Belajar mengantre lebih penting daripada belajar matematika
Ada tulisan menarik tentang perkataan seorang guru Australia, yang menekankan pentingnya belajar mengantri.
“Kami tidak terlalu khawatir jika anak2 sekolah dasar kami tidak pandai Matematika” kami jauh lebih khawatir jika mereka tidak pandai mengantri.”
“Sewaktu ditanya mengapa dan kok bisa begitu ?” Kerena yang terjadi di negara kita justru sebaliknya.
Inilah jawabannya:
Karena kita hanya perlu melatih anak selama 3 bulan saja secara intensif untuk bisa Matematika, sementara kita perlu melatih anak hingga 12 tahun atau lebih untuk bisa mengantri dan selalu ingat pelajaran berharga di balik proses mengantri.
Karena tidak semua anak kelak akan berprofesi menggunakan ilmu matematika kecuali TAMBAH, KALI, KURANG DAN BAGI. Sebagian mereka anak menjadi Penari, Atlet Olimpiade, Penyanyi, Musisi, Pelukis dsb.
Karena biasanya hanya sebagian kecil saja dari murid-murid dalam satu kelas yang kelak akan memilih profesi di bidang yang berhubungan dengan Matematika. Sementara SEMUA MURID DALAM SATU KELAS ini pasti akan membutuhkan Etika Moral dan Pelajaran Berharga dari mengantri di sepanjang hidup mereka kelak.
Bukan hanya di Australia, banyak negara maju yang menerapkan hal yang sama. Di Jepang, anak ditekankan untuk belajar dari waktu makan siang. Waktu istirahat 45 menit dianggap sama pentingnya dengan waktu belajar matematika dan membaca.
[youtube https://www.youtube.com/watch?v=hL5mKE4e4uU]
Murid-murid juga ditekankan untuk belajar dari kegiatan membersihkan sekolah.
[youtube https://www.youtube.com/watch?v=jv4oNvxCY5k]
Mendidik itu ada urutannya, etika dulu sebelum ilmu
Lalu saya pun bertanya, “Sebenarnya pendidikan yang baik itu yang seperti apa?” Salah seorang guru Kuttab Al-Fatih memberikan jawaban yang menarik. “Belajar itu bukan hanya memberikan ilmu. Ada urutan dalam prosesnya. Ajari adab dulu sebelum ilmu.”
Adab adalah istilah Islam untuk etika, moral, dan akhlak yang harus dipegang dalam berperilaku. Dalam Islam, menanamkan etika jauh lebih penting daripada mengajarkan banyak ilmu.
Bahkan guru Kuttab Al-Fatih mengatakan walau di Kuttab itu ada target ilmu yang harus diajarkan setiap harinya, pelajaran dihentikan jika ada anak yang etikanya belum baik pada hari itu. Waktu yang ada digunakan untuk mengajarkan etika, tidak masalah kalau pun pelajaran tertinggal.
Tentu ini masuk akal. Ilmu hanya akan masuk ke otak dan hati seseorang jika ia sudah siap. Kesiapan itu dapat terlihat jika ia sudah memiliki etika alias adab. Ilmu tanpa adab itu akan menghasilkan orang-orang yang banyak tahu tapi tidak bijak dalam bertindak.
Bisa dilihat di lingkungan kita, betapa banyak orang yang tahu banyak ilmu (termasuk ilmu agama), namun kurang disukai oleh orang-orang di sekitarnya. Misalnya sering menyalahkan orang lain yang berbeda pendapat dengannya, memaksakan pendapatnya harus jadi yang paling benar, atau tidak menghormati orang lain, bahkan ke gurunya. Atau sesederhana etika mengantre, atau sekadar membuang sampah pada tempatnya. (Semoga Allah melindungi kita dari semua hal ini).
Etika, moral, dan akhlak memang sudah seharusnya diajarkan lebih awal daripada ilmu apa pun, baik ilmu agama apalagi ilmu dunia.
Belajar etika, moral, dan akhlak alias adab lebih penting dari ilmu agama
Setelah itu, saya mencari tahu seberapa pentingkah etika, moral, dan akhlak dalam pendidikan, terutama dari kaca mata Islam. Ternyata sedikitnya ada 12 ulama yang menekankan pentingnya belajar adab.
- Ibu Imam Malik menekankan pentingnya belajar adab pada anaknya yang kelak menjadi salah satu dari imam mazhab terbesar ini. Imam Malik berkata, “Aku berkata kepada ibuku, ‘Aku akan pergi untuk belajar.’ Ibuku berkata,‘Kemarilah!, Pakailah pakaian ilmu!’ Lalu ibuku memakaikan akumismarah (suatu jenis pakaian) dan meletakkan peci di kepalaku, kemudian memakaikan sorban di atas peci itu. Setelah itu dia berpesan, ‘Sekarang, pergilah untuk belajar!’ Dia juga pernah mengatakan, ‘Pergilah kepada Rabi’ah (guru Imam Malik, pen)! Pelajarilah adabnya sebelum engkau pelajari ilmunya!’.”
- Habib al Jalab menuturkan, “Aku bertanya kepada Ibnul Mubarak, ‘Apakah sebaik-baik perkara yang diberikan kepada seseorang?’ Beliau menjawab, ‘Akal yang cerdas.” Aku bertanya, ‘Kalau tidak bisa?’ Beliau menjawab, ‘Adab yang baik.’ Aku bertanya, ‘Kalau tidak bisa?’ Beliau menjawab, ‘Saudara yang penyayang yang selalu bermusyawarah dengannya.’ Aku bertanya, ‘Kalau tidak bisa?’ Beliau lantas menjawab, ‘Diam yang panjang.’ Aku bertanya lagi, ‘Kalau tidak bisa?’ Beliau menjawab, ‘Kematian yang segera.’”
- Imam asy-Syafi berkata, “Barang siapa ingin Allah membukakan hatinya atau meneranginya, hendaklah ia berkhalwat (menyendiri), sedikit makan, meninggalkan pergaulan dengan orang-orang bodoh, dan membenci ahli ilmu yang tidak memiliki inshaf (sikap objektif) dan adab.”
- Ibnu Sirin berkata, “Para Salaf mempelajari adab sebagaimana mereka mempelajari ilmu.”
- Al Hasan berkata, “Sesungguhnya seorang laki-laki keluar untuk menuntut ilmu adab baginya selama dua tahun, kemudian dua tahun.”
- Habib bin asy-Syahid mengatakan kepada anaknya, “Wahai anakku, engkau mempelajari satu bab tentang adab lebih aku sukai daripada engkau mempelajari tujuh puluh bab dari ilmu.”
- Mukhallad bin al-Husain berkata kepada Ibnul Mubarak, “Kami lebih membutuhkan banyak adab daripada banyak hadits.”
- Dikatakan kepada asy-Syafi’i, “Bagaimana hasratmu terhadap adab?” Beliau menjawab, “Aku mendengar satu huruf dari adab yang belum pernah aku dengar, maka seluruh anggota badanku ini ingin memiliki pendengaran hingga dapat merasakan kenikmatan mendengarnya.” Lalu ditanyakan, “Bagaimana keinginanmu untuk mendapatkannya?” Dia menyawab, “Seperti keinginan seorang ibu yang kehilangan anaknya, sedang ia tidak memiliki anak selainnya.”
- Abu Bakar al-Mithwa’o menuturkan, “Aku bolak-balik kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad bin Hanbal) selama 10 tahun. Beliau membacakan kitab karyanya, al-Musnad, kepada anak-anaknya. Aku tidak menulis satu pun hadits darinya. Aku hanya melihat pada adab dan akhlak beliau.”
- Adz-Dzahabi menyebutkan, “Majelis Imam Ahmad dihadiri oleh lima ribu orang. Lima ratus di antaranya mencatat, sedangkan selebihnya mengambil manfaat dari perilaku, akhlak, dan adab beliau.”
- Ibnul Mubarak berkata.
Sekian lama aku telah menempa diriku
Dan adab adalah yang terbaik baginya setelah takwa
Adab itu sangat penting dalam segala kondisi
Bahkan ia lebih baik daripada menahan rasa dari dusta
Juga lebih baik daripada menahan lidah dari ghibah
Dan ghibah memang diharamkan Allah di semua kitab-Nya
Aku katakan pada diri ini “Taatlah” dan kupaksa ia untuk itu
Ketahuilah, kesantunan dan ilmu adalah perhiasan orang terhormat
Wahai jiwaku, seandainya ucapanmu itu seperti perak
Maka diammu seperti emas.
- Dalam kitab al-Faruq, al-Qarafi menjelaskan kedudukan adab, “Ketahuilah, sedikit adab lebih baik daripada banyak amal. Maka itulah, Ruwaiyim mengatakan kepada anaknya, ‘Wahai anakku, jadikanlah amalmu ibarat garam dan adabmu ibarat tepung. Yakni, perbanyaklah adab hingga perbandingan banyaknya seperti perbandingan tepung dan garam dalam suatu adonan. Banyak adab dengan sedikit amal shalih adalah lebih baik daripada amal dengan sedikit adab.”
- Imam Abdullah bin Mubarak berkata : “Aku belajar Adab (tatakrama) selama 30 tahun, dan belajar Ilmu (fiqh) selama 20 tahun, dan hendaknya kalian mempelajari Adab sebelum belajar Ilmu.
Negeri ini tidak kekurangan orang pintar, namun orang yang beretika selalu saja terasa kurang. Jika kita memang ingin mengubah negeri ini, kita perlu mengubah cara pandang kita dalam mendidik anak. Einstein mengatakan definisi kegilaan itu adalah melakukan hal yang sama namun mengharapkan hasil yang berbeda.
Generasi pertama Islam dididik dengan adab terlebih dahulu, baru diajarkan ilmu kemudian, saat orangnya sudah siap. Hal ini yang mulai ditinggalkan muslim di Indonesia. Sebaliknya, negara Barat mulai lebih banyak mengajarkan adab sekarang ini. Mereka lebih khawatir anak-anaknya tidak paham adab daripada tidak bisa membaca dan berhitung. Muslim Indonesia meninggalkan ajaran Islam, yakni mengajarkan adab. Itulah sebabnya kepintaran bangsa ini terasa seperti tidak ada artinya. Bukan sia-sia, tapi jadi tidak terarah.
Oleh karena itu, untuk menghasilkan generasi yang lebih baik. Pentingkanlah mengajarkan adab, yakni etika, moral, dan akhlak daripada ilmu. Tidak apa-apa anak tidak bisa berhitung, tidak bisa membaca saat usianya 8 tahun, asalkan ia memiliki adab yang baik.