Pada akhir 70-an, perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet sudah menunjukkan tanda-tanda hampir berakhir. Amerika Serikat sudah menunjukkan dominasinya sebagai negara superpower, ekonominya terus tumbuh dan pengaruh politiknya semakin meluas. Sementara itu ekonomi terpusat ala Soviet mulai terlihat kebobrokannya, hingga akhirnya Uni Soviet runtuh, pecah menjadi beberapa negara.
Perang dingin sering dituliskan dalam buku-buku sejarah. Namun yang jarang dibahas, setelah perang dingin ada persaingan yang tidak kalah hebatnya dalam menentukan dominasi ekonomi secara global. Amerika Serikat berlomba melawan Jepang dan Jerman. Industri manufaktur Jepang dan Jerman sedang tumbuh, lebih cepat daripada Amerika.
Menurut analisis waktu itu, GDP Amerika Serikat diprediksi akan disalip oleh Jepang dan Jerman. Jika kita lihat kondisi saat ini, prediksi tersebut salah besar. Amerika Serikat masih unggul dalam ekonomi. GDP Amerika Serikat bahkan jauh lebih besar daripada gabungan GDP Jepang dan Jerman. GDP Amerika Serikat USD 15 trilyun, GDP Jepang USD 5,5 trilyun, GDP Jerman 3,5 trilyun.
Apa yang membuat prediksi tahun 70-an salah? Apa yang membuat Amerika Serikat bisa membalikkan laju permainan? Clifton mengutarakan jawabannya ada pada inovasi dan entrepreneurship. Penemuan dan komersialisasi teknologi internet membuat Amerika Serikat tumbuh jauh lebih cepat daripada perkiraan. Internet membuat Amerika Serikat tumbuh hampir 5 kali lebih cepat dari prediksi saat itu.
Kalau memang demikian, apa hubungannya dengan Indonesia? Apa hikmah yang bisa kita ambil dari kemenangan ekonomi Amerika Serikat dari Jepang dan Jerman?
Semakin hari, Indonesia semakin menjadi sorotan dunia. Kini Indonesia sudah menjadi anggota G-20, bergabung dalam 20 ekonomi terbesar dunia. Bahkan McKinsey memprediksi tahun 2030 nanti Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi nomor 7 dunia.
Namun seperti prediksi tahun 70-an, bisa saja hal ini tidak terjadi. Ekonomi Indonesia bisa saja jatuh, atau naik lebih daripada prediksi. Kuncinya ada di inovasi dan entrepreneurship. Hilangnya dua hal ini akan membuat kondisi negeri ini menjadi jauh lebih buruk. Indonesia membutuhkan kedua hal ini untuk bisa terlepas dari status negara berkembang menjadi negara maju.
Pertanyaan berikutnya, bagaimana cara menumbuhkan inovasi dan entrepreneurship? Apa cara tercepat untuk membuatnya membudaya? Clifton menyebutkan bahwa untuk menumbuhkannya butuh kekuatan 3 komponen. Kota, universitas, dan local leaders. Tiga hal ini umumnya ada di kota besar.
Setiap kota, terutama kota besar,memiliki solusi untuk menghasilkan inovasi dan budaya entrepreneur. Banyak yang masih menganggap bahwa kota membutuhkan banyak bantuan dari ibukota untuk menyelesaikan masalahnya. Clifton membantah anggapan ini. “Solusi-solusi yang terpenting ada di kota tersebut,” kata Clifton.
Justru bantuan dari pusat seringkali menghambat tumbuhnya inovasi dan entrepreneurship. Bantuan dana dari pusat membuat kota mengalami ketergantungan. Bantuan dari pusat justru memperunyam birokrasi dan juga minimnya kontrol dari kota. “Everything is local” adalah solusi bagi masalah-masalah yang ada di kota.
Local leadership menjadi sangat penting untuk menghadirkan solusi bagi permasalahan kota. Bandung saat ini adalah contoh yang baik untuk local leadership. Ridwan Kamil, walikota Bandung, paham cara menghadirkan local leadership di kotanya.
“Pemerintah kota hanya bisa memberikan 25 persen perubahan di Bandung,” kata Ridwan Kamil, “75% sisanya membutuhkan kolaborasi dari bisnis, akademisi, dan komunitas.”
Itulah penyebab Ridwan Kamil mencanangkan Bandung harus menjadi Collaborative City. Kota gotong royong. Kota yang tiap manusianya saling membantu, aktif membangun. Collaborative city ini dirintis pemerintah kota Bandung dengan cara membagi tugas dengan komunitas, akademisi, dan bisnis.
Budaya gotong royong sebenarnya sudah ada dari zaman nenek moyang kita. Hal ini bisa dilihat dari kegemaran orang Indonesia untuk berkumpul—beraktivitas bersama-sama. Di Bandung sendiri tercatat ada 4000 komunitas, yang bergerak di berbagai bidang. Adanya inisiatif dari pemerintah kota membuat pergerakan tiap komponen ini menjadi lebih besar. Menjadi masif.
Saat Ridwan Kamil baru menjabat, ia ingin menghilangkan genangan saat hujan lebat. Masyarakat diajak untuk membuat lubang biopori. Sepuluh ribu orang bergerak membuat 350 ribu lubang biopori. Menjadikannya rekor dunia.
Ada pula inisiatif untuk menggerakkan pengusaha dalam membersihkan kota. Kini mulai ada petugas kebersihan yang digaji penuh oleh dana sumbangan pengusaha.
Dengan akademisi, pemerintah kota bekerja sama dengan universitas dalam pembuatan software. Mahasiswa-mahasiswa diberi tugas untuk mengembangkan software yang dibutuhkan oleh pemerintah. Alhasil muncul software karya anak terbaik bangsa dengan biaya yang minim. Belum lagi mahasiswa-mahasiswa ini menjadi lebih terlatih untuk menyelesaikan permasalahan nyata—bukan sekadar hasil imajinasi dosen. Kolaborasi semacam ini yang akan mempercepat kemajuan kota. Budaya inovasi dan entrepreneurship semakin menjamur.
Untuk membuat Indonesia berdaya saing di dunia internasional, dibutuhkan inisiatif dari setiap kota untuk menumbuhkan kotanya sendiri. Inisiatif untuk bisa berdikari, melepaskan ketergantungan dari pemerintah pusat. Local leadership di tiap kota adalah solusi bagi percepatan kemajuan Indonesia. Kita tak perlu menunggu adanya superman ataupun ratu adil. Dimulai dari usaha diri kita sendiri, sambil gotong royong bersama yang lain dalam bergerak.