Membuat pernikahan langgeng adalah harapan setiap orang. Tentu, saat ijab kabul diucapkan, tidak ada yang berharap pernikahan itu berakhir dengan percekcokan dan terpaksa berpisah. Sayangnya, kenyataan terkadang tidak sesuai keinginan.
Pakar pernikahan, Cahyadi Takariawan menyebutkan bahwa di Indonesia, ada lebih dari 300 ribu perceraian setiap tahun. Ini berarti ada 40 perceraian yang terjadi setiap jamnya. Angka ini merupakan yang tertinggi di Asia Pasifik. Melihat data tersebut, saya merasa ketakutan. Oleh karena itu, saya mencari tahu sebenarnya apa yang perlu kita pahami untuk membuat pernikahan lebih langgeng.
Karl Pillemer, seorang psikolog sekaligus profesor di Cornell University, menanyakan pertanyaan yang sama. Akhirnya ia mewawancara ratusan pasangan yang sudah menikah selama 40 tahun lebih. Orang-orang ini sudah sangat berpengalaman mengarungi panas terik dan hujan badai bahtera pernikahan. Itulah sebabnya Pillemer menyebut orang-orang ini expert. Pillemer menuliskan hasil wawancaranya dalam buku 30 Lessons for Loving: Advice from the Wisest Americans on Love, Relationships, and Marriage.
Berikut ini 5 pelajaran hasil wawancara Pillemer yang bisa kita ambil hikmahnya untuk membuat pernikahan kita sendiri langgeng sampai tutup usia.
-
Melanggengkan pernikahan itu (sangat) sulit dan penuh kerja keras, namun kebahagiaan yang didapat jauh lebih besar dari pengorbanan yang diberikan
Samantha Jones, wanita berusia 80 tahun yang sudah menikah selama 47 tahun berkata.
Saya mau bilang kalau pernikahan itu jauh lebih sulit daripada yang bisa kamu perkirakan. Hidup itu jauh lebih berat saat kamu menjalaninya dengan seseorang selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Jauh lebih berat dari yang bisa kamu antisipasi.
Akan ada masa-masa ketika kamu ingin mengangkat tanganmu, menyerah, dan berpikir kalau pernikahan ini tidaklah setimpal (dengan pengorbanan yang kamu berikan). Pernikahan butuh “sangat” banyak kesetiaan, dengan perasaan mendasar “ya, pernikahan ini berharga,” “ya, aku mau melakukannya,” “ya, aku mencintainya.”
Tentu di masa-masa lainnya, ada momen-momen membahagiakan dengan hubungan riil yang tidak kamu miliki saat bersama orang lain—pengalaman intelektual, emosional, dan fisik yang tidak mau kamu lepaskan sama sekali.
Bagiku, pernikahan itu proses. Kamu tidak akan pernah mencapainya, kamu selalu berada dalam proses. Selalu ada jauh lebih banyak usaha daripada yang bisa kamu bayangkan. Dalam pengalamanku, pernikahan itu sangat sepadan.
-
Kunci kebahagiaan anak-anak: Dahulukan keharmonisan suami istri dibandingkan anak-anak
Pillemer mengatakan, “Tak peduli betapa mereka mencintai anak-anak mereka, para expert ini sangat menekankan bahwa salah satu hal terburuk yang bisa pasangan lakukan adalah hanya fokus pada anak-anaknya, tidak sadar bahwa pernikahan itu sendiri butuh dipupuk dan dijaga.
“Mereka memandang bahwa ‘kamu tidak bisa melakukan banyak kebaikan untuk anak-anakmu kalau hubungan pernikahanmu mengering,’ alias ‘Dahulukan hubungan pernikahanmu.’ Ini bukan berarti kamu mengabaikan anak-anakmu. Namun kamu perlu menyadari bahwa jika hubunganmu menderita, merawat anak-anak akan ikut menderita juga.”
Nel Mitchell (66 tahun) mengungkapkannya seperti ini.
Kami punya anak-anak yang hebat. Tapi kita bilang, “Perkawinan kami itu sama pentingnya dengan kalian ya, anak-anak.” Dan mereka mengerti. Dan kami berharap kami ini contoh yang baik bagi anak-anak kami. Kamu harus tetap mempertahankan fondasinya—dua orang suami istri. Anak-anak adalah hasil dari 2 orang. Hubungan dengan pasangan harus jadi yang terpenting, dan hubungan yang baik dengan anak-anak harus datang dari fondasi itu.
-
Kunci konflik dengan orang tua & mertua: tetap berpikiran positif
Saat menikah, kamu bukan hanya menikahi orang yang kamu cintai. Kamu juga menikahi keluarganya. Terkadang hal yang membuat pernikahan bertambah sulit adalah menjaga hubungan baik dengan keluarga pasangan, terutama mertua. Annie Dawson (77 tahun) tinggal di rumah dekat tempat tinggal mertuanya selama hampir seluruh usia pernikahannya. Dan hubungan dengan mertuanya seringkali tidak mulus.
Namun Annie menjaga hubungan dengan mertuanya dengan sikap memahami dan berpikir positif.
Daripada berpikir yang jelek-jelek, jauh lebih membantu untuk berpikir bahwa hal-hal yang mertuamu ucapkan padamu itu karena mereka mau membantu anaknya dan juga kamu. Cobalah menyadari bahwa niat mereka itu baik dan terkadang manusia, apalagi saat bertambah tua, tidak bisa mengubah caranya berhubungan dengan orang lain dalam hidupnya. Menyadari hal-hal ini sangat membantuku dalam mengatasi masalah dengan ibu mertuaku di usia lanjutnya.
Pada akhirnya kamu benar-benar menikahi keluarga. Jadi berusahalah untuk mencari sifat-sifat baik pada orang tua dan mertua. Mereka akan marah saat ada perbedaan pendapat, namun saranku berusahalah melihat hal itu hanya sepintas lalu dan memikirkan sifat-sifat baik yang ada pada orang tua pasanganmu. Dan pasti ada banyak. Cobalah fokus pada hal itu, walau seringkali melakukannya bisa jadi sangat sulit.
-
Kunci mengelola repotnya urusan rumah tangga: lakukan sesuai kekuatan masing-masing
Sam Myers (76 tahun) membagikan pengalamannya.
“Membereskan urusan beres-beres dan rutinitas rumah bisa menghabiskan banyak waktu dan tenaga. Penting bagi kamu dan juga pasanganmu untuk sama-sama terlibat dan tekankan kalau kamu juga terlibat. Tidak bisa kamu berpikir, “Oke, akan kubiarkan istriku melakukannya.” Tentu sebagai suami kamu tahu apa yang kumaksud?
Kuberi tahu satu hal yang sudah sangat membantu pernikahanku adalah mencari tahu siapa yang bisa melakukan suatu pekerjaan dengan lebih baik. Misalnya saja, aku suka memasak dan istriku tidak suka. Jadi apa yang kami lakukan adalah kami memasak makan malam bergantian. Hal ini menghilangkan beban “Aku harus memasak” dariku dan juga dari istriku. Dan banyak teman kami kagum oleh hal itu. Namun bagiku, ini menekankan gagasan bahwa, “Hei, kami ini pasangan dan kami sama-sama berkomitmen untuk itu.”
Ini nyambung dengan pernikahan pertamaku, waktu itu aku bekerja sementara istriku tidak. Kamu menjalani peran spesifik dan sangat sulit untuk lepas dari peran itu. Dan telah kuamati pada banyak kenalanku. Mereka merasa, “Peranku itu ini dan ini.” Dan itulah percakapan yang tidak ada pemenangnya.
Cara kami melakukannya adalah kami saling berbagi. Aku pergi belanja mingguan dan istriku membuang sampah, kamu tahu? Jadi masing-masing dari kami punya hal-hal yang lebih bisa masing-masing lakukan, dan itu menimbulkan perasaan ‘kami berbagi tugas secara adil.’
-
Kunci mengatasi masalah finansial: hati-hati dengan utang
Evette Cope (83 tahun), mengungkapkannya seperti ini.
Apa yang harus anak-anak muda hindari? Utang! Mereka harus menghindari gratifikasi instan (merasa semua keinginan harus tercapai sekarang). Aku banyak berdebat dengan cucuku tentang utang karena dia tidak punya kesabaran untuk menabung dan terus menumpuk utang.
Darrell Ferguson (72 tahun) mengatakan.
Kulihat masalah ini pada anak-anakku sendiri. apa yang terhadi pada keluarga-keluarga sekarang ini adalah mereka tidak hidup sesuai kemampuan mereka. Mereka ingin punya mobil, blah, blah, blah. Tak ada yang mau hidup sesuai kemampuannya yang sebenarnya. Kamu tahu? Oke, jadi kamu tidak bisa beli rumah harga segini. Belilah rumah yang lebih murah. Atau ngontrak. Kamu harus hidup sesuai kemampuanmu!
Pillemer menekankan, “Jangan telan mentah-mentah anggapan kalau berutang itu wajar, belajarlah untuk membenci utang, jaga perasaan tidak nyaman saat kamu berutang, perasaan kalau kamu harus melunasi utang itu secepat mungkin. Pemahaman seperti ini membuatmu merdeka, terbebas dari kekhawatiran, dan lebih sedikit konflik pernikahan. Dengan mengubah mindset menjadi seperti para expert, utang tidak lagi seperti kondisi alamiah. Utang menjadi satu masalah yang harus dicabut sampai ke akar-akarnya.”
Bisa jadi pernikahanmu memiliki tantangan yang berbeda dari para expert ini. Namun pelajaran yang telah mereka dapatkan bisa jadi satu patokan agar pernikahanmu sendiri lebih langgeng, dan juga kamu dan pasangan lebih bahagia dalam menjalaninya.