KISAH UMAR BIN KHATTAB – Siapa yang tidak kenal dengan Umar Ibnul Khattab radhiallahu anhu. Beliau merupakan sosok yang memiliki tubuh besar, disiplin tinggi, watak keras, dan tak kenal gentar dalam menghadapi musuh. Tetapi dibalik sifat tegasnya Umar terkenal memiliki hati yang lembut.
Banyak hal yang bisa diteladani dari kepribadian Umar bin Khattab. Sahabat Nabi ini memang memiliki keistimewaan tersendiri, di masa pemerintahannya Islam bisa berkembang dengan sangat pesat. Islam mengambil alih Mesopotamia dan sebagian Persia dari tangan dinasti Sassanid dari Persia. Dibalik kerasnya watak dan sifat beliau ada beberapa kisah yang bisa dijadikan teladan untuk umat Islam.
Menangis Karena Rakyatnya Kelaparan
Ketika masih menjabat sebagai Khalifah, Umar bin Khattab memiliki cobaan yang cukup berat. Pada saat itu, umat Islam dilanda paceklik parah karena masuk dalam tahun abu. Di tahun abu, sangat sulit mendapatkan bahan makanan, sedangkan hasil pertanian sebagian besar rusak sehingga menyebabkan kelaparan.
Seperti biasanya, Khalifah Umar bin Khattab mengajak salah satu sahabat bernama Aslam untuk menemaninya berkeliling kota. Umar ingin memastikan semua warganya bisa tidur dan tidak kelaparan.
Ketika sampai di suatu tempat Umar berhenti. Ia mendengar tangisan anak kecil yang cukup keras. Kemudian Umar mencoba mendekati sumber suara tersebut yang berasal dari sebuah tenda kumuh.
Setelah dekat, Umar mendapati seorang wanita tua sedang duduk di perapian sambil mengaduk sebuah panci dengan sendok kayu. Umar kemudian menyapa ibu tersebut dan mengucap salam.
Si ibu tua tersebut menoleh kepada Umar dan membalas salam tersebut. Tapi, si ibu kemudian kembali melanjutkan kegiatannya.
“Siapakah yang menangis di dalam?” tanya Umar kepada ibu tua.
“Dia anakku,” jawab ibu tua itu.
“Mengapa dia menangis? Apakah dia sakit?” tanya Umar lagi.
“Tidak. Dia kelaparan,” jawab si ibu.
Setelah beberapa lama Umar merasa heran karena makanan yang dimasak oleh si ibu tua itu tidak juga matang. Untuk menghilangkan rasa penasaran kemudian bertanya pada si ibu tua, “Apa yang kamu masak? Kenapa lama sekali tidak matang juga?”
Si ibu tua tersebut kemudian menoleh “Silahkan kamu lihat sendiri.”
Umar kemudian menengok isi panci tersebut, alangkah kagetnya Umar ketika mengetahui bahwa yang dimasak oleh si ibu tua tersebut adalah batu. “Apakah kamu memasak batu?” tanya Umar. Si ibu menjawab dengan menganggukan kepalanya.
“Untuk apa kamu memasak batu ini?” Tanya Umar lagi.
“Aku memasak batu ini untuk menghibur anakku yang sedang kelaparan. Semua ini kesalahan Khalifah Umar bin Khattab. Ia tidak mau memenuhi kebutuhan rakyatnya. Aku dan anakku belum makan sejak pagi, oleh karena itu aku menyuruhnya berpuasa dan berharap ada makanan ketika buka.”
“Tapi, sampai saat ini rezeki yang kuharapkan belum juga tiba. Kumasak batu ini untuk membohongi anakku sampai dia tertidur,” Kata ibu tua tersebut.
“Sungguh tidak pantas Umar bin Khattab menjadi Khalifah. Ia telah menelantarkan kami.” Tambah si ibu.
Mendengar hal tersebut, Aslam ingin menegur si ibu untuk memberitahukan bahwa yag ada di depannya adalah sang Khalifah. Tetapi, Umar menahan Aslam dan segera mengajaknya kembali ke Madinah sambil meneteskan air mata.
Sesampainya di Madinah kemudian Umar langsung mengambil sekarung gandum. Dipikulnya karung tersebut untuk disampaikan pada ibu tua tadi.
Melihat kondisi fisik Umar yang letih, Aslam berniat untuk mengantikan umar memanggul gandum tersebut. “Ya Amirul Mukminin, sebaiknya aku saja yang membawakan gandum itu”, kata dia.
Dengan nada yang keras, Umar menjawab, “Aslam jangan engkau jerumuskan aku ke dalam api neraka. Kamu mungkin bisa menggantikanku untuk memanggul satu karung gandum ini, tapi apakah kamu mau memikul beban di pundakku ini di hari akherat?”
Mendengar jawaban Umar, Aslam tertegun kemudian ia tetap mendampingi Ya Amirul Mukminin untuk mengantarkan gandum ke si ibu tua.
Umar bin Khattab Tolak Kenaikan Gaji Sebagai Khalifah
Umar bin Khattab merupakan salah satu sahabat Nabi yang menjadi Khalifah usai meninggalnya Nabi. Ia ditunjuk oleh Khalifah sebelumnya, Abu Bakr As Shddiq untuk menggantikannya sebagai pemimpin umat Islam.
Dalam menjalankan amanah yang diberikan, Umar terkenal sebagai sosok yang sangat disiplin dan benar-benar mencontoh Rasullulah. Ia sama sekali tidak melakukan hal-hal yang menyimpang dari ajaran Islam, baik secara pribadi atau sebagai seorang khalifah.
Ketika Umar bin Khattab menjabat sebagai seoarang Khalifah, ia tidak pernah sama sekali meminta kenaikan gaji. Ia juga tidak menggunakan uang dari Baitul Maal yang di bawah kekuasaan, kecuali untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya dan juga untuk bekal haji dan umroh.
Suatu ketika, Ali bin Abi Thalib memiliki sebuah usulan untuk menaikan gaji Khalifah. Hal ini didasari kondisi Khalifah ketika menerima tamu negara, Umar tidak pernah menggunakan pakaian yang mewah.
Ide tersebut kemudian diusulkan ke dewan sahabat dan mendapat dukungan, salah satunya dari sahabat Usman bin Affan. Tetapi, usulan menaikan gaji khalifah sulit untuk diwujudkan, karena bila Umar mendengar hal ini akan marah besar.
Akhirnya, dewan sahabat memutuskan untuk meminta bantuan putri Umar bin Khattab yang merupakan salah satu istri dari Rasullulah, Hafsah untuk menyampaikan hal tersebut kepada Umar bin Khattab.
Paerkataan Hafsah yang menyampaikan ide tentang kenaikan gaji Khalifah tersebut membuat Umar marah. Ia kemudian bertanya siapa yang mengusulkan kenaikan gaji tersebut, tetapi Hafsah tidak menjawabnya.
“Andai aku tahu siapa yang mengusulkan hal itu, akan aku datangi mereka satu per satu dan kutampar muka mereka dengan tanganku.” kata Umar.
BACA JUGA: Mengenal 11 Sifat Mulia Nabi Muhammad SAW yang Harus Kita Teladani
Kisah Umar Dimarahi Istri
Ada seseorang yang ingin menghadap kepada Khalifah Umar bin Khattab hendak mengadu tentang sifat buruk istrinya. Ketika sampai di rumah Umar bin Khattab, di depan pintu orang itu mendengar Umar sedang diomeli istrinya, sementara Umar hanya berdiam diri tanpa bereaksi.
Orang tersebut bermaksud kembali sambil melangkahkan kaki seraya bergumam, “Kalau keadaan Amirul Mukminin saja begitu, llau bagaimana dengan diriku?”
Bersamaan itu Umar keluar, ketika melihat orang itu hendak kembali, Umar memanggilnya. Umar bertanya, “Ada keperluan penting?”
Lelaki itu menjawab, “Amirul Mukminin, kedatanganku ini sebenarnya hendak mengadukan perihal istriku lantaran suka memarahiku.Tetapi begitu aku mendengar istrimu sendiri berbuat serupa, maka aku bermaksud kembali. Dalam hati aku berkata, ‘Kalau keadaan Amirul Mukminin saja diperlakukan istrinya seperti itu, bagaimana halnya dengan diriku?’”
Umar berkata kepada lelaki itu, “Saudara, sesungguhnya aku rela menanggung perlakuan seperti itu dari istriku karena adanya beberapa hak yang ada padanya. Istriku bertindak sebagai juru masak makananku. Ia selalu membuatkan roti untukku. Ia selalu mencucikan pakaian-pakaianku.”
“Ia menyusui anak-anakku, padahal semua itu bukan kewajibannya. Aku cukup tentram tidak melakukan perkara haram lantaran pelayanan istriku. Karena itu aku menerimanya sekalipun dimarahi. Lanjut Umar.”