Saat wanita sedang hamil, tentu ia harap-harap cemas (H2C) menyiapkan proses melahirkan. Namun apa yang ada di kepala suaminya? Ternyata penelitian menunjukkan kalau suami tidak kalah H2C dengan istrinya.
Harapan para calon ayah saat istrinya sedang hamil
Pasangan peneliti, Philip dan Carolyne Cowan, mewawancarai para calon ayah. Satu hal yang muncul pada para calon ayah ini adalah keinginan kuat dari mereka untuk “hadir” baik secara fisik dan emosional untuk anak-anaknya. Perasaan seperti ini tidak muncul pada generasi sebelumnya, para “ayah tradisional.”
“Inilah yang para pria tunggu-tunggu saat akan memiliki bayi,” tulis Cowan dalam buku When Partners Become Parents: The Big Life Change for Couples, “dan itulah yang para pria khawatirkan saat menunggu waktu kelahiran.”
[youtube https://www.youtube.com/watch?v=3oh5K5ni2ls]
Apa yang para pria ini pikirkan sudah benar. Namun para calon ayah tidak perlu menunggu sampai bayinya lahir untuk ikut terlibat. “Calon ayah siaga, yang membantu istrinya membeli barang-barang kebutuhan bayi, mengantarnya kontrol ke dokter/bidan, melihat janin hasil USG, atau mendengar detak jantung yang di dalam kandungan berpotensi lebih terlibat membantu istri dan bayinya setelah anaknya ini lahir daripada para calon ayah yang tidak ikut terlibat seperti ini,” tulis Paul Raeburn dalam buku Do Fathers Matter.
Bahkan pernyataan Raeburn itu masih berlaku bagi para calon ayah yang LDR alias tinggal jauh dari istrinya. Para ayah yang terlibat selama proses kehamilan juga berpotensi lebih besar untuk bermain dan membaca untuk bayinya. Umumnya para calon ayah yang seperti ini lebih aktif membantu membesarkan bayi.
Bukan hanya itu, ternyata penelitian menunjukkan para calon ayah yang seperti ini rezekinya lebih lancar. “Mereka lebih berpotensi mendapat pekerjaan kalau mereka sedang menganggur. Dan jika hubungan suami istri ini LDR, mereka lebih berpotensi segera tinggal bersama istrinya. Efek domino ini sangat bagus baik untuk orang tua maupun untuk anak,” tulis Raeburn.
Sayangnya, niat terlibat mendidik anak tidak selalu jadi kenyataan
Namun ada ironi dalam masalah keinginan untuk terlibat para calon ayah ini. Ingin terlibat bukan berarti menjadi terlibat. Calon ayah ini ditanya bagaimana harapan mereka untuk membagi antara mencari nafkah dan merawat anak begitu bayinya lahir. Sebagian besar calon ayah berharap ibunya melakukan lebih banyak, tapi mereka berpikir kalau mereka akan terlibat cukup besar.
Enam bulan setelah bayinya lahir, kebanyakan ibu berkata kalau ibu ini melakukan lebih dari yang diharapkan dan justru yang para ayah ini lakukan lebih sedikit. Salah satu penyebabnya bisa jadi para ayah ini terlalu cepat percaya kalau ayah itu tidak lebih penting daripada ibu bagi anaknya. Penyebab lainnya adalah suami istri ini tidak sepaham tentang hubungan yang seharusnya dijalin antara ayah dan anak.
Permasalahan ini menimbulkan 3 pertanyaan yang penting untuk dijawab.
- Apakah mungkin keluarga ikut campur untuk membuat para ayah lebih terlibat mendidik anak?
- Dapatkah kepercayaan di dalam pikiran para calon ayah ibu ini diubah sehingga mereka lebih menghargai hubungan ayah dengan anaknya?
- Apa dampaknya pada anak-anak jika hal ini dilakukan?
Apa yang membuat para calon ayah terlibat dalam pengasuhan?
Untuk mencari tahu jawabannya, pasangan Cowan bekerja sama dengan tim peneliti suami istri lainnya, Kyle D. Pruett, psikiater dari Yale, dan Marsha Kline Pruett, psikolog klinis dari Smith College, Massachusetts. Di Amerika Serikat, ada agensi pelayanan keluarga. Umumnya agensi ini mengabaikan ayah dalam memberi bantuan pengetahuan kehamilan yang sehat.
Dua pasangan peneliti ini ingin tahu jika mereka mengubah pendekatan para agensi bisa menimbulkan dampak partisipasi ayah yang lebih besar dalam merawat bayi. Caranya, mereka merancang program mingguan selama 4 bulan untuk para calon ayah ibu.
Tujuannya adalah membantu mereka untuk meningkatkan kualitas hubungan baik sebagai pasangan suami istri maupun sebagai calon orang tua. Mereka menawarkan program ini untuk 289 pasangan. Latar belakang para pasangan ini adalah keluarga Meksiko-Amerika dan Eropa-Amerika dari golongan ekonomi menengah ke bawah.
Dalam berbagai penelitian sebelumnya, para peneliti ini sudah mengetahui faktor-faktor yang membantu ayah lebih terlibat dengan keluarga dan anak-anaknya, di antaranya:
- Kualitas hubungan antara suami dan istri
- Tingkat kesehatan jiwa dan stres mereka
- Pola hubungan yang mereka amati dari orang tua dan kakek-nenek mereka
Berbagai kelompok, termasuk agensi pemerintah dan organisasi keagamaan, telah merancang workshop keayahan. Sebagian besar dipimpin oleh pembicara dan konselor pria. Cowan dan Pruett mengutarakan masalah dari program seperti ini, “Hal yang paling menentukan dalam keterlibatan ayah dengan anak-anaknya adalah kualitas hubungan sang pria dengan ibu anak-anaknya. Tidak peduli hubungan pasangan ini menikah, bercerai, terpisah, atau tidak pernah menikah.”
Tidak heran kalau John Wooden dan berbagai tokoh lainnya menyebutkan, “The best way a father can do for his children is to love their mother.”
Para peneliti ini menawarkan 2 jenis program yang berbeda. Program yang pertama dirancang hanya untuk ayah. Program yang kedua dirancang untuk ayah dan ibu bersama-sama. Tujuannya untuk mencari tahu program seperti apa yang berjalan lebih baik.
Program ini dibuat berdasarkan intervensi yang sudah dikembangkan Cowans. Contohnya seperti latihan, diskusi, dan presentasi singkat oleh profesional dalam bidang psikologi, baik pria maupun wanita. Diskusi yang ada meliputi pengasuhan, hubungan pasangan, masalah stres, dan juga dukungan dari luar keluarga.
Program ini paling berhasil saat diberikan baik untuk ayah dan ibu bersama-sama. Hasilnya adalah anak-anak mereka berpotensi lebih rendah untuk menunjukkan ciri-ciri depresi, waswas, dan hiperaktif. Program ini juga mengurangi stres pengasuhan dan meningkatkan hubungan pasangan. Bahkan beberapa pasangan sangat antusias akan program ini. Mereka sampai melanjutkan kumpul sendiri setelah proyek ini selesai.
Kehamilan adalah kunci bagi calon ayah untuk lebih terlibat dengan pasangannya dan juga dengan makhluk mungil yang bisa mereka rasakan menendang-nendang perut ibunya. Program seperti ini memang tidak meredakan kekhawatiran finansial dan berbagai ketakutan lainnya yang melanda para pria selama kehamilan. Namun bantuan semacam ini membantu para calon ayah untuk bisa menapaki jalan untuk menjadi ayah yang selama ini mereka idam-idamkan.
Satu hal menarik dari penelitian tentang ayah selama masa kehamilan ini adalah syarat ilmiah dari ungkapan “Banyak anak banyak rezeki.” Ternyata berdasarkan hasil riset, banyak anak belum tentu membuat rezeki jadi lancar. Syaratnya adalah ayah yang terlibat membantu istrinya sejak masa kehamilan. Sejak masih jadi calon ayah, para lelaki perlu aktif membantu istrinya yang sedang hamil, membantu memenuhi kebutuhan yang ada di dalam janin dan yang sedang mengandung, baik secara fisik maupun emosional.