Allah subhanahu wata’ala menurunkan manusia tidak lain ialah menjadi khalifah atau pemimpin di muka bumi, dan petunjuk kepada kebenaran melalui Islam.
Untuk menjalankan tugasnya sebagai pemimpin di muka bumi, tentunya kita membutuhkan banyak sekali faktor yang bisa mendukung kita supaya bisa menuntun kesuksesan baik itu dunia maupun akhirat.
Karena manusia berbeda dengan makhluk Allah yang lain. Manusia bukan hanya diberikan fisik yang hebat saja, namun diberikan pula akal yang luar biasa yang bahkan malaikat saja tidak diberikan oleh-Nya.
Selain itu kita juga diberikan struktur kejiwaan yang indah pada setiap pencptaa-Nya.
Tentunya semua potensi yang Allah berikan tersebut, tidak hanya Ia berikan secara percuma. Tetapi Allah juga memerintahkan manusia dengan segala kemampuannya, untuk menciptakan kemakmuran dimuka bumi.
Nah, hal tersebut dapat tercapai menggunakan banyak faktor, salah satunya ialah kemimpinan yang baik yang dituntun oleh Al-Qur’an dan Sunnah.
Kepemimpinan dalam perspektif Fiqih perpolitikan adalah suatu hal yang harus selalu dibangun, dan dijaga dengan baik, dan tentunya bukanlah sekedar hal untuk dikejar.
Karena dengan motif membangun dan menjaga inilah, kita akan dapat melahirkan pemimpin yang autentik dan berkualitas.
Autentik dalam berintegritas, autentik dalam berkapasitas, autentik dalam pengalaman, dan autentik dalam ketaatan menjalankan perintah agama yang ada.
Tentu akan berbeda jadinya, jikalau persepsi kita dalam kepemimpinan adalah suatu hal yang harus dikejar, dan segala cara bisa dihalalkan.
Bahkan dalam psikologi perpolitik dikatakan, bahwa orang yang berambisi terhadap kepemimpinan akan cenderung sulit untuk melepaskan jabatan kepemimpinannya.
Dari sinilah lahir tentang motif pemimpin yang otoriter itu terlahir. Dan itulah pentingnya peran agama dalam berpolitik.
Bahwa landasan seorang muslim dalam kepemimpinan ialah tidak lain hanya beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala, dan tidak menyekutukan sesuatu yang lain selain Allah.
Dan jawaban mengapa kepemimpinan bukanlah sesuatu hal yang harus dikejar, seperti yang disebutkan dalam hadist rasul,
“Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah, sedangkan tugas itu adalah amanah, dan pada hari kiamat hal itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambilnya sesuai haknya dan menjalankannya dengan baik” (H.R. Muslim No.1725)
Kepemimpinan dalam Islam pada dasarnya memiliki resiko yang tinggi, namun hasil yang diberikan juga tinggi pula.
Karena Allah memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada para pemimpin yang adil ialah masuk surga tanpa hisab, tetapi juga mengancam para pemimpin yang dzalim.
Bahkan Imam Ghazali mengatakan,
“pemimpin yang adil dalam satu hari, lebih baik daripada beribadah kepada Allah selama 70 tahun”. Itulah bagaimana cara Allah menghargai seorang pemimpin yang adil.
Seperti yang disebutkan pula di dalam sabdanya rasulullah saw,
“Setiap dari kamu adalah seorang pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawabannya.”
Kepemimpinan yang sejati, tentu selalu dimulai dari diri sendiri. Karena jika kepemimpinan sudah tertanam didalam jiwa dan pikiran, maka kita akan dengan mudah menularkannya kepada keluarga maupun teman.
Bahkan Umar bin Khattab mengatakan, “belajarlah sebelum kamu memimpin”.
Apalagi pada saat ini Indonesia sangat membutuhkan pemimpin yang memiliki kapasitas, pengalaman, dan memahami agama Islam secara baik menurut Al-Qur’an dan Sunnah.
Dengan cara kita untuk mempersepsi ulang kepemimpinan, bahwa kepemimpinan adalah sesuatu yang harus dibangun dan dijaga, dan bukannya untuk dikejar.
Maka kita akan keluar dari keterpurukan politik yang tidak produktif, dan mulai mengerjakan hal-hal besar yang bisa lebih bermanfaat.
Karena apabila kita sudah memiliki pemimpin yang memiliki kompetensi jalan kepemimpinan yang tangguh.Maka segalanya dapat menjadikan Indonesia bisa menjadi negara yang sejahtera.