Karolin mulai mendengarkan suara hatinya. Tapi ternyata si suara hati ini tidak selalu membela ego Karolin (Baca: Cerita Soulmate #2: Mendengarkan Kata Suara Hati).
Jujur dengan perasaan diri sendiri
Aku ingat satu pagi ketika aku merasa sangat mengasihani diriku sendiri. “Mengapa aku harus selalu terjebak dengan pria-pria yang sangat keras kepala dan kaku” aku mengeluh.
Kupikir pasti sudah jelas kalau pertanyaan itu sebenarnya retoris. Tapi suara hatiku tidak melepaskan kesempatan ini. “Karena kamu selalu mengabaikan pria-pria yang tidak seperti mereka,” jawab suara hatiku tegas.
“Well, thanks!” balasku ketus, “Kamu membuatku merasa kalau aku ini benar-benar pelacur!”
“Bukan pelacur,” timpalnya. “Tapi jangan bohongi diri kamu sendiri. Kamu punya semua kekuatan yang dimiliki hamba Tuhan. Saat kamu memfokuskannya untuk mendominasi pikiran orang lain, kamu menjadi musuh yang sangat kuat. Jika kamu telah menyadari fakta itu dan juga cukup berani untuk mencari pria yang cukup kuat untuk memperjuangkanmu, kamu akan bertindak lebih parah lagi.
“Sebenarnya,” suara hatiku melanjutkan, “kamu layak dihargai karena tidak memanfaatkan pria-pria yang tidak bisa menyaingimu. Sekarang ini, saya harus mencari ke seluruh penjuru bumi untuk menemukan pasangan untukmu, orang yang sudah menjadi pejuang batin di dalam dirinya. Kamu melemparkan seluruh kekuatan pikiranmu melawan pikiran mereka. Lalu kamu keheranan mengapa semuanya tidak berjalan baik.”
“Tapi aku ngga berniat melukai siapa pun,” sergahku.
“Tentu saja kamu tidak bermaksud seperti itu,” balasnya. “Kamu hanya mencoba membuat pria dalam hidupmu untuk melakukan apa yang kamu pikir terbaik bagi kalian berdua. Tapi tidakkah kau lihat betapa arogannya kamu menganggap hanya kamulah yang tahu yang terbaik? Tuhan memberi pasanganmu kebebasan juga. Mereka harus memiliki sudut pandangnya sendiri, dan menentukan apa yang terbaik buat mereka.”
“Tapi kalau semua orang menjalani cara mereka sendiri, melakukan yang mereka inginkan, bagaimana caranya dua orang bisa bersatu?” desak saya.
“Mereka akan bersatu jika, dan ketika, mereka berdua sama-sama meinginginkan hal yang sama. Dua insan saling berkomitmen sebaik-baiknya ketika mereka sama-sama percaya kalau dengan melakukannya, tujuan masing-masing akan sama-sama tercapai. Dan mereka tetap bersama selama hal itu tetap ada.
“Tampaknya Bren tidak melihat masa depan denganmu sebagai hal yang akan membuatnya bahagia. Kamu bisa saja berpikir kalau dia membuat keputusan yang salah, dan bisa jadi kamu benar. Namun, itulah keputusannya. Memang boleh kamu mencoba memengaruhi dia, tapi tidak adil kalau kamu membiusnya lewat godaan yang kamu lakukan, atau memaksanya dengan rasa bersalah. Dia tidak boleh ditipu, atau dibuat merasa kalau dirinya itu orang yang buruk karena tidak menginginkan hal yang sama denganmu.”
Sedikit demi sedikit aku mulai menghadapi fakta kalau selama ini aku mencoba membuat Bren melakukan hal yang dia pikir bukanlah terbaik bagi dirinya sendiri. Alasannya, hanya karena aku telah memutuskan kalau hal yang kulakukan itulah yang terbaik bagi kita berdua.
Begitu aku melihatnya seperti itu, apa yang selama ini kulakukan jadi terdengar bukanlah perbuatan yang baik. Jelas aku tidak akan pernah mau orang lain melakukannya padaku.
Pelan-pelan aku mulai melihat kalau di balik topeng tidak bersalah dan kerapuhan yang kupasang, selama ini ternyata aku sangat manipulatif. Ini bukanlah cinta, kata suara hatiku, tapi kekerasan tersembunyi. Aku menggunakan seksualitasku seperti tali, dan bakatku untuk memicu rasa bersalah seperti senapan. Tujuannya, untuk mendominasi dan mengontrol pria yang satu-satunya kesalahannya adalah peduli padaku. Ternyata niat saya itu bagus ternyata kalah oleh sikap saya yang kejam.
Tetap saja, aku masih merasa tidak adil kalau aku harus bertanggung jawab atas motif buruk ini ketika aku sebenarnya tidak sadar kalau inilah yang selama ini kulakukan. Suara hatiku langsung menjawab, bagaimana punjuga, kalau itulah pilihanku yang selama ini membiarkan hal ini tidak kusadari.
Dengan cara itulah, aku merasionalisasi kalau akulah korban tanpa dosa dari pria-pria dalam hidupku. Aku melakukannya sambil merasa layak untuk memaksakan kekerasan emosional kapan pun hal itu mendukung tujuanku. Aku bisa mengontrol mereka saat mereka sibuk merasa bersalah karena mereka mengira sedang mengontrolku!
Lebih parah lagi, suara hatiku mulai memaksa kalau tidak cukup hanya mengakui kebiasaanku yang merusak dirinya ini di dalam latihan self insight ini. Dia bilang aku harus memberi tahu Bren apa yang selama ini telah kulakukan lalu melepaskannya untuk datang atau pergi sesuai apa yang menurutnya terbaik baginya.
Suara hatiku mengutarakan argumen yang tak terbantahkan untuk melepaskan Bren dan memberi kesempatan pada diriku sendiri untuk mencari pria yang menginginkan hal yang sama dengan diriku sendiri. Saat mendengarkannya, aku melihat jelas kalau inilah hal terbaik yang bisa kulakukan.
Dilema melepaskan
Tapi ketika aku sudah selesai menggali self insight, aku mulai masuk ke fantasi romantis yang isinya betapa indah segalanya kalau Bren mulai menginginkan apa yang aku inginkan! Refleksi indah ini berganti-ganti dengan gambaran betapa kesepian dan menyedihkannya hidupku kalau ternyata hubunganku tidak berjalan baik.
Jika aku kehilangan Bren, mungkin aku tidak akan pernah menemukan orang yang bisa kucintai dan menikahiku. Aku akan sendirian selamanya. Memikirkan hal ini saja aku tidak tahan.
Kemudian, mengapa aku harus memikirkannya, sekarang kan aku sedang memaksa Bren agar terus berada di dekatku? Jadi bagaimana kalau aku hanya melakukan sedikit bujukan bersahabat yang sangat halus? Tentu dia akan sangat berterima kasih padaku!
Namun akhirnya, akulah yang ternyata terus menempel dengannya. Aku ogah-ogahan menyerah pada sudut pandang suara hatiku. “Baiklah,” kataku geram. “Jadi menurutmu apa yang sebaiknya kulakukan?”
Suara hatiku mengatakan kalau aku harus menelepon Bren, memintanya bertemu, dan mengakui semua cara yang pernah kucoba untuk memanipulasi dirinya lewat bujuk rayu dan rasa bersalah. Aku harus membuka semua sisa sisi gelap pikiranku tentangnya. Setelah itu meyakinkannya kalau sebenarnya, dia sudah menjadi anugerah dalam hidupku yang hanya bisa kudapat lewat mengenalnya. Setelah itu aku perlu melepasnya dengan rasa syukur dan restu dariku untuk mencari pasangan baru.