Hukum Pacaran dalam Islam – Di dalam kegiatan interaksi terhadap sesama manusia, segala perbuatan asalnya adalah boleh. Yang membuat sebuah perbuatan menjadi haram adalah ada dalil yang melarangnya. Salah satunya adalah pacaran. Di dalam Kamus Besar Bahasa, pacaran artinya “Pergaulan antara laki-laki dan perempuan, bersuka-sukaan mencapai apa yang disenangi mereka”
Hukum Pacaran Dalam Islam
Seperti yang sudah disampaikan di kata pembuka di atas, semua bentuk interaksi antar manus asalnya adalah boleh, kecuali ada dalil yang melarangnya. Untuk masalah pacaran ini, ternyata kita bisa temukan bahwa ada dalil di dalam Al-Qur’an dan hadist yang melarangnya, yaitu di dalam Quran Surat Al-Isra ayat 32
وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” (QS Al-Isra:32)
Untuk haditsnya
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ وَلاَ تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ ( رواه البخاري)
“Dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw berkhutbah, ia berkata: Jangan sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan kecuali beserta ada mahramnya, dan janganlah seorang perempuan melakukan musafir kecuali beserta ada mahramnya”. (Muttafaq Alaihi)
Dengan dasar kedua dalil tadi serta ditambah pengertian pacaran menurut KBBI, maka bisa kita simpulkan bahwa pacaran dilarang di dalam Islam.
Allah dan Rasul-Nya telah memerintahkan kita semua untuk tidak mendekati zina. Yang dipahami oleh para ulama, bukan berarti hanya “mendekati”nya sajayang dilarang, sedangkan zinanya boleh. Bukan seperti itu, akan tetapi, mendekatinya saja dilarang, apalagi perbuatannya.
Tidak Ada yang Namanya Pacaran Islami
Salah seorang dai pernah ditanya, ”Ngomong-ngomong, dulu bapak dengan ibu, maksudnya sebelum nikah, apa sempat berpacaran?”
Dengan diplomatis, si dai menjawab,”Pacaran seperti apa dulu? Kami dulu juga berpacaran, tapi berpacaran secara Islami. Lho, gimana caranya? Kami juga sering berjalan-jalan ke tempat rekreasi, tapi tak pernah ngumpet berduaan. Kami juga gak pernah melakukan yang enggak-enggak, ciuman, pelukan, apalagi -wal ‘iyyadzubillah- berzina.
Cara berpikir yang seperti itu, sepertinya bukan hanya muncul dari benak si dai saj. Banyak juga kalangan kaum muslimin yang masih beranggapan bahwa pacaran itu sah-sah saja jika tetap bisa menjaga diri masing-masing. Pemikiran seperti itu ibarat “Mandi boleh, asal jangan basah.”
Pemikiran yang hakikatnya tidak berwujud. Karena aktivitas pacaran itu sendiri yang dipahami orang-orang pada zaman sekarang tidak dibenarkan dalam Islam. Kecuali kalau hanya sekedar bernadzar, yaitu melihat calon istri sebelum dinikahi dengan syarat didampingi mahramnya itu dianggap sebagai pacaran. Namun itu sungguh merupakan perancuan istilah.
Istilah pacaran sudah terlanjur dipahami sebagai bentuk hubungan yang lebih intim antara sepasang kekasih, yang diaplikasikan dengan jalan-jalan bersama, saling berchatting ria dan berbagai hal lain yang sudah jelas disisipi oleh banyak hal-hal dilarang dalam Islam seperti pandangan haram, bayangan haram dan masih banyak lagi.
Jika kemudian ada istilah pacaran yang Islami sama seperti memaksakan adanya istilah minum minuman keras yang Islami. Dan disini sudah jelas bahwa hukum pacaran dalam Islam adalah haram.
Pacaran yang Dibenarkan adalah Setelah Menikah
Islam yang sempurna telah mengatur semua hubungan antar lawan jenis. Hubungan ini telah diatur dalam pernikahan. Pernikahan yang benar bukanlah yang didahului dengan pacaran, tapi dengan mengenal calon pasangan melalui taaruf
Dari Ibnu Abbas, Rasulullah SAW bersabda
لَمْ نَرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلَ النِّكَاحِ
“Kami tidak pernah mengetahui solusi untuk dua orang yang saling mencintai semisal pernikahan.” (HR. Ibnu Majah no. 1920. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani)
Jika belum mampu untuk menikah, maka berpuasalah untuk menahan diri. Rasulullah SAW bersabda,
مَنِ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Barangsiapa yang mampu untuk menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagaikan kebiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)