Perfeksionis, orang yang memiliki dorongan kuat untuk melakukan segala hal dengan sempurna, tanpa cacat sedikit pun. Perfeksionisme, keyakinan yang dimiliki orang perfeksionis, tentu membuat pekerjaan orang tersebut menjadi berkualitas. Namun, di balik kerja keras seorang perfeksionis ada efek sampingnya.
Orang yang perfeksionis cenderung berlebihan memperhatikan detail, obsesif, sensitif terhadap kritik, sering stres, keras kepala, dan suka menunda-nunda pekerjaan. Ada orang-orang perfeksionis yang memiliki potensi untuk berhasil dalam hidupnya namun sifat ini justru menghambatnya.
Orang yang perfeksionis cenderung mudah lelah saat menghadapi hal-hal yang di luar perkiraannya. Itulah sebabnya ada perfeksionis yang cenderung menunda-nunda, walau tidak semuanya seperti itu. Ada juga perfeksionis yang cenderung ingin mengerjakan secepatnya agar bisa menyempurnakan hasil kerjanya di lain waktu. Namun tetap saja, kecenderungan berpikirnya ini membuat pikirannya tidak tenang.
Adakah cara untuk melakukan hasil kerja yang baik tanpa harus perfeksionis? Untuk mengetahui jawaban dari hal ini, mari kita simak hasil penelitian Brene Brown tentang perfeksionisme.
Apa yang perlu kamu ketahui tentang perfeksionisme?
Ada 2 hal yang perlu semua orang ketahui tentang perfeksionisme:
-
Perfeksionisme tidak sama dengan berusaha yang terbaik
Perfeksionisme bukanlah tentang pencapaian dan pertumbuhan yang sehat. Perfeksionisme adalah kepercayaan bahwa jika kita hidup sempurna, terlihat sempurna, dan bertindak dengan sempurna, kita bisa menghindari rasa sakit dari blaming (menyalahkan), judgment (dihakimi), dan shame (rasa malu).
Perfeksionisme itu tameng. Perfeksionisme adalah tameng seberat 20 ton yang kita seret-seret dengan anggapan bahwa sikap ini akan melindungi diri kita. Padahal faktanya, justru tameng inilah yang mencegah kita untuk melesat maju dan berkembang.
-
Perfeksionisme bukanlah pengembangan diri
Perfeksionisme adalah mencoba untuk diakui dan diterima. Kebanyakan perfeksionis dibesarkan dengan banyak pujian atas prestasi dan kinerja mereka (baik itu nilai di sekolah, sopan santun, mengikuti aturan, membuat orang lain senang, penampilan, sampai olah raga).
Dalam perjalanan hidupnya, perfeksionis menerapkan kepercayaan yang berbahaya semacam ini: saya ini seberharga apa yang saya capai dan seberapa baik saya mencapainya. Saya seberharga kemampuan saya menyenangkan orang lain, kemampuan saya bekerja, dan kemampuan saya untuk menjadi sempurna.
Ada perbedaan yang besar antara pengembangan diri dengan perfeksionisme. Pengembangan diri itu fokus pada diri sendiri: “Bagaimanakah caranya saya bisa berkembang?” Sementara perfeksionisme berfokus pada orang lain: “Apa yang akan orang lain pikirkan?”
Memahami perbedaan antara berusaha dengan sehat dan perfeksionisme ini sangat penting. Terutama agar kita bisa melepaskan tameng berat ini dan benar-benar mengambil alih hidup kita Berbagai penelitian1 menunjukkan bahwa perfeksionisme menghambat kesuksesan.
Perfeksionisme seringkali menjadi pintu masuk depresi, kecemasan, adiksi, dan kelumpuhan hidup. Kelumpuhan hidup berarti orang tersebut melewatkan banyak kesempatan karena terlalu takut untuk menghasilkan karya yang bisa jadi hasilnya tidak sempurna.
Kelumpuhan hidup juga termasuk banyak impian yang tidak perfeksionis ikuti karena rasa takutnya yang mendalam akan kegagalan, membuat kesalahan, dan mengecewakan orang lain. Saat kamu menjadi seorang perfeksionis, kamu akan takut mengambil risiko karena kamu merasa harga dirimu sedang dipertaruhkan.
Pengertian: apa itu perfeksionisme?
Brene Brown menjelaskan definisi perfeksionisme.
- Perfeksionisme adalah sistem kepercayaan yang menghancurkan diri sendiri sekaligus adiktif, perfeksionisme ini membuat pelakunya berpikir seperti ini: “Jika saya tampak sempurna, hidup sempurna, dan melakukan semuanya dengan sempurna, saya bisa menghindari rasa sakit karena rasa malu, dihakimi, dan disalahkan.
- Perfeksionisme itu menghancurkan diri sendiri karena alasan yang sederhana: kesempurnaan pada manusia itu tidak ada. Kesempurnaan itu tujuan yang tidak mungkin digapai. Ditambah lagi, perfeksionisme ini lebih tentang anggapan bahwa kita ingin dilihat secara sempurna. Sekali lagi, hal ini tidak dapat digapai. Tidak ada cara untuk mengendalikan anggapan orang lain, tak peduli berapa banyak waktu dan tenaga yang kita gunakan.
- Perfeksionisme itu adiktif karena saat kita mengalami rasa malu, penghakiman, dan menyalahkan, kita sering percaya bahwa penyebabnya adalah kita kurang sempurna. Bukannya mempertanyakan kebenaran dari perfeksionisme, orang yang perfeksionis terperangkap terus mengejar imej bahwa hidupnya, penampilannya, dan segala hal yang dia kerjakan itu harus terlihat benar.
- Merasa malu, dihakimi, dan disalahkan (dan juga rasa takut untuk mengalami 3 perasaan ini) adalah kenyataan yang harus kita hadapi sebagai manusia. Perfeksionisme justru meningkatkan kemungkinan mengalami 3 perasaan tersebut. Bahkan seringkali berakhir dengan menyalahkan diri sendiri: “Semua ini salahku. Saya merasa seperti ini karena ‘Saya ini tidak cukup baik/pintar/cantik/tampan/kaya/dsb’”
Cara mengatasi perfeksionisme
Untuk mengatasi perfeksionisme, kita perlu mampu
- mengakui kegalauan kita saat mengalami 3 hal ini: rasa malu, menghakimi, dan menyalahkan.
- Mengembangkan ketahanan terhadap rasa malu (baca artikel kami tentang rasa malu: Apa Kata Psikologi tentang Rasa Malu?)
- Melatih perasaan menyayangi diri sendiri
Saat kita lebih mencintai dan menyayangi diri sendiri serta melatih ketahanan terhadap rasa malu, kita bisa merangkul ketidaksempurnaan yang kita miliki. Dalam proses merangkul ketidaksempurnaan diri kitalah, kita akan menemukan anugerah sebenarnya yang kita miliki: keberanian (courage), perasaan menyayangi (compassion), dan keterhubungan (connection).
Berdasarkan hasil penelitian Brene Brown, tidak ada orang yang sepenuhnya perfeksionis ataupun tidak perfeksionis. Semua orang bisa menjadi perfeksionis. Hanya saja ada yang sering, ada yang jarang, dan juga tiap orang menjadi perfeksionis dalam kondisi tertentu.
Bagi sebagian orang, perfeksionisme hanya muncul pada saat ia benar-benar merasa galau. Sementara pada yang lain, perfeksionisme bisa jadi kompulsif, kronis, dan melemahkan—mirip seperti kondisi sakau.
Perbedaan antara perfeksionisme dan berusaha dengan sehat
Contoh ilustrasi ini umumnya terjadi pada wanita. Brene Brown bergulat melawan imej tubuhnya, kepercayaan dirinya, dan hubungan complicated antara makanan dan emosi. Inilah perbedaan antara diet yang perfeksionis dengan tujuan yang sehat.
Percakapan di kepala orang perfeksionis: “Uh, gak ada baju yang pas. Gue ini gendut dan jelek. Gue malu banget sama penampilan gue. Gue harus jadi orang yang berbeda dari diri gue yang sekarang supaya gue pantas mencintai, dicintai, dan memiliki.”
Percakapan di kepala orang yang berusaha dengan sehat: “Gue mau bisa pakai baju ini. Gue mau merasa lebih baik dan lebih sehat. Ukuran ngga mendikte kalau aku ini dicintai dan diterima atau ngga. Kalau gue percaya bahwa gue layak mendapat cinta dan rasa hormat sekarang, gue akan membawa keberanian, perasaan menyayangi, dan keterhubungan ke dalam hidup gue. Gue mau mencapai hal ini buat gue sendiri. Gue bisa melakukannya”
Lepaskan dirimu dari perfeksionisme
Selain 3 langkah di atas, Brene Brown lebih lanjut mewawancarai orang-orang yang bisa lepas dari perfeksionisme. Hasilnya, ternyata untuk bisa lepas dari perfeksionis kita perlu melakukan 2 hal ini:
- Membicarakan ketidaksempurnaan secara lembut dan jujur, tanpa rasa malu dan rasa takut.
- Jangan cepat menghakimi diri sendiri dan orang lain. Saat melihat tindakan orang lain (dan juga tindakan diri kita sendiri), percayalah bahwa “Kita semua melakukan hal terbaik yang bisa kita lakukan.” Tidak perlu menyalahkan diri sendiri ataupun orang lain secara tidak proporsional. Apa pun yang kita lakukan maupun orang lain lakukan, percayalah bahwa itu adalah hal terbaik yang bisa kita dan orang lain lakukan dengan pengetahuan yang kita dan ia miliki.
Manusia itu tidak ada yang sempurna. Rangkullah ketidaksempurnaan yang kita miliki. Berjalanlah dengan ketidaksempurnaan itu. Hal ini terdengar sederhana, namun kuncinya adalah menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, secara terus-menerus. Dengan begitu kita bisa lepas dari sifat perfeksionisme.
(1) Joe Scott, “The Effect of Perfectionism and Unconditional Self-Acceptance on Depression,”Journal of Rational-Emotive and Cognitive-Behavior Therapy 25, no. 1 (2007): 35-64; Anna M. Bardone-Cone, Katrina Sturm, Melissa A. Lawson, D. Paul Robinson, and Roma Smith, “Perfectionism across Stages of Recovery from Eating Disorders,” International Journal of Eating Disorders 43, no. 2 (2010): 139-48; Hyun-joo Park, P. Paul Heppner, and Dong-gwi Lee, “Maladaptive Coping and Self-Esteem as Mediators between Perfectionism and Psychological Distress,” Personality and Individual Differences 48, no. 4 (March 2010): 469-74.