikolog sekaligus peneliti dari University of Kansas, Lawrence, mengungkapkan bahwa harapan itu bukanlah perasaan. Namun harapan itu cara berpikir alias proses kognitif. Tentu perasaan cukup berperan dalam harapan ini.

Snyder menyebutkan proses berpikir yang namanya harapan ini merupaka trilogi dari tujuan, jalan, dan perantara. Sederhananya, harapan ada saat 3 hal ini tercapai:

  • Kita mampu membuat tujuan yang realistis (Saya tahu apa tujuan yang ingin saya raih)
  • Kita mampu mencari tahu cara mencapai tujuan tersebut, termasuk kemampuan untuk tetap fleksibel dan mengembangkan cara alternative jika terjadi hal-hal di luar dugaan (Saya tahu cara mencapai tujuan saya, saya gigih, dan saya bisa menoleransi kekecewaan lalu mencoba lagi saat gagal)
  • Kita percaya pada diri kita sendiri (Saya bisa melakukannya!)

Maka, sebenarnya harapan itu perpaduan dari menentukan tujuan, ulet dan tekun untuk mengejar tujuan, serta percaya pada kemampuan diri sendiri.

Belajar untuk berharap

deviantart.net kaslito
deviantart.net kaslito

Berita baik lainnya adalah: harapan itu bisa dipelajari. Snyder bahkan menyarankan agar setiap orang belajar cara berharap dari orang lain di sekitar kita.

Anak-anak belajar banyak tentang harapan dari orang tuanya. Untuk mempelajari harapan, anak-anak butuh hubungan dengan orang tua yang memiliki batasan, konsistensi, sekaligus dukungan pada saat yang bersamaan. Peneliti Brene Brown mengungkapkan bahwa mengajarkan harapan pada anak adalah pilihan sadar yang perlu diambil setiap orang tua.

Brene Brown mengungkapkan bahwa orang-orang yang sadar bahwa harapan itu pilihan cenderung mementingkan ketekunan dan kerja keras. Berharap itu berlawanan dengan anggapan populer bahwa segalanya harus menyenangkan, cepat, dan mudah. Orang-orang yang berharap sering berkata pada dirinya sendiri, “Tujuan yang mau gue capai ini sulit, tapi gue bisa melakukannya.”

Begitu pula kebalikan dari orang yang penuh harapan. Orang-orang yang putus asa sering terhenti langkahnya saat menghadapi rintangan yang sulit serta membuatnya banyak mengorbankan waktu dan usaha. Orang-orang yang mudah hilang harapan mudah berkata, “Harusnya ini mudah, tujuan gue ga setimpal dengan usaha yang udah gue kasih,” atau “Harusnya ini gampang dikerjain. Ini jadi susah dan lambat gue kerjain karena gue gak jago dalam hal ini.”

Brene Brown juga menjelaskan salah kaprah lain yang melanda banyak orang. Banyak yang menganggap kalau semua yang layak dikejar itu “pasti” terasa sakit dan menderita (seperti cobaan yang kamu hadapi sekarang :P). Brown menyebutkan bahwa anggapan “tidak pernah menyenangkan, cepat, dan mudah” itu sama berbahayanya dengan berharap bahwa “segalanya akan menjadi menyenangkan, cepat, dan mudah.” Anggapan bahwa tujuan yang tidak melibatkan “darah, keringat, dan air mata” itu tidak cukup berharga sebenarnya salah.

Kita belajar cara berharap saat kita memahami kalau beberapa tujuan yang berharga  itu sulit, menghabiskan banyak waktu, dan tidak menyenangkan. Namun untuk belajar harapan juga kita perlu memahami hal ini: kalaupun tujuan yang ingin kita raih itu ternyata “menyenangkan, cepat, dan mudah” bukan berarti nilainya lebih rendah dari tujuan yang sulit.

Jika kita ingin mengembangkan harapan di dalam diri kita, kita perlu belajar untuk lebih fleksibel sekaligus menunjukkan kegigihan. Tidak semua tujuan akan terlihat sama. Inti dari harapan itu 3 hal: daya tahan terhadap kekecewaan, kebulatan tekad, dan percaya pada diri sendiri.

Bagaimana orang tua mengajarkan harapan pada anak-anak?

dailymail.co.uk
dailymail.co.uk

Brene Brown mengamati pola pengasuhan yang lumrah terjadi. Ia memperhatikan bahwa seringkali anak-anak tumbuh menjadi orang yang mudah kecewa dan mudah menuntut hak, bukannya berusaha.

Menuntut hak itu seperti ini, “Saya layak mendapatkannya hanya karena saya menginginkannya.” Sementara berusaha itu berarti “Saya tahu saya bisa melakukannya.” Perpaduan dari takut kecewa, merasa berhak, dan tekanan dari luar akan menghasilkan anak-anak yang putus harapan dan ragu pada dirinya sendiri.

Dari sinilah muncul benih-benih orang yang kelak merasa menjadi korban, menganggap pihak lain memberinya “harapan palsu.” Padahal sebenarnya tidak ada yang namanya harapan palsu.

Yang ada hanyalah rasa takut untuk kecewa yang membuatnya tidak bisa bertindak, bahkan sulit move on. Yang ada ia merasa berhak untuk didatangi harapan dari orang lain, bukan mengusahakannya. Yang ada ia takut akan tekanan dari luar sehingga membuatnya gengsi: “ingin terlihat baik-baik saja dan menipu diri di depan orang lain.”

Harapan palsu: hilang harapan dan merasa tidak punya kekuatan

indonesiana.tempo.co
indonesiana.tempo.co

Hilang harapan itu berbahaya karena membawa kita ke perasaan bahwa kita tidak punya kekuatan. Seperti kata harapan, seringkali kata kekuatan ini kita pandang negatif. Padahal  sebenarnya  tidak.

Marthin Luther King Jr. mendefinisikan kekuatan sebagai kemampuan untuk membuat perubahan. Seberapa pentingkah kekuatan dalam hidup kita? Brown meminta kita menjawab 1 pertanyaan ini pada diri kita sendiri:

Apa yang kamu rasakan saat kamu meyakini kalau kamu tidak mampu alias tidak punya kekuatan untuk mengubah sesuatu dalam hidupmu sendiri?

Perasaan bahwa tidak punya kekuatan itu berbahaya. Saat merasa tidak punya kuasa itulah kita cenderung merasa diberi harapan palsu. Saat berkata, “Ah, gue di-php-in lagi!” itulah kita sebenarnya sedang mencari kambing hitam atas rasa tidak pede pada dirik kita sendiri.

Ketidakmampuan untuk membuat perubahan itu membuat desperate alias putus asa. Saat itulah kita merasa diberi harapan palsu. Untuk menghadapinya, kita memerlukan daya tahan, harapan, dan semangat yang bisa membawa kita melalui rasa takut dan ragu.

Belajar untuk memiliki harapan yang sehat itu penting. Bukan hanya agar kita tidak diberi harapan palsu, namun agar kita bisa berkarya. Bukan hanya untuk diri kita pribadi, namun juga bagi negeri ini. Seperti kata pengusaha Sandiaga S. Uno.

“Apa yang menyatukan Indonesia? Kita bersatu karena harapan. Harapan bahwa masa depan akan lebih baik dari masa kini. Harapanlah yang membuat Indonesia tetap bersatu sampai saat ini.”

Literatur: Brown, Brene. The Gifts of Imperfections.