Kalau ada wanita yang tidak meragukan dirinya sendiri, dia pasti seorang permbohong.
Wanita pasti akan meragukan sesuatu. Merasa inseure. Bisa jadi soal penampilan, pemikiran, atau performa di tempat kerja. Pasti selalu ada hal-hal yang wanita harap bisa ia ubah.
Dalam hal fisik saja. Bisa jadi wanita menganggap tangannya terlalu besar. Hidungnya. Lemak di perut yang coba ia sembunyikan di balik jaketnya, yang kini tak bisa ia sembunyikan lagi tak peduli sudah sit up berapa kali sehari.
Bahkan wanita yang sangat cantik dengan keluarga yang sempurna dan karier yang baik, pasti ada hal-hal dalam dirinya yang ia harap bisa ia ubah.
Claire Shipman dan Katty Kay, dalam buku Womenomics, membahas tentang perubahan yang terjadi pada wanita. Setelah mewawancara banyak wanita yang berhasil, Shipman dan Kay menemukan bahwa semuanya menderita gejala yang tak terlihat, kurangnya percaya diri.
Ternyata wanita yang menjadi CEO perusahaan besar dan wanita baru lulus kuliah dan baru dapat kerja itu memiliki rasa percaya diri yang sama. keduanya sama-sama merasa tidak layak mendapat promosi, gaji, dan kehidupan yang sudah ia usahakan dengan susah-payah. Wanita tidak tahu cara meminta apa yang dia inginkan. Wanita tidak tahu cara berhenti berpikir kalau dirinya tidak layak atas hal-hal yang ia miliki.
Sebelum mencoba mengatasi masalah ini, sebaiknya kita cari tahu akar masalahnya. Sebenarnya apa yang membuat wanita kurang percaya diri dibanding pria? Dari mana asal kurang percaya diri ini? Inilah jawaban yang Katty dan Claire temukan setelah meneliti dan menganalisis ratusan wanita.
Wanita mendapat pujian, laki-laki punya kulit badak
Masa-masa SD adalah saat ketika wanita merasa penuh percaya diri. Sebelum masa pubertas itulah, wanita tidak menilai dirinya dari berdasarkan penampilan fisiknya. Saat SD, wanita merasa bahagia, tidak berasumsi, dan benar-benar percaya diri.
Di kelas SD, wanita dipuji karena memiliki sikap dan sopan santun sementara lelaki dimarahi dan dihukum karena kenakalannya. Ini yang seperti Carol Dweck, profesor psikologi Stanford tuliskan dalam bukunya Mindset: The New Psychology of Success, wanita dipuji karena menjadi sosok yang sempurna.
Itulah asal-mula masalah psikologis terjadi. Bukannya belajar cara dimarahi, wanita belajar cara mendapat pengakuan. Bukannya belajar seni mengambil risiko, wanita belajar cara menjadi sempurna. Dweck menuliskan, “Saat kita mengamati kelas-kelas sekolah dasar, kita melihat anak laki-laki dimarahi 8 kali lebih banyak daripada wanita atas tingkah lakunya.”
Sekarang psikologis mulai melihat bahwa kegagalan dan daya tahan adalah fondasi dari kepercayaan diri. Seperti yang bisa kita lihat sekarang, lelaki menjadi jagoan dalam hal menerima pukulan sementara wanita menjadi ahli menghindarinya.
Estrogen = lebih hati-hati, testosteron = lebih banyak uang
Dalam penelitiannya, Katty dan Claire ingin tahu apakah kurang percaya diri wanita itu karena bawaan lahir atau karena asuhan. Ternyata kedua hal ini sama-sama berperan penting.
Estrogen adalah hormon motivator utama pada wanita. Estrogenlah yang mendukung bagian otak dalam kemampuan sosial dan observasi. Estrogen meningkatkan ikatan dan hubungan yang wanita buat. Namun estrogen tidak mengapresiasi mengambil risiko dan konflik. Pengambilan risiko dan konflik inilah bumbu yang meracik kepercayaan diri.
Sementara lelaki dengan testosteronnya, diprogram untuk bersaing dan menang. Pria tidka memikirkan konsekuensinya dan tidak sepenuhnya berpikir rasional. Memang hal ini membuat pria tidak selalu mengambil pilihan yang sempurna, namun setidaknya pria selalu berani mengambil keputusan.
Wanita harus sempurna, pria justru harus tidak sempurna
Pikirkan tentang sebagian besar wanita yang kamu kenal. Pikirkan apa yang mereka hadapi setiap harinya dan bagaimana mereka sampai pada keputusan yang mereka ambil. Biasanya, kebimbangannya datang dari keharusan menjadi sempurna.
Tidak ada yang wanita selesaikan kecuali jika ia merasa 100% yakin kalau ia tak akan gagal. Kalau wanita akan melakukan sesuatu, hal itu harus dilakukan dengan benar. Sementara itu, pria selalu melakukan sesuatu dengan tidak sempurna.
Wanita memperbaiki detail terkecil dalam hidupnya, bukannya mencari kesempatan yang baru. Wanita mengkhawatirkan persahabatannya, keluarganya, dan hubungan yang ia miliki. Kalau satu bagian saja tidak sempurna, wanita akan terobsesi sampai jadi sempurna, atau sampai hal itu sudah bukan jadi bagian dari hidupnya.
Wanita menyalahkan dirinya sendiri, pria menyalahkan semua orang
Kalau seorang wanita merasa bersalah dan tak ada orang yang bertanggung jawab atas kesalahan itu, apakah dia melakukan kesalahan itu?
Setiap harinya, wanita merasa bersalah atas hal-hal yang sebenarnya bukan kesalahannya. Tapi itulah yang wanita pahami. Wanita mengambil kesalahan sementara pria melimpahkannya.
Ini terlihat seperti mental pemenang, namun sebenarnya ini kelemahan wanita. David Cunning, psikolog di Universitas Cornell, mengamatiprogram Ph.D. matematika di Cornell yang sudah terkenal dengan tingkat kesulitan yang terus meningkat. Cunning melihat bahwa pria biasanya melihat situasi apa adanya. Pria merespon nilainya yang turun dengan berkata, “Wow, kelasnya sulit.” Sementara itu wanita bereaksi dengan merendahkan dirinya sendiri, “Saya sudah tahu kalau saya ini tidak cukup pintar.”
Wanita bisa berada dalam situasi yang sama dengan pria. Namun wanita melihat sisi negatifnya. Wanita sering menolak pujian dan mengambil sisi negatif. Wanita perlu belajar berhenti melihat setiap situasi buruk sebagai kesalahannya dan menganggap situasi yang baik karena usahanya. Dengan begitu, wanita bisa mulai merasa bahagia.