Sejarah telah mencatat bahwa perang padri bermula dari percekcokan maupun pertentangan antara ulama setempat dengan kebiasan buruk yang telah dilakukan oleh warga setempat.
Namun sebelum mengarah ke pembahasan yang lebih jauh. Perang Padri adalah perang yang terjadi di Sumatera Barat.
Ahli sejarah telah menuturkan bahwa gerakan Kaum Padri berkaitan dengan gerakan Wahabi yang muncul di Saudi Arabia.
Tahukan kamu apa itu gerakan Wahabi? Gerakan Wahabi adalah suatu gerakan yang memurnikan kembali ajaran islam sesuai dengan tuntunan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam .
Pelopor gerakan ini adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang mana lahir pada tahun 1703-1787. Namun Kaum Padri sendiri tidak mau dan lebih senang menamakan dirinya sebagai kaum Muhahhidin yakni kaum yang konsisten dengan ajaran tauhid.
Seperti yang telah kita jelaskan di awal paragraf, perang Padri itu muncul disebabkan karena adanya pertentangan dari sekolompok ulama yang kemudian dijuluki Kaum Padri dengan kebiasaan buruk yang dilakukan warga setempat yang kemudian mengatas namakan Kaum Adat.
Kebiasaaan buruk yang dilakukan Kaum Adat antara lain suka berjudi, menyabung ayam, minuman keras dan aspek adat lainnya yang tidak sejalan dengan syariat Islam.
Perlawanan ini pada akhirnya tidak ditemui titik sepakat sehingga terjadilah peperangan pada tahun 1803 sampai 1833. Ini merupakan peperangan antar saudara yang paling lama di Suamtera Barat.
Selama kurang lebih 30 tahun akhirnya Kaum Adat yang dipimpin oleh Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah terdesak atas perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri yang mana dipimpin oleh Harimau Nan Salapan.
Karena terdesak tersebut tahun 1821 akhirnya Kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda. Namun kenyataannya keterlibatan Belanda bukan malah membantu Kaum Adat tetapi berbalik arah menyerang Kaum Adat.
Pada tahun 1833 Kaum Adat menyesal dan akhirnya kembali bergabung dengan Kaum Padri. Tujuan bergabungnya ini adalah untuk menyingkirkan kolonialisme Belanda.
Pertempuranpun terjadi antara Kaum Padri dengan kolonial Belanda. Namun Belanda dengan taktik liciknya berhasil menekan penduduk setempat sehingga Kaum Padri-pun terpojokkan.
Kaum Padri yang dipimpin langsung oleh Tuanku Imam Bonjol mendapat dukungan penuh dari Tuanku nan Gapuk, Tuanku nan Cerdik, dan Tuanku Hitam.
Tetapi sayangnya dukungan tersebut berkata lain, Kaum Padri semakin terpojokkan dan kekuatan pertempuran melemah.
Meskipun serangan tempur melemah, tidak mematahkan semangat Tuanku Imam Bonjol untuk terus melawan Belanda, perlawan dan pertempuran terus terjadi hingga akhirnya Belanda terpojokkan.
Segala perundungin dan jalan damai ingin ditempuh Belanda, namun sayang Tuanku Iman Bonjol menolak. Karena Tuanku Imam Bonjol sadar bahwa perundingan itu hanya bualan saja.
Karena perundingan tak mencapai kata sepakat, secara diam-diam ternyata pasukan Belanda yang dipimpin oleh Jenderal Michiels berhasil mengempung daerah Kota Bonjol yang merupakan basis Kaum Padri.
Gencatan senjata tak terelakkan lagi dan akhirnya benteng Kaum Padri jatuh ke tangan Belanda. Sedangkan Tuanku Imam Bonjol beserta pasukannya tertawan pada tanggal 25 Oktober 1837.
Lalu Imam Bonjol dibuang ke Cianjur kemudian dipindahkan lagi ke Ambon dan akhirnya meninggal di Minahasa.