“Kerja keras itu non-negotiable, tidak bisa dikompromikan. Kita tidak boleh bekerja setengah-setengah. Begitu ada peluang harus kita kejar sepenuhnya,” kata Sandiaga. Dalam menjemput peluang, kerja keras adalah hal yang tidak bisa dikompromikan. Tak ada satu orang pun yang bisa meraih kesuksesan tanpa kerja keras. “Banyak yang menceritakan kisah sukses yang fenomenal. Namun denominator atau titik persamaan orang-orang sukses itu adalah etos kerja kerasnya,” nasihat Sandiaga.
Untuk bisa sukses dalam suatu bidang tentu dibutuhkan bakat tertentu. Namun banyak orang yang berbakat akhirnya hanya punya prestasi yang biasa-biasa saja. Biasanya ini karena tak adanya etos kerja keras. Saking pentingnya etos kerja keras, sudah seharusnya etos kerja keras diajarkan sejak dini.
Tak peduli seberapa beruntungnya seseorang, ia tetap harus bekerja keras dalam hidupnya untuk bisa sukses. Dalam buku biografi Made In America, Sam Walton—yang saat itu sudah menjadi orang terkaya di dunia—bertanya pada temannya, “Bagaimanakah caranya menginspirasi seorang cucu untuk bekerja keras jika mereka tahu bahwa mereka tak akan pernah miskin sepanjang hidupnya?” Sandiaga mendapatkan inspirasi bekerja keras ini dengan mengamati ibunya.
“Saya belajar (bekerja keras) dari ibu saya. Usianya sudah 73 tahun. Beliau menunjukkan arti kedisiplinan dan bekerja keras pada saya. Pekerjaan beliau adalah guru, pakar etika. Sampai saat ini, kalau ia akan memberikan materi di mana pun berada, malamnya ia mempersiapkan diri dengan begitu kerasnya. Belajar materi baru dengan mematut-matut dirinya di depan cermin,” cerita Sandiaga.
Saya tanya, “Mama, buat apa sih belajar dan bersiap-siap? Mama kan udah bertahun-tahun mengisi seminar.”
“Setiap kesempatan harus kita gunakan untuk menunjukkan kerasnya persiapan kita dan bagaimana kita mengimprovisasi dan terus memperbaiki diri,” jawab Ibu Mien.
Selama lebih dari 50 tahun Ibu Mien konsisten bekerja keras. “Ini yang saya acungi jempol dari ibu saya. Tidak ada yang datang apabila kita santai-santai saja,” ungkap Sandiaga mengakhiri cerita.
Dari ibunya, Sandiaga belajar bahwa bekerja keras itu harus dimulai dari persiapan. Etos kerja seperti ini yang ia terapkan dalam kariernya. Saat menjadi mahasiswa, Sandiaga selalu menghabiskan banyak waktu untuk belajar mandiri agar siap sebelum materi diajarkan. Weekend ia gunakan untuk belajar di perpustakaan.
“Saya ingin menyiapkan diri untuk pelajaran minggu depan, wujud dari kerja keras saya (ketika musim dingin) adalah berjalan selama 15-20 menit melawan udara dingin dan angin yang membuat suhunya menjadi -15 hingga -20⁰C,” cerita Sandiaga. “Ada teman-teman yang tinggal di asrama saja menonton tv. Tapi saya diberi kesempatan sekolah dengan beasiswa dan didukung orang tua, tugas pertama saya adalah belajar. Saya pulang saat perpustakaan tutup. Saya ingin memberikan suatu ikhtiar 100% dalam hal yang saya kerjakan.”
Begitu pula saat menjadi karyawan, persiapan selalu jadi prioritas utama. Sandiaga belum puas ketika pekerjaannya selesai. Ia selalu mengecek hasil pekerjaannya beberapa kali—memastikan hasil pekerjaannya sebaik mungkin.
“Kalau mengerjakan sesuatu, saya tidak pernah mengumpulkannya sekali buat. Selalu saya periksa berkali-kali. Ini didikan ibu. Hasil kerja itu harus sesempurna mungkin,” kata Sandiaga.
Bekerja keras itu memahami apa yang bisa kita kendalikan dan apa yang tidak bisa kita kendalikan. Begitu memahami bahwa ikhtiar adalah satu-satunya hal yang bisa kita kontrol, fokus utama kita akan ada pada ikhtiar.
“Yang menentukan hasil itu Allah, tapi ikhtiar itu kita yang tentukan sendiri. Yang kita kontrol itu adalah ikhtiar kita, kerja keras kita. Kalau mengerjakan sesuatu itu harus 100%, tak boleh setengah-setengah. Kita harus punya prioritas apa yang harus kita kerjakan. Kerja keras itu adalah seluruh dasar dari usaha kita. There’s no shortcut to success,” ujar Sandiaga menjelaskan betapa etos kerja keras ini menentukan keberhasilan seseorang dalam hidupnya.