Kesan Pertama: kamu tidak akan mendapat kesempatan kedua untuk cinta pada pandangan pertama
“Kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah Anda.”
Momen pertama bertemu si dia bisa jadi sangat menentukan. Pada saat dia melirikmu untuk pertama kali bisa jadi menentukan keputusan “tertarik/tidak.”
Saat dua kucing bertemu untuk pertama kalinya, mereka berhenti dan saling menatap. Jika salah satu mendesis, kucing lainnya menegakkan bulu punggungnya dan balas mendesis. Jika satu kucing memberikan sentuhan kecil dengan hidung dinginnya, kucing lainnya membalas sentuhan hidung itu, akhirnya keduanya sama-sama mendekur dan menjilati bulu pasangannya.
Pria dan wanita yang baru mengenal itu agak mirip dua binatang kecil yang saling mengendus satu sama lain. Manusia memang tidak punya ekor yang mengibas-ibas atau bulu yang menegang. Tapi kita punya mata yang menyempit atau melebar. Kita punya tangan yang secara tidak sadar membuat posisi tubuh terbuka. Ada banyak reaksi “tidak sadar” yang muncul pada interaksi pertama.
Berita baiknya, kita bisa belajar untuk mengontrol reaksi yang sebenarnya tidak sadar ini. Saat bertatapan mata, “si dia” secara tidak sadar membaca detail-detail bahasa tubuhmu.
Pada momen-momen “penting” ini, si dia bisa secara tidak sadar memutuskan untuk melaju ke perjalanan romantis atau cuma ingin jadi teman (alias friendzone).
Karakter yang sama, kebutuhan yang saling melengkapi: Saya mau pasangan yang (hampir) mirip diriku yang lama
Jika kamu melewati ujian kesan pertama, sekarang kamu ada di fase kedua. Di sini, si dia mulai menilai apakah kamu potensial untuk jadi pasangan. Alam bawah sadarnya berkata, “Saya mau orang yang sepertiku. Ya, hampir mirip aku.”
Agar ada kecocokan untuk seumur hidup, dibutuhkan beberapa kesamaan. Hati kita itu seperti instrument sensitif yang mencari orang lain dengan nilai-nilai yang sama dengan kita, yang memegang kepercayaan yang mirip dengan kita, dan memandang dunia dengan cara yang kurang lebih sama dengan kita.
Kesamaan membuat kita merasa nyambung. Kesamaan membuat kita makin yakin atas pilihan yang sudah kita ambil sepanjang hidup kita. kita juga mencari orang yang menikmati aktivitas yang sama agar kita bisa bersenang-senang bersama-sama. Kesamaan itu layaknya landasan pacu untuk pesawat terbang.
Tapi repotnya, kita ini mudah bosan dengan terlalu banyak kesamaan. Selain itu, kita butuh seseorang yang bisa menutupi kekurangan kita. Jika matematika kita jelek, siapa yang akan membuat anggaran belanja? Jika kita ceroboh, siapa yang akan mengingatkan kita?
Jadi, kita juga mencari kualitas yang saling melengkapi di pasangan. Tapi bukan sembarang kualitas yang saling melengkapi. Kita hanya mencari yang kita anggap menarik atau membuat hidup kita jadi lebih baik.
Pada saat yang bersamaan, kita mencari sosok yang mirip sekaligus saling melengkapi.
Harga pasar: Ambak, apa manfaatnya buatku?
Diakui atau tidak, tiap orang punya harga tersendiri. Semua orang punya label harganya masing-masing. Bibit, bebet, bobot kalau orang tua kita bilang.
Seberapa cantikkah dia? Bagaimana imej dirinya di masyarakat? Seberapa ningratkah leluhurnya (setidaknya status orang tuanya)? Seberapa berpengaruhkah dia? Apakah dia kaya, pintar, baik? Apa yang bisa dia lakukan buatku?
Apakah ini terdengar kejam? Ternyata penelitian menunjukkan kalau cinta itu tidak benar-benar buta. Semua orang, bahkan orang-orang yang sangat baik, memiliki kriteria “duniawi” tersendiri dalam memilih pasangan.
Tidak jauh beda dengan dunia bisnis di mana semua orang bertanya, “Ambak?” Apa manfaatnya buatku?
Mungkin kamu membantah, “Ngga tuh, cinta itu murni dan saling menyayangi apa adanya. Cinta itu isinya kepedulian, memperhatikan orang lain, tidak egois.”
Bisa jadi memang itulah cinta saat orang-orang baik benar-benar jatuh cinta. Mungkin kamu bertemu pasangan yang saling berkomitmen dan mau mengorbankan apa pun untuk hubungan mereka.
Ya, cinta tanpa syarat seperti ini yang kita semua mimpikan itu memang ada. Tapi munculnya nanti, masih lama. Mulanya, kamu perlu membuat si dia tertarik dan jatuh cinta sama kamu dulu.