Saat remaja, Sam Walton (1918-1992) hidup di masa Depresi Besar. Ia harus mencari uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolahnya. Sejak SMA ia menjadi loper koran. Selain itu, Sam Walton bekerja juga menjadi penjaga pantai. Namun bukan berarti ia tidak punya waktu bermain. Ia sangat menyukai bermain bola basket dan American Football.
Saat kuliah ia juga aktif di organisasi. Ia pernah menjadi presiden badan eksekutif mahasiswa di kampusnya. Kegiatan organisasi ini ia jalani sambil meneruskan usaha loper korannya. Ia juga tidak melalaikan kuliah. Sam Walton mengakui ia memang sangat sibuk saat kuliah, namun dari sanalah ia memahami arti uang dan kerja keras. Kelak setelah menjadi miliarder, ia tetap menjalani hidup yang sederhana.
Setelah lulus sebenarnya ia ingin melanjutkan S2, mengambil Finance di Wharton. Namun ia menyadari bahwa kalau ingin melanjutkan kuliah ia harus bekerja sambilan lagi, seperti saat ia kuliah S1. Sam merasa kehidupan seperti itu terlalu sibuk, ia merasa lelah.
Oleh karena itu, Sam Walton memutuskan untuk melamar pekerjaan. Ia pun diterima di perusahaan retail J.C. Penney sebagai sales. Saat itu belum terpikir dalam benak Sam bahwa dia ingin menjadi pengusaha retail. Sam menyukai pekerjaannya dan hasil kerjanya juga memuaskan. Apalagi ia merasa senang memiliki atasan yang sangat peduli terhadap perkembangan bawahannya. Namun setelah dipanggil wajib militer, ia harus mengundurkan diri untuk menjadi tentara. Saat itu ia telah menikah dengan Helen, istri yang sangat mendukung bisnisnya kelak.
Saat itulah ia merasa passionnya adalah berbisnis di bidang retail. Di waktu senggang ia biasanya pergi ke perpustakaan, mencari buku-buku tentang bisnis retail. Ia juga mempelajari departemen store yang ada di tempatnya bertugas. “Satu-satunya pengalaman saya adalah saat bekerja di Penney, tapi saya memiliki kepercayaan diri bahwa saya bisa sukses.”
Istrinya meminta Sam untuk tidak memulai usaha di kota besar, Helen ingin tinggal di kota kecil saja. Oleh karena itu, mereka pindah ke Newport, Arkansas, lalu membeli lisensi franchise supermarket Benjamin Franklin. Saat itu kebanyakan pemilik supermarket tidak mau membuka cabang di kota berpenduduk kurang dari 10 ribu orang, namun Sam dapat sukses menjalankan supermarket di kota dengan penduduk 5 ribu orang dengan konsep diskonnya.
Konsepnya adalah jika ia membeli baju seharga 0,8 dollar per potong. Umumnya supermarket lain akan menjualnya kembali seharga 1,2 dollar namun Sam menjualnya seharga 1 dollar. Ia mengamati walau marginnya dipotong separuhnya, barang terjual 3 kali lebih banyak dan keuntungan pun menjadi lebih besar.* Pada zamannya tidak ada orang yang menggunakan ilmu itu. Saat ia mempresentasikan konsepnya ke kantor pusat Benjamin Franklin, mereka tidak tertarik untuk bekerja sama. Penolakan itulah yang membuat Sam mendirikan Walmart yang pertama, 20 tahun setelah pertama kali membeli franchise Benjamin Franklin yang pertama.
Setelah mendirikan perusahaannya, Sam Walton tidak berhenti belajar. Ia sering mewawancarai manajer-manajer hingga kasir dan pramuniaga supermarket lain, menanyakan berbagai hal teknis yang dapat ia gunakan di Walmart. Poin-poin penting ia catat dalam buku catatan yang selalu ia bawa (setelah mengenal recorder, ia mulai meninggalkan buku catatannya dan merekam seluruh wawancara yang ia lakukan).
Sam Walton mulai bekerja sangat pagi. Seringkali ia bekerja mulai dari jam 4.30. Menurutnya jam-jam tenang ini sangat berharga untuk berpikir, membuat rencana, dan mengatur pekerjaan-pekerjaannya. Biasanya ia mulai dengan menulis artikel untuk buletin perusahaan dilanjutkan dengan mengunjungi supermarket-supermarketnya di berbagai daerah. Ia melakukan kerja ekstra ini karena ia menyukai hal-hal yang ia lakukan.
Walmart dikenal sebagai perusahaan yang memiliki karyawan—Walmart menyebutnya associate— yang loyal, padahal mulanya Sam sangat pelit dalam memberikan kompensasi kepada karyawannya. Namun ia belajar bahwa dengan memberikan profit sharing, karyawan menjadi bekerja dengan baik dan tidak berbuat curang. Sam menjanjikan kepada sopir truk gudangnya, “Jika kamu mau bekerja dengan saya selama 20 tahun, kamu akan mendapatkan $ 100.000 dari profit sharing.” Ternyata sopir tersebut mendapat lebih dari tujuh kalinya. Selain dengan profit sharing, Sam juga selalu ingin mendengar keluhan langsung dari karyawannya. Dalam kunjungan dadakan ke supermarket-supermarketnya, ia bertanya bagaimana Walmart bisa meningkatkan kinerja, memuji prestasi karyawan yang baik dan menegur yang tidak berhasil.
Sam Walton berupaya mengelilingi dirinya dengan orang-orang yang lebih baik daripada dia sendiri. Ia merekrut wakil yang lebih baik dalam bidang supply chain, lain waktu ia merekrut wakil yang lebih baik dalam membangun sistem, lain waktu lagi dalam menerapkan teknologi. Bidang-bidang yang kurang ia kuasai. Oleh karena itu, Walmart tidak ketinggalan zaman saat komputer ada. Malah termasuk supermarket yang awal dalam menggunakan komputer.
Kesuksesan Walmart tidak terlepas dari partisipasi keluarga Sam. Istri dan anak-anaknya sangat mendukung dalam mengembangkan perusahaan. Sejak kecil, anak-anaknya sudah bekerja di supermarket: menyapu lantai, mengangkat kardus, menjaga stand es krim. Mulai dari dasar dengan menanamkan kerja keras sejak kecil. Saat makan bersama pun, seringkali membahas perkembangan supermarket. Sebagai gantinya, Sam suportif terhadap kegiatan anak-anaknya. Ia hadir di pertandingan olahraga sekolah, mengantar anaknya berkuda, dan memberikan liburan bersama keluarga yang tidak diganggu pekerjaan.
Banyak yang mengira bahwa Sam Walton dapat menjadi sangat sukses dalam waktu yang singkat. Menanggapi hal tersebut, Sam Walton menjawab, “seperti kisah sukses dalam satu malam lainnya, dibutuhkan waktu sekitar 20 tahun untuk mencapainya.” Namun ia tidak keberatan menghabiskan 20 tahun membesarkan Walmart, toh dalam prosesnya ia menyukai hal-hal yang ia lakukan dan mendapat banyak pembelajaran. Bukan kesuksesan yang instan, namun berarti.