“Ka, istri yang baik gak akan keberatan diajak melarat.”
“Iya, sih. Tapi Mah, suami yang baik tidak akan tega mengajak istrinya untuk melarat.”
Sepenggal percakapan antara seorang ibu dan anaknya, Saka, dalam novel Sabtu Bersama Bapak. Percakapan ini membawa saya pada 2 kesalahpahaman bagaimana pria dan wanita berpikir tentang masalah uang.
Cewe matre menjadi frase yang lumrah di masyarakat. Banyak pria yang menganggap wanita membutuhkan security—rasa aman. Yang memang demikian. Namun pria umumnya beranggapan wanita membutuhkan security dalam hal finansial. Seorang pria haruslah mapan terlebih dahulu untuk dapat meminang wanita. Untungnya, pola pikir wanita tidak seperti itu.
Wanita membutuhkan security. Namun kebutuhan akan rasa aman dalam hal finansial tidak seperti yang kebanyakan pria pikirkan. Wanita lebih membutuhkan rasa aman secara emosional daripada finansial. Bisa dibilang, rasa nyaman karena bisa bersama orang yang dia cintai jauh lebih penting daripada rasa aman yang didapat dari mapan secara ekonomi.
“Istri yang baik gak akan keberatan diajak melarat.” Perkataan sang ibu ini diamini oleh sebagian besar wanita. Dalam For Men Only, Feldhahn membuat satu survey tentang rasa aman vs rasa nyaman—uang vs cinta. Feldhahn melontarkan pertanyaan berikut kepada sekitar 400 wanita yang sudah menikah di Amerika Serikat:
Jika kamu harus memilih antara 2 kondisi buruk berikut, manakah yang lebih kamu pilih?
- Kesulitan finansial
- Kurangnya kedekatan relationship
Tujuh dari sepuluh wanita menuturkan lebih rela hidup dengan finansial yang sulit alias saldo rekening di bank tak mencukupi daripada tidak dekat dengan suaminya secara emosional. Bahkan salah seorang wanita keheranan dengan anggapan para pria tentang pentingnya uang bagi wanita. “Bagaimana mungkin ia berpikir bahwa saya lebih memilih uang daripada waktu bersamanya?”
Wanita itu matre, things matter for them. It’s true. But women would always choose happiness over things. Wanita tak sematre yang pria—termasuk saya—kira selama ini. Wanita rela berkorban minim materi jika hal itu bisa membuatnya lebih dekat dengan sosok yang berarti baginya.
Namun dari sisi pria, masalah cinta vs uang ini bukan hanya tentang pandangan financial security yang ia pikir wanita inginkan. Secara alami, pria memiliki kebutuhan untuk dapat diandalkan—terutama dalam masalah uang. Bagi pria, tanggung jawab mencari nafkah itu selalu ada di pundaknya, bahkan ketika istrinya—atau mungkin orang lain—mampu menghidupi rumah tangganya.
Salah satu hal yang paling sering terlintas dalam pikiran pria adalah, “Apakah saya mampu terus memenuhi tanggung jawab saya untuk menghidupi keluarga?” Kata sering digunakan karena memang sering sekali terpikir. Dalam For Men Only, Feldhahn menuturkan, 7 dari 10 pria (tepatnya 71%) merasa tanggung jawab untuk menghidupi keluarga selalu atau sering terlintas di kepalanya.
Mungkin agak mengherankan bagi wanita. Bukankah banyak pria di luar sana yang seenaknya menyuruh istrinya bekerja sementara ia ongkang-ongkang kaki nonton bola bersama teman-temannya? Terlihat dari luar memang seperti itu. Namun yang jarang wanita sadari, pria mengukur harga dirinya dari seberapa banyak uang yang bisa ia bawa ke rumah—seberapa besar materi yang bisa ia berikan untuk istrinya. Pria yang menganggur—terlebih yang aktivitasnya “terlihat” tidak jelas—tampak santai dari luar, namun pikirannya tersiksa. Ia ingin bisa berguna untuk keluarganya, namun ia merasa tak tahu caranya.
Inilah paket yang menjadi identitas pria. Jika seseorang merasa dirinya seorang pria, ia akan membebankan pundaknya dengan kewajiban mencari nafkah. Tak peduli seberapa berat tanggung jawab itu ia rasakan.
Bagi pria, uang itu isi dari paket cinta yang ia berikan—bagian yang sangat penting. Itulah mengapa banyak pria yang menunda berkeluarga. Ia berpikir seperti Cakra, “Suami yang baik tidak akan tega mengajak istrinya untuk melarat.”
Dua pemikiran berbeda dari pria dan wanita dalam cinta vs uang sering menimbulkan kesalahpahaman. Ketika wanita mengungkapkan kesulitan keuangan yang keluarga hadapi, mungkin ia merasa hanya sekadar curhat. Namun yang pria rasakan ketika mendengarnya itu seperti sang wanita menaburkan garam pada luka di punggungnya. Wanita sebaiknya hati-hati sebelum berkata, “Wah enak ya tetangga sebelah baru beli mobil,” “Gaji kamu ga cukup sih,” atau perkataan sejenisnya.
Hal terbaik yang bisa bisa wanita lakukan dalam cinta vs uang adalah bersyukur atas rezeki yang dibawa sang kepala keluarga, berapa pun itu. Rasa syukur itu tak cukup hanya di dalam hati, mengungkapkannya jauh lebih penting bagi pria. Hal ini yang akan memotivasi pria untuk lebih giat bekerja.
Sementara itu pria mungkin sering menganggap yang wanita butuhkan itu lebih banyak materi, lebih banyak uang. Hal ini yang memotivasi pria untuk bekerja lebih keras, bekerja lebih lama. Sering melembur. Secara tidak sadar pria menganggap uang yang ia bawa itulah cinta. Sayangnya pria kadang mengabaikan quality time (yang membutuhkan kuantitas juga tentunya) yang perlu ia berikan. Nafkah lahir saja tidak cukup, perlu memberi nafkah batin juga. Keduanya harus mencukupi.
Pandangan akan cinta dan uang. Perbedaan pola pikir ini yang membuat pria dan wanita saling melengkapi. Menyikapi perbedaan ini dengan baik akan membuat keduanya menjadi jauh lebih kuat.