Sejarah 31 Anak Muda yang Membangun Industri Penerbangan Indonesia

Para pendiri bangsa ini memiliki visi akan membangun industri dirgantara Indonesia, yang diwujudkan dengan mengirim anak-anak muda belajar ke negara-negara maju.

Pada pertengahan dekade 60-an, B.J. Habibie baru saja memperoleh gelar Doktor dalam bidang konstruksi pesawat terbang. Saat itu usianya 28 tahun, ia menulis surat ke Indonesia untuk mengabarkan kesiapannya pulang dan mengabdi di tanah air.

Tak disangka, Habibie malah diminta untuk tetap tinggal dulu di Jerman Barat. Imam Sukoco selaku Care Taker Kopelapip (Komando Pelaksana Proyek Industri Pesawat Terbang) mengirimkan surat balasan yang menjelaskan bahwa saat itu kemampuannya belum dapat digunakan.

Habibie berpikir ia harus mempersiapkan diri agar ketika diminta pulang ke tanah air, ia sudah siap membangun industri dirgantara. Ia mengatur pekerjaannya agar semua pengalamannya dapat dimanfaatkan untuk Indonesia. Oleh karena itu, ia menolak ketika ditawari mendesain pesawat terbang spionase yang mampu terbang pada ketinggian 30 ribu kilometer ke atas dengan kecepatan tinggi.

Ia juga menolak tawaran dari industri pesawat terbang Bolkow di Hamburg karena di sana ia hanya mendapat proyek mendesain pesawat kecil. Ia pikir pengalamannya membuat kedua jenis pesawat ini tidak akan terlalu bermanfaat. B.J. Habibie memilih bekerja di Hamburg Flugzeubau (HFB) karena di sini ia mendapat tugas riset konstruksi dasar pesawat terbang. Bidang ini sangat sesuai jika kelak ia harus mempersiapkan industri pesawat terbang di Indonesia.

Habibie menyadari bahwa ia tidak bisa melakukan semua ini sendiri. Ia perlu tim, yang berisikan orang-orang yang sepaham dengannya dan mampu bekerja dengan baik. B.J. Habibie menyebut orang-orang ini kawan-kawan “setia.” Ia memutuskan untuk mendatangkan kader dari Indonesia yang lebih muda atau seumuran dengannya ke Jerman Barat.

Saat pulang ke Indonesia, Habibie mengumpulkan pemuda-pemuda untuk menyebarkan gagasan membangun industri pesawat terbang di Indonesia. Ada sekitar 20 orang hadir. Mereka semua sepakat bahwa mereka perlu “mencuri” ilmu dengan menimba pengalaman di perusahaan pesawat terbang Jerman Barat.

Dengan memanfaatkan posisinya di perusahaan yang sudah cukup tinggi, Habibie memasukkan 30 orang Indonesia untuk bekerja di Messerchmitt Bolkow Blohm (MBB, perusahaan yang mengakuisisi HFB). Habibie meyakinkan pihak manajemen bahwa orang-orang Indonesia terampil dalam bekerja.

Manajemen perusahaan percaya karena kinerja Habibie memang memuaskan. Habibie mengatur pos-pos tempat teman-temannya bekerja agar bisa terbentuk tim yang komplet untuk membangun industry pesawat terbang.

Saat mempersiapkan tim ini, ekonomi Jerman Barat sedang lesu. Hal ini membuat pekerjaan teman-teman Habibie terancam karena pihak MBB mencoba untuk mengurangi jumlah tenaga kerja. Habibie tidak tinggal diam.

Ia memindahkan teman-teman Indonesianya ke divisi yang tidak mengalami pengurangan tenaga kerja. Agar pegawai lainnya tidak terlalu memperhatikan karyawan-karyawan dari Indonesia, Habibie memperingatkan agar jangan bergerombol, bahkan saat makan pun harus bergilir.

Dengan ini, pegawai lokal tidak menuntut orang-orang asing diberhentikan sebelum mem-PHK orang Jerman itu sendiri. Strategi ini ternyata berhasil. Semua anggota timnya mampu memperdalam keterampilan dalam berbagai sub-bidang kedirgantaraan.

Akhirnya pada Agustus 1973, B.J. Habibie dan semua sarjana Indonesia diminta untuk pulang ke Tanah Air. Habibie mengundang semua sarjana Indonesia yang bekerja di MBB dan industry lainnya. Ia menyampaikan tugas negara yang akan dibebankan kepada mereka sekaligus menanyakan siapa yang mau ikut dan siapa yang tidak berminat.

Semua orang yang diundang itu menyatakan bersedia untuk pulang. Habibie berusaha selama lebih dari 8 tahun, hasilnya tim untuk membangun industri dirgantara pun siap.