Mungkin kamu jadi terusik kalau mendapat pertanyaan “kapan nikah?” dari saudara-saudaramu saat berkumpul dan bersilaturahmi di hari raya Idul Fitri atau di kesempatan lainnya. Tapi seyogyanya kamu tidak perlu merasa terlalu terganggu dengan pertanyaan ini. Sebab, kamu yang tahu jawaban terbaiknya.
Berikut ini sejumlah pemikiran mengenai pertanyaan “kapan nikah?” yang mungkin akan membuatmu terbelalak. Sebab di dalamnya bukan sekedar soal deadline waktu menikah, tapi ada persoalan yang lebih hakiki, seperti mengenai cinta dan kasih sayang.
Pertanyaan Melabrak Ruang Privat
Pertanyaan “kapan nikah?” mungkin bisa disebut sebagai pertanyaan yang sangat pribadi. Sebab ini boleh dibilang telah offside karena melampaui garis batas wilayah pribadi seseorang. Walau hal ini secara sosial mungkin lumrah diucapkan tanpa beban sebagai bahan obrolan, tapi ini sesungguhnya sangat sensitif dan bersifat personal.
Pertanyaan Basa-Basi
Ya, mungkin kamu sendiri pun terbiasa menanyakan hal ini pada temanmu. Niatnya kamu ingin basa-basi saja untuk menghilangkan kekosongan pembicaraan. Tapi bagi yang mendapat pertanyaan semacam ini, itu mungkin bisa menjadi sebuah “peluru yang menghunjam” dan tidak mudah untuk dijawab.
Tidak Memperjuangkan Makna Cinta
Dalam kata “kapan nikah?” yang sifatnya basa-basi, sebetulnya tidak terkandung makna cinta sama sekali. Sebab itu mungkin hanya pertanyaan spontan yang keluar begitu saja mendapati lawan bicaranya diketahuinya belum menikah.
Kepo Tingkat Dewa
Mungkin boleh dilabeli juga bahwa pertanyaan “kapan nikah?” masuk dalam kategori kepo tingkat dewa. Sebab pertanyaan itu berisi keinginan untuk tahu kehidupan terdalam orang lain.
Pertanyaan yang Menafikan Cinta
Itu pertanyaan yang mungkin juga bisa disebut mengenyampingkan cinta. Sebab yang dipentingkan dari pertanyaan itu adalah jawaban mengenai waktu pernikahan. Sama sekali tidak ada makna “cinta” dalam pertanyaan ini.
Pertanyaan yang Berpotensi Memunculkan Prasangka
Dari pertanyaan ini, sangat potensial memunculkan social labelling. Apalagi ketika hal itu dibahas ramai-ramai dalam sebuah ajang ngrumpi.
A: Eh si Z itu kok belum nikah-nikah juga ya?
B: Mungkin dia itu #####?
C: Atau kalau nggak dia itu ##### paling.
Kehilangan Empati
Pertanyaan “kapan nikah?” adalah bentuk hilangnya empati pada orang yang diajak bicara. Tanpa tahu kondisi orang yang ditanya, tanpa paham apa yang sebenarnya terjadi, pertanyaan ini bisa sangat menyakitkan.
Cinta itu Rasional
Erich Fromm dalam bukunya The Art of Loving menulis: “Yakin pada orang lain berarti merasa pasti akan kemampuannya untuk dapat dipercaya dan tidak berubahnya sikap dasarnya, jati dirinya dan cintanya” (Fromm: 157).
Dengan kata lain, Fromm menganjurkan agar kita bersikap rasional saat mencinta. Dengan melihat sikap dasar, jati diri serta cintanya padamu. Walau sering juga sebaliknya disebut orang banyak kalau cinta itu buta.
Cinta adalah Pengalaman Pribadi
Pengalaman cinta adalah hal yang sangat pribadi. Yang sangat mungkin sangat berbeda tiap orang. Bahkan oleh satu pasangan pun, tiap pribadinya mungkin merasakan pengalaman yang berbeda.
Anggap Saja sebagai Hiburan
Kalau kamu adalah pihak yang mendapat pertanyaan “kapan nikah?”, anggap saja itu sebagai hiburan. Bahwa orang yang bertanya itu tak mengerti apa makna cinta. Atau jawab saja sekenanya yang bernuansa humor.
A: Kapan nikah?
B: Mei
A: Wah, selamat ya
B: May be yes, may be no 😀
Jadikan Motivasi
Kamu juga tak perlu menggerutu jika mendapat serangan pertanyaan ini. Anggap saja sebagai motivasi supaya kamu bisa lekas naik ke jenjang pernikahan.
Beri Kesempatan
Buat kamu yang sudah menikah, mungkin yang terbaik bagi kamu jika bertemu dengan orang yang belum menikah adalah bukan dengan mempertanyakan “kapan nikah?”, tapi dengan memberikan mereka kesempatan untuk menentukan jalan terbaiknya.