Melepaskan hasrat seksual dengan cara-cara yang tidak diinginkan (misalnya pornografi, masturbasi, sex chat, prostitusi) bisa menyebabkan rasa malu yang besar, keputus asaan, dan membenci diri sendiri. Ada banyak orang yang mencoba untuk berhenti, namun seringkali gagal.
Orang-orang ini berkata pada dirinya sendiri, “Aku harus bisa berhenti!” atau “Aku perlu kemauan yang lebih kuat.” Namun mereka terperangkap dalam jebakan kebiasaan seksual yang tidak mereka inginkan. Mereka merasa hilang harapan, “Mungkin aku ini memang dasarnya lemah, tidak berharga, cabul, aneh.”
Kebanyakan orang yang berusaha terlepas dari kebiasaan seks semacam ini tidak memahami proses di dalam otak yang membentuk kebiasaan mereka. Hanya dengan mempelajari penjelasan ilmiah yang logis untuk kebiasaan seksual saja bisa sangat membantu melepaskan diri dari rasa malu dan perasaan putus harapan.
Mark Kastleman dalam jurnal The Brain Science of Unwanted Sexual Behaviors menjelaskan 6 penyebab yang membuat seseorang terjebak dalam kebiasaan seksual yang tidak diinginkan.
-
Rasa ingin tahu
Dalam masa pertumbuhan, sudah fitrahnya bagi kita merasa penasaran akan tubuh kita, tubuh orang lain, dan seksualitas. Dalam kebanyakan kasus kecanduan pornografi dan masturbasi diawali dengan hal sederhana: rasa ingin tahu.
Kita bisa saja terekspos dengan hal-hal ini secara tidak sengaja, dari teman, atau dari keluarga. Rasa ingin tahu yang alami bisa membawa kita ke kebiasaan seksual yang tidak diinginkan ini.
-
Rangsangan dan kepuasan
Setelah mengetahui, ada yang mulai menggunakan pelepasan seksual sebagai semacam “rekreasi.” Kebiasaan seksual ini terasa menyenangkan dan menggairahkan.
Menonton pornografi, masturbasi, dan berbagai pelepasan seksual lainnya melepaskan zat-zat neurokimia yang sangat kuat seperti dopamine, norepinefrin, dan endorphin. Semua zat kimia ini membuat pelakunya merasakan kenikmatan tersendiri.
Pelepasan seksual itu adalah cara yang sangat nyaman dan efeknya sangat kuat bagi otak untuk merasakan kesenangan, mengatasi kebosanaan atau kelelahan mental.
Aktivitas semacam ini awalnya dianggap sebagai cara yang menyenangkan, mudah, dan seringkali murah untuk merasa puas.
-
Self healing (usaha penyembuhan diri)
Kebiasaan seksual menghasilkan zat-zat neurokimia yang sama dengan narkoba dan minuman keras. Mulanya hanya untuk senang-senang, namun lama kelamaan bisa menjadi cara self medication, alias lari dari kenyataan.
Lama-kelamaan, otak belajar bahwa cara tercepat dan termudah untuk terbebas dari BLAST (bored, lonely, anger, stress, tired) adalah dengan pelepasan seksual. pada tahap ini, umumnya orang tersebut membutuhkan masa detoks dan membuat batasan perilaku yang tegas agar otak bisa terlepas dari zat-zat neurokimia dan mulai merespon ke “kenikmatan yang sehat dan normal.”
-
Ketergantungan
Jika terlalu sering menggunakan pelepasan seksual sebagai cara utama untuk melepas stres, otaknya mulai percaya bahwa inilah cara satu-satunya untuk menghadapi tekanan. Pada titik ini, pelepasan seksual bisa menjadi fokus utama hidup mereka.
Isi kepalanya didominasi oleh imajinasi dan dorongan seksual. semakin banyak waktu dan tenaga dihabiskan untuk mengantisipasi pelepasan seksual, melakukannya, atau melawan hasrat yang ada.
Otaknya mulai mengartikan pelepasan seksual sebagai “kebutuhan” layaknya makan dan tidur. Semakin lama, ia semakin tergantung pada pelepasan zat kimia yang didapat oleh kebiasaan seksualnya. Walau mencoba berhenti, ia tetap “terpaksa” melakukannya llagi dan lagi. Padahal ia sudah merasakan dampak negatif kebiasaan seksual ini pada kehidupannya.
Otaknya terus mencari perasaan tenang dan percaya bahwa si empunya tubuh memerlukan pelepasan seksual untuk bertahan hidup. Otaknya merasa zat-zat neurokimia itu dibutuhkan untuk bisa beraktivitas sehari-hari.
Ia mencoba untuk berhenti, tapi tidak bisa. Seperti orang-orang yang berjuang berhenti dari kecanduan narkoba dan alkohol. Ia memiliki ketergantungan yang sangat kuat terhadap zat neurokimia.
-
Pengganti keintiman yang sebenarnya
Kita hidup di zaman orang-orang berkomunikasi lewat gadget, media sosial, e-mail, dan chat room. Komunikasi digital ini membuat interaksi tatap muka (interaksi dan koneksi yang sebenarnya) sangat berkurang.
Ditambah lagi ada orang-orang takut dan malu akan interaksi sosial, orang-orang yang bercerai atau masalah pernikahan yang berat, ada juga yang tidak tahu cara menjaga hubungan jangka panjang, dan ada juga yang saking sibuk pekerjaannya, hubungannya justru malah terasa ia abaikan.
Semua hal ini menghasilkan perasaan terisolasi, perasaan tidak nyambung dan sulit dimengerti, serta kesepian. Banyak yang mencari pornografi, chat cybersex, prostitusi, atau hubungan singkat tanpa arti sebagai pengganti hubungan dan keintiman yang sebenarnya dengan sesama. Ini ia lakukan untuk mengisi “kekosongan” dan “kehampaan” dalam hatinya.
Pengeluaran seksual semacam ini menawarkan “hubungan khayalan” alias hanya di angan-angan. Di dalam pikirannya, ia merasa sedang jatuh cinta dan memiliki hubungan yang memuaskan dengan “pasangannya.” Di khayalannya, ia membayangkan hal-hal seperti ini, “Ia hanya menginginkanku, hanya mencintaiku” atau “Ia mengagumiku, aku ini diinginkan, dicintai.”
Ia melihat pengalamannya sebagai sesuatu yang spesial dan personal: “Cuma aku dan dia yang merasakan hal ini.” Pengalaman ini ia lihat sebagai sesuatu yang menyenangkan, tabu, sekaligus istimewa. Imajinasinya ini memberinya bayangan semu akan intimasi eksklusivitas, kesetiaan, dan kepercayaan. Semua ini terasa sangat mudah, nyaman, instan, dan seringkali murah bahkan gratis.
Ia merasa tidak ada risiko dalam melakukan kebiasaan seksual ini. Ia tidak perlu berusaha untuk mengembangkan dan memupuk seperti yang perlu dilakukan dalam hubungan intim yang sebenarnya. Sayangnya, kebiasaan seksual semacam ini justru membuatnya mengganti keintiman yang sebenarnya, sampai-sampai orang yang melakukannya menutup diri dari interaksi dengan sesama manusia, membuatnya merasa semakin terisolasi, tidak terhubung dan kesepian, serta meningkatkan keinginan terpendam, rasa sakit, sekaligus malu. Semua ini mendorong mereka untuk terus melakukan kebiasaan seksualnya ini, membuatnya terjebak dalam siklus terisolasi dan kesepian.
-
Obsesif/kecanduan
Pada satu saat, tumpukan dampak negative dari kebiasaan seksual yang tidak diinginkan ini membuat seseorang berkeyakinan kuat untuk “berhenti.” Namun, hanya sedikit yang siap menghadapi “pemberontakan dari otak” saat ia mencoba berhenti.
Setelah berkali-kali gagal berhenti melakukan kebiasaan ini, ia mulai merasa tidak bisa mengendalikan diri, lemah, kecil, dan putus asa. Ia mula merasa takut akan hal-hal berbau seksual, seperti lintasan pikiran di kepalanya, khayalan-khayalannya, atau stimulus yang mungkin muncul dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti penderita OCD (Obsessive Compulsive Disorder) yang terobsesi oleh ketakutannya akan kuman, orang yang berusaha lepas dari kebiasaan seksual yang tak diinginkan memaksakan pikiran dan bayangan seksual keluar dari pikirannya. Namun semakin mereka berusaha untuk tidak memikirkan hal ini, justru semakin mereka terperosok ke dalamnya.
Inilah cara otak bekerja. Menghindar dari perasaan takut atau stres langsung menjadi ketidakmampuan hal yang tidak ingin ia ingat-ingat. Tidak butuh waktu lama, hidupnya akan dikuasai oleh pikiran dan dorongan yang tidak diinginkan ini, yang bisa datang setiap saat. Ia hanya bisa melawan selama beberapa waktu saja sampai akhirnya dirinya sendiri merasa sangat kelelahan.
Akhirnya ia menyerah pada kebiasaan seksual yang tidak diinginkan ini. Kebiasaan yang—walaupun membuatnya merasa sangat kosong—memberinya kelegaan sementara, sebagai hasil dari mengalirnya zat-zat neurokimia. Kebiasaan seksual ini membuatnya merasa, “Akhirnya aku tidak harus melawan pikiran dan dorongan ini lagi!” Layaknya penderita OCD yang terobsesi akan kuman lalu merasa harus mencuci tangannya berkali-kali agar pikiran yang menguasai kepalanya segera hilang.
Setelah menyerah ini, ia sekali-lagi merasa bersalah, menyesal, malu, sampai akhirnya siklus melawan isi kepalanya dimulai lagi. Semakin ia berusaha untuk melawannya, justru desakan di dalam otaknya semakin parah. Akhirnya, banyak yang menyerah pada dirinya sendiri. Mereka merasa harus selalu mengikuti dorongan kuat di kepalanya, yang justru membuatnya malah semakin parah.
Apa pun kebiasaan seksual yang tidak diinginkan yang kamu miliki, penting untuk memahami bahwa ada penjelasan logis, masuk akal, dan ilmiah di balik terjebaknya dirimu dalam kebiasaan ini. Kamu BUKANLAH orang yang aneh, pengecut, atau lemah. Kamu tetaplah orang yang baik dan berharga, namun terjebak dalam aktivitas pelepasan zat kimia dalam otak yang sangat kuat sebagai pelarian, self medication, dan kesenangan. Kebiasan seksual yang tidak diinginkan ini tidak jauh berbeda dengan kecanduan alkohol, narkoba, makanan, ataupun jenis “narkotik” lainnya.
Berita baiknya adalah, seperti kebiasaan buruk atau kecanduan lainnya, kamu bisa terbebas dari kebiasaan ini.