Mengapa Para Calon Ayah Perlu Menemani Istrinya Melahirkan?

Dulu, proses melahirkan itu seperti acaranya istri dan calon bayi, dibantu oleh tenaga medis profesional. Sementara para ayah di luar, menunggu kabar baik dari dokter atau bidan. Kini, mulai ada fenomena baru, beberapa tahun terakhir para suami mulai diizinkan masuk ke ruang persalinan.

Banyak wanita merasa nyaman dan lebih tenang kalau suaminya ada bersama mereka semasa melahirkan dan persalinan. Bukan hanya itu, penelitian menunjukkan bahwa para pria yang ikut menyertai istrinya melahirkan juga ternyata lebih aktif dalam pengasuhan bayinya.

Para suami yang ikut mendampingi dalam proses melahirkan menjadi solusi win-win bagi keluarga. Bukan hanya itu, bisa jadi hal ini juga menjadi salah satu pengalaman emosional paling intens yang akan para pria ini miliki. Teman saya mengomentari pengalaman satu rumah bersalin yang kebanyakan kliennya menyertakan suami masuk ke ruang persalinan. “Para lelaki ini tampak sangar, tapi saat istrinya melahirkan mereka ikut menangis juga,” katanya.

Masa-masa ketika para suami dilarang masuk menemani istrinya melahirkan

http://armenpress.am/
http://armenpress.am/

Di dunia medis barat, dulu para pria ikut menyertai istrinya melahirkan saat proses persalinan masih dilakukan di rumah masing-masing. Namun para calon ayah ini tampak “diasingkan” saat proses kelahiran dipindahkan ke rumah sakit. Fenomena yang mulai meningkat pada tahun 1930-an. Pada tahun 1960-an, sekitar 99% bayi berkulit putih di Barat lahir di rumah sakit. Sementara bayi kulit berwarna yang lahir di rumah sakit berjumlah sekitar 85%-nya. Di Indonesia saya belum memiliki datanya, hanya saja tampaknya peningkatan melahirkan di rumah sakit baru muncul pada masa Orde Baru.

Pindahnya proses melahirkan ke rumah sakit seharusnya membuat proses melahirkan lebih aman dan menghasilkan anak-anak yang lebih sehat. Para ayah ditinggal menanti di ruang tunggu sementara istrinya dan sekelompok tenaga medis profesional yang mengikuti proses persalinan.

Sang ayah “tak diharapkan” bersama istrinya. Bantuan yang ayah lakukan dibatasi mengantar istrinya ke rumah sakit, menunggu di luar, menandatangani dokumen, membayar tagihan, dan merasa gugup sendirian.

Di Barat tahun 1960-an, para pria menuntut bisa masuk ke ruang bersalin. Banyak rumah sakit membantah dengan pendapat kalau tidak ada ruangan untuk pria di ruang bersalin.

Aktivis persalinan Elly Rakowitz mengungkapkan, “Pada awalnya, tak ada yang mau mengambil tanggung jawab mengizinkan para ayah untuk hadir menemani di ruang persalinan. Dokter berkata hal ini tergantung rumah sakit. Sementara itu rumah sakit melemparkan tanggung jawab ini kembali ke para dokter.” Pria mendapat izin menemani proses melahirkan  hanya “jika ruang bersalin tidak sibuk, dan jika tidak ada wanita melahirlak lain di ranjang lainnya di ruangan itu, dan jika kelas prenatal sudah diikuti suami…. dan berbagai jika, jika, jika, lainnya.”

Perjuangan para calon ayah merebut hak menemani istrinya melahirkan

watoday.com.au
watoday.com.au

Para pria mulai mendapat haknya di ruang persalinan, namun mereka masih tetap terasingkan dari proses melahirkan anak-anaknya. Banyak ayah yang harus repot-repot untuk bisa menemani proses melahirkan anak-anaknya.

Seorang ayah, supir bus di Portland, Oregon, menolak tetap diam di ruang tunggu. Ia menuntut ke pengadilan di dekade 60-an agar mendapat haknya untuk bisa hadir saat kelahiran anaknya. Saat ia mengutarakan pendapatnya di persidangan, ia mendapat standing ovation.

Pada tahun 1975, pria di Amerika Serikat sudah mendapat cukup perkembangan. Sekitar 75% rumah sakit sudah mengizinkan para suami masuk ke ruang persalinan (kecuali di Selatan, hanya hampir 25% yang mengizinkan).

Banyak tenaga medis persalinan masih tidak menyukai hal ini. Mereka khawatir kalau calon ayah ini akan mempertanyakan keputusan medis tanpa memahami alasan di baliknya. Salah satu dokter mengungkapkan ada calon ayah yang tidak mengizinkan dokter menggunakan forsep. Calon ayah ini mengancam untuk membunuh sang dokter jika istri dan bayinya tidak selamat.

Walaupun para dokter merasa tidak nyaman, pada akhir tahun 70-an, sebagian besar larangan sudah dihilangkan di Amerika Serikat. Organisasi dokter bersalin, suster, bidan, dan rumah sakit mulai mempromosikan praktik ayah menemani di ruang bersalin.

Mengenai kasus calon ayah yang memberontak, tentu hal tersebut bisa diminimalkan jika tenaga medis menjelaskan cukup detail langkah-langkah yang akan dilakukan saat persalinan. Namun tentu hal ini akan sangat sulit jika dokter/bidan terlalu sibuk dan hanya memberi waktu konsultasi 15 menit. Waktu konsultasi bagi calon ayah calon ibu harus cukup intens.

Tidak semua  ayah menyukai dapat kesempatan masuk ke ruang bersalin. Beberapa pria mengungkapkan kalau mereka terkejut akan tubuh bayinya yang baru lahir, terbungkus oleh cairan dan bercak-bercak darah. Bahkan ada yang berkata kalau bayinya tampak “seperti anak tikus yang baru lahir.”

Dampak ayah menemani istrinya melahirkan

[youtube https://www.youtube.com/watch?v=9qe0diJ8YMg]
Walau respon para ayah ini beragam, para peneliti mulai melihat hasil yang mencengangkan. Ada efek samping yang tak pernah disangka-sangka saat calon ayah menemani istrinya di ruang bersalin:

  1. Calon ibu melaporkan kalau mereka merasa lebih sedikit rasa sakit, dan juga mereka membutuhkan lebih sedikit obat penghilang rasa sakit
  2. Calon ibu lebih jarang menangis
  3. Sementara itu, para calon ayah menjadi semakin melankolis, lebih sering menangis di ruang bersalin

Ada yang mengungkapkan bahwa penyebabnya bisa jadi para ayah mengambil alih tugas mengkhawatirkan apakah sang bayi memiliki 10 jari dan 10 jari kaki. Hal yang bisa jadi memang dilakukan oleh semua ayah, memastikan anaknya sehat seutuhnya saat baru lahir. Bahkan ada ayah yang mempunyai ceklis tersendiri untuk ini.

Namun hal ini menunjukkan kalau kehadiran ayah di proses melahirkan itu sangat berarti. Ada beberapa penelitian tambahan yang menekankan pentingnya ayah hadir di ruang bersalin:

  1. Para ayah yang menemani kelahiran bayinya lebih terikat dengan anak-anaknya (hal ini menimbulkan dugaan baru di benak saya, proses melahirkan itu bukan hanya menghasilkan oksitosin pada ibu, namun bisa jadi para ayah juga mengalami aliran oksitosin alias hormon sayang di dalam tubuhnya).
  2. Kelak para ayah ini lebih terlibat dalam proses pengasuhan bayi-bayinya (lebih detail mengenai hal ini dapat dibaca di Mengapa Para Calon Ayah Harus Siaga Menemani Istrinya yang Sedang Hamil?

Dua kesimpulan ini tentu menguntungkan keluarga, bukan hanya ayah, bukan hanya ibu, tapi yang terpenting bagi anak-anaknya. Apalagi sekarang makin banyak anak yang merindukan sosok ayahnya. Ternyata, mendorong ayah supaya ikut menemani di samping istrinya melahirkan itu menghasilkan dampak yang jauh lebih besar dari yang bisa kita perkirakan.

Bagaimana dengan Anda, apakah ada pengalaman menarik dalam proses kelahiran yang Anda alami?

Baca juga beberapa artikel tentang pentingnya peran ayah berikut ini: