Pada tahun 1600, beberapa tahun setelah orang-orang Inggris mengalahkan armada Spanyol, Ratu Elizabeth I menyerahkan piagam 21 tahun kepada “Rombongan Pedagang London yang berdagang ke India Timur.” Itulah East India Company, yang didirikan demi kepentingan bangsa Inggris dan salah satu perusahaan patungan pertama, dengan 125 pemegang saham dan modal senilai 72 ribu poundsterling.
Perjalanan awal untuk bersaing dengan Belanda di Kepulauan Rempah-Rempah yang kini menjadi Indonesia, menemui beragam keberuntungan untuk perusahaan tersebut. Lebih karena keberuntungan daripada perhitungan yang matang, perjalanan ketiga kapal milik perusahaan ini tiba di pantai barat India pada tahun 1608.
Awalnya, jumlah orang Inggris di India, negeri yang saat itu dikuasai oleh Kerajaan yang Mughal yang Muslim, sedikit lebih banyak daripada pesaing-pesaingnya yakni orang Portugis, Belanda, Swedia, Denmark, dan Perancis. Saat mulai terjadinya kemunduran dalam dinasti Mughal, raja-raja di wilayah ini memberikan konsesi dagang lebih jauh ke para pedagang Inggris ini. Perusahaan ini mengeksploitasi kekosongan kekuasaan dengan bantuan penguasa-penguasa Hindu setempat yang tidak senang.
East India Company kemudian memperoleh hak-hak pemerintahan di Madras (Chennai) yang terletak di pantai timur pada tahun 1639. Pada tahun 1660, perusahaan ini mengontrol Bombay (Mumbai), yang kemudian diserahkan kepada Raja Charles II dari Inggris sebagai bagian mahar dari orang Portugis, Catharina dari Braganza. Raja memberikan wilayah itu kepada perusahaan dengan imbalan sebesar 10 poundsterling setahun.
Pada tahun 1690, perusahaan juga dianggap mengendalikan Kalkuta (Kolkata) di Bengal, yang kemudian menjadi pusat kekuasaan penguasa Inggris di India.
Tonggak Singkat East India Company
1600: Ratu Elizhabeth I menyerahkan piagam pendirian East India Company
1608: Armada perusahaan tiba di pantai barat India
1639: Perusahaan berhasil menguasai Madras (Chennai)
1669: Perusahaan berhasil menguasai Bombay (Mumbai)
1690: Perusahaan berhasil menguasai Kalkuta (Kolkata)
1757: Kemenangan Robert Clive membuat perusahaan menguasi Bengal
1764-1767: Clive menjalankan berbagai reformasi sebagai Gubernur Jenderal Bengal
1773: Pemerintah Inggris membantu perusahaan keluar dari kesulitan keuangan dengan meloloskan Undang-Undang Teh. Ini menimbulkan kemarahan penduduk kolonial Amerika
1774-1785: Sebagai gubernur jenderal Bengal dan bertanggung jawab atas seluruh wilayah Inggris di India, Warren Hastings mengonsolidasikan kekuasaan Inggris, memapankan basis bagi administrasi Inggris berikutnya.
1801: turnover perusahaan melampaui 7,5 juta poundsterling, jumlah yang mengejutkan ketika itu.
1839-1842: Orang-orang Inggris memerangi orang-orang Tiongkok dalam Perang Opium Pertama, memaksakan kehendak perusahaan untuk mengekspor opium.
1853: Jalur rel kereta pertama dibangun di India.
1857: Pemberontakan orang-orang India menandai permulaan berakhirnya kekuasaan perusahaan ini di India.
1858: Undang-Undang Pemerintah India mengalihkan kekuasaan perusahaan kepada kerajaan.
1874: Pembubaran East India Company.
Kemakmuran dari Timur
Menjelang akhir abad ke-17, perusahaan ini mempekerjakan angkatan bersenjatanya sendiri, beserta armada, administrator, pengumpul pajak dan pengadilan. Bahkan mengeluarkan mata uang koinnya sendiri.
Para raja Mughal menjadi boneka. Perusahaan mengadopsi kebijakan memecah-belah dan mengendalikan penguasa-penguasa setempat. Mereka pun mengusir orang Portugis, Belanda, Perancis, Swedia, Denmark, sampai perusahaan Inggris lain yang menjadi pesaingnya.
Kantor pertama perusahaan ini yang berada di Kota London awalnya sangat sederhana. Namun tak berapa lama mulai membuka jalan bagi kantor pusat yang mewah di Lime Street dan Leadenhall Street.
Di kantor-kantor ini terdapat perpustakaan kecil lengkap serta harta-harta berharga. Salah satu koleksinya adalah Tipu’s Tiger, sebuah model yang menggambarkan seekor harimau India sedang menyantap seorang Inggris (benda berharga ini kemudian dipindahkan ke Victoria dan Albert Museum di London).
Di dekat Sungai Thames dibangun Dermaga East India untuk menangani impor katun, rempah-rempah, celupan nila, teh, perhiasan, gading, sutera, dan sendawa. Keberuntungan ini memungkinkan dibiayainya pembangunan perkotaan di London dan dibukanya berbagai bisnis baru, serta mulainya pengaruh politik perusahaan di Parlemen. Yang terpenting, akumulasi modal yang sangat banyak ini merangsang dimulainya Revolusi Industri.
Jika seseorang bertugas selama 10 tahun di “John Company” ini, ia akan bisa membangun sebuah rumah besar yang dipadati dengan barang kenang-kenangan dari Timur. Misalnya saja seperti rumah rumah milik nabob (orang kaya raya penggemar barang-barang mahal) Sir Charles Cockerell, Sezincote di Gloucestershire, dirancang dalam gaya India.
Robert Clive, komandan angkatan bersenjata dan gubernur Bengal, serta nabob terkaya dibanding semua nabob, memperlihatkan betapa kaburnya batas-batas yang ada di antara kekayaan individual, East India Company, dan Kerajaan Inggris. Kekayaan luar biasa yang ia timbun membayang-bayangi pencapaian militernya dalam mengakhiri pengaruh Perancis di India. Clive meninggal pada tahun 1774 dengan tangannya sendiri (beberapa sumber menyebutkan bunuh diri, sumber lainnya menyebutkan overdosis opium). Clive ini salah seorang paling kaya dan orang yang paling dijelek-jelekkan di Inggris.
Gubernur Bengal selanjutnya, Warren Hastings, seorang administrator, juga dituduh korupsi, walaupun pengadilannya yang berlangsung lama di hadapan House of Lords berakhir dengan pembebasan pada 1795.
Menyatukan Anak Benua
Pada abad ke-19, East India Company memimpin pembangunan yang menakjubkan dari rekayasa sosial dan mekanis. Hal ini terjadi begitu anak benua ini mulai dihubungkan (serta dikontrol) oleh jalan raya.
Pada 1850-an, sebuah jalan yang dilapisi logam menghubungkan Kalkuta dan Bombay. Pada saat yang sama Jalan Besar Utama mulai diperbaiki dan diperbesar, menjadi jalan sepanjang 1.500 mil membentang dari Kalkuta ke perbatasan barat laut.
Jalur rel kereta pertama, sepanjang 20 mil, dibangun pada 1853. Pada tahun 1869 sudah sekitar 4.000 mil jalan kereta yang dioperasikan. Sebagian besar pemberhentian berada di persimpangan atau wilayah yang dibentengi pada jarak yang strategis di luar kota-kota yang berbahaya.
Efek dari jaringan transportasi ini tidak ada bandingannya saat itu. Baru terkalahkan saat dibuka dan berlangsungnya kolonisasi (lagi-lagi dengan jalur kereta api) di Amerika Barat.
Berpaling ke Pribumi
Banyak orang perusahaan mengambil orang India sebagai gundik. Sementara perempuan Inggris berisiko menghadapi ancaman penyakit dan iklim yang tidak bersahabat.
Namun di luar itu, James Achilles Kirkpatrick, yang dijuluki Mughal Putih, berangkat pada tahun 1801 untuk menikahi seorang putri Mughal, Khairunnissa. Ia beralih memeluk Islam dan menjadi agen ganda. Ia bekerja untuk ayah mertuanya melawan East India Company.
Misi perusahaan tidak pernah terlihat begitu terkait dengan kerajaan pada akhir abad ke-19 dengan memaksakan nilai-nilai Kristen Inggris kepada kaum pribumi, yang dianggap lebih rendah secara moral, kultural, maupun intelektual.
Banyak orang perusahaan di masa awal adalah pengagum besar budaya India. Sebagian di antara mereka bahkan menjadi sarjana besar dan kolektor. Bagaimana pun juga, bisnis perusahaan adalah bisnis, bukan menyebarkan agama kristen. Tujuannya adalah menyediakan dividen sebesar 10% bagi pemegang saham.
Pada tahun 1801, penjualan telah meningkat menjadi £7.602.041. jumlah ini sangat mengagetkan bila dihitung pada saat ini. Peningkatan dari £4.988.300 delapan tahun sebelumnya.
Pada abad ke-19, administrator perusahaan mengumumkan maksud mereka untuk emngalihkan India yang makmur dan efisien ke orang India. Perusahaan memerintahkan hakim-hakimnya dalam masalah hukum setempat untuk berkonsultasi dengan “kesadaran yang adil atau baik,” dan berkomitmen untuk tidak mencampuri praktik-praktik kebiasaan dan keagamaan setempat.
Hubungan dengan Pemerintah Inggris
Walau demikian, perusahaan ini tidak sepenuhnya berpisah dari kepentingan pemerintah Inggris. Perusahaan sebenarnya memiliki hubungan yang agak ambigu dengan pemerintah. Pada tahun 1773, kelaparan di Bengal ditambah dengan adanya resesi di Eropa, mendorong para direktur perusahaan untuk meminta bantuan keuangan kepada Parlemen.
Parlemen menanggapi permintaan ini dengan meloloskan Undang-Undang Teh. Aturan ini mengizinkan perusahaan untuk membanjiri pasar Amerika dengan teh murah. Kebijakan ini menimbulkan kemarahan di kalangan kolonis sampai terjadi Pesta Teh Boston. Sekelompok warga memasuki kapal-kapal pengangkut teh dan melemparkan kargonya keluar kapal.
Ada kemungkinan bahwa mereka adalah penjahat sewaan yang dibayar oleh para penyelundup yang bisnisnya dirusak oleh teh harga murah yang dijual perusahaan. Namun versi “resmi” menyebutkan bahwa insiden ini membantu memicu Revolusi Amerika.
Pada 1773, perusahaan yang kekurangan uang tunai mengambil kendali atas perdagangan opium di Bengal. Tindakan ini menghindari larangan Tiongkok terhadap impor opium dengan menjualnya di Kalkuta dengan syarat bahwa barang tersebut diekspor ke Tiongkok. Keuntungan yang dibayarkan ke pabrik milik perusahaan yang ada di Kanton (Guangzhou) mempunyai makna bahwa perdagangan opium inii mendanai bagian terbesar impor teh dan sutera oleh perusahaan dariTiongkok.
Oposisi dari orang-orang Tiongkok menyebabkan penyitaan Hongkong oleh pemerintah Inggris pada 1840. Ini terjadi saat berlangsung Perang Opium Pertama. Jardine dan Matheson, taipan asli dari Hongkong, adalah karyawan perusahan di Kalkuta yang telah pindah ke Tiongkok bagian selatan untuk mengembangkan perdagangan opium. Saat upacara penyerahan Hongkong dari Inggris kepada Tiongkok pada 1997, pidato Presiden Tiongkok, Hiang Zemin, merujuknya sebagai “bab terakhir Perang Opium.”
Pemberontakan India
Pada 1839, angkatan bersenjata East India Company lebih besar daripada angkatan bersenjata milik ratu dan tentara Eropa mana pun, kecuali tentara Rusia. Kekuatan bersenjata ini terdiri dari relawan upahan, yakni orang-orang Punjab, Sikh, dan Gurkha dari Nepal, yang dipimpin oleh komando perwira-perwira Inggris.
Para perwira ini, yang dilatih di akademi perusahaan di Addiscombe, Surrey, bukan hanya belajar tentang ketentaraan. Mereka juga belajar tentang seluk-beluk Hindusta, mekanika, dan matematika. Tentara ini merupakan mikrokosmos dari hubungan Inggris-India dalam segala kontradiksi dan kompleksitasnya.
Namun pandangan kosmopolitan yang berpikiran liberal, seperti diwakili oleh Hickey dan Kirkpatrick pada pertengahan abad ke-19, telah memberikan jalan bagi evangelisme sempit era Victorian. Para pelakunya tidak mempercayai dan salah memahami kaum pribumi India.
Akibat dari ketidakpekaan generasi baru penguasa Inggris,pemberontakan India meruak pada 1857. Pasukan bersenjata perusahaan yang merupakan penduduk pribumi, didukung oleh penguasa setempat, melancarkan revolusi menentang Inggris. Pemberontakan ini ditandai oleh kekejaman dan pembantaian di kedua belah pihak. Inilah akhir kekuasaan perusahaan di India.
Pemerintah Inggris memutuskan untuk mengambil alih pemerintahan di India ke tangannya sendiri. Ratu Victoria menulis dalam buku hariannya, “suatu perasaan universal bahwa India harus menjadi milikku.”
Akhir East India Company
Peraturan India tahun 1858 mengusulkan penghapusan kekuasaan perusahaan. Ini termasuk Dewan Pengendali dan mengalihkan seluruh kewenangan kepada Raja.
Filsuf politik yang juga karyawan East India Company, John Stuart Mill, menulis sebuah petisi yaang ditujukan kepada Parlemen. Isinya memprotes pembubaran perusahaan. Petisi tiu gagal dan Mill mengundurkan diri dengna pensiun tahunan yang besar, £1.500.
Perusahaan tidak lagi eksis. Angkatan bersenjatanya yang dulu hebat, diperlemah oleh perwira senior yang semakin tua dan desersi, menjadi Angkatan Bersenjata India.
Banyak kekayaan perusahaan dialihkan ke India Office. India sendiri sepenuhnya berada di bawah kendali pemerintah Inggris. Gubernur jenderalnya menjadi raja muda sang ratu. India secara formal menjadi koloni kerajaan dan”permata di mahkota” Ratu Victoria.
Selama beberapa thaun, perusahaan masih tetap hidup mengelola perdagangan teh untuk pemerintah Inggris. Pada 1 Januari 1874, ketika East India Stock Divicend Redemption Act mulai efektif, perusahaan akhirnya dibubarkan. The Times London menuliskan komentarnya seperti ini.
“Perusahaan ini menyelesaikan pekerjaan yang dalam keseluruhan sejarah ras manusia seperti nya tidak ada perusahaan lain yang pernah berusaha melakukannya dan mungkin begitu pula dalam tahun-tahun mendatang.”
Kontribusi perusahaan terhadap perdagangan, administrasi, dan infrastruktur harus ditimbang terhadap kemunduran perkembangan pribumi India dan kemarahan yang diakibatkan oleh kekuasaan kolonial bagi kebanyakan orang India.
Setelah kemerdekaan pada tahun 1948, India tetap menganut ekonomi terpusat. Selama lebih dari 40 tahun, negeri ini berusaha mengindustrialisasi diri tetapi menolak investasi asing. Ini mulai berubah pada 1990-an, ketika demokrasi terbesar di dunia ini mulai muncul sebagai calon negara adidaya. Dengan perumbuhan ekonomi 9% per tahun pada awal abad ke-21, India sedang memperlihatkan determiinasi menyeimbangkan neraca dan menarik investasi asing.
Tentu saja, kali ini dengan aturan yang bangsanya buat sendiri. bukan didikte bangsa, atau perusahaan asing.