Willibrordus Surendra Broto Rendra atau lebih dikenal dengan nama WS Rendra adalah sastrawan yang terkenal dengan sebutan “si Burung Merak”.
WS Rendra lahir di Jawa Tengah pada tanggal 7 November 1935, dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah.
Ayahnya berprofesi sebagai guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada Sekolah Katolik di Solo, selain itu ayahnya juga berprofesi sebagai dramawan tradisional.
Sementara itu ibunya adalah penari Serimpi di Keraton Surakarta. Masa kecil sampai dengan remaja ia habiskan di kota tempat kelahirannya.
Bakat sastra WS Renda sudah mulai terlihat tatkala ia menulis puisi, cerita pendek dan drama pada berbagai macam kegiatan di sekolahnya. Ini Terjadi ketika ia duduk di bangku SMP.
Selain membuat puisi, ia juga trampil ketika tampil di atas panggung. Ia biasa mementaskan beberapa dramanya, dan tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat.
Contoh Puisi Karya WS Rendra
Aku Tulis Pamplet Ini
Aku tulis pamplet ini
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi peng – iya – an
Apa yang terpegang hari ini
bisa luput besok pagi
Ketidakpastian merajalela.
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki
menjadi marabahaya
menjadi isi kebon binatang
Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan
Aku tulis pamplet ini
karena pamplet bukan tabu bagi penyair
Aku inginkan merpati pos.
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.
Aku tidak melihat alasan
kenapa harus diam tertekan dan termangu.
Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.
Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran ?
Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.
Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.
Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api.
Rembulan memberi mimpi pada dendam.
Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah
yang teronggok bagai sampah
Kegamangan. Kecurigaan.
Ketakutan.
Kelesuan.
Aku tulis pamplet ini
karena kawan dan lawan adalah saudara
Di dalam alam masih ada cahaya.
Matahari yang tenggelam diganti rembulan.
Lalu besok pagi pasti terbit kembali.
Dan di dalam air lumpur kehidupan,
aku melihat bagai terkaca :
ternyata kita, toh, manusia !