SEJARAH RA KARTINI – RA. Kartini adalah pahlawan nasional yang sangat berjasa dalam sejarah bangsa Indonesia khususnya kaum wanita. Dalam masa penjajahan Belanda yang sempat menduduki ibu pertiwi, kaum wanita pribumi dikesampingkan hak-hak dalam mendapatkan fasilitas pendidikan dan mengemukakan pendapat.
Namun itu hanya sekelumit dari sejarah hidup dari RA. Kartini. Lalu apa saja perjuangan hidup yang selama ini diusahakan oleh RA. Kartini? Berikut adalah sejarah singkatnya.
Biografi Singkat RA. Kartini
Kartini lahir dari keluarga priyayi dan memiliki nama panjang Raden Adjeng Kartini. Ayahnya Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat adalah seorang patih yang diangkat menjadi bupati Jepara. Ibunya bernama M.A. Ngasirah adalah seorang guru agama di salah satu sekolah di Telukawur, Jepara.
Jika diurutkan dari asal usul silsilah maka keluarga Kartini yang dari ayahnya merupakan trah keturunan dari Sultan Hamengkubuwono IV. Keluarga Kartini masih keturunan Sosroningrat dari silsilah kerajaan Majapahit.
Awal Perjuangan RA. Kartini
Sejarah perjuangan RA. Kartini berawal saat beliau berumur 12 tahun. Saat itu beliau ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi namun dilarang oleh orang tuanya.
RA. Kartini yang lulusan dari Europese Lagere School (ELS) sangat fasih dalam berbahasa Belanda sehingga beliau merasa sanggup mengikuti jenjang yang lebih tinggi dengan kemampuan tersebut.
Namun penjelasan itu tidak dihiraukan oleh ayahnya yang melarang RA.Kartini untuk mengejar cita-cita bersekolah. Alasannya tidak lain dan tidak bukan karena usia beliau yang sudah 12 tahun menandakan bahwa saatnya untuk dipingit dan segera menikah.
Saat itu beliau tidak punya pilihan lain selain ikut apa kata orang tuanya yang artinya RA. Kartini harus menjalani pingit.
RA, Kartini Dalam Masa Pingitan
Selama dipingit itulah beliau menulis surat-surat kepada teman berkirim suratnya yang sebagian besar orang Belanda. Disitulah beliau kemudian mengenal Rosa Abendanon yang sangat mendukung perjuangan RA. Kartini untuk mendapatkan hak-hak sebagai manusia meski dia perempuan.
Semetara itu Rosa Abendanon juga sering mengirimkan buku-buku dan surat kabar dari Eropa pada RA. Kartini kecil sehingga pemikirannya menjadi lebih maju. Dalam surat kabar tersebut memberitakan wanita-wanita Eropa memiliki kedudukan yang sama untuk meraih hak-haknya sedangkan di Indonesia wanita berada pada strata sosial yang amat rendah.
Akhir Pingitan dan Awal dari Cita-cita RA. Kartini
Pada saat RA. Kartini berusia 20 tahun beliau sudah menyelesaikan buku-buku seperti De Stille Kraacht milik Louis Coperus, Max Havelaar dan juga Surat-Surat Cinta yang ditulis Multatuli dan Van Eeden, Roman-feminis dari Goekoop de-Jong Van Beek dan Die Waffen Nieder mengenai Roman anti-perang oleh Berta Von Suttner. Buku-buku bertulisan belanda tersebut membuat beliau makin terbuka pikirannya dan semakin maju.
Kemudian pada tanggal 12 November 1903 pingitan berakhir dan beliau harus menikah dengan bupati Rembang bernama K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat atas pilihan orang tuanya. Saat itu RA. Kartini berstatus istri kedua bupati Rembang tersebut. Meski begitu suaminya sangat mendukung cita-cita beliau dan bahkan memperbolehkan RA. Kartini membangun sekolah khusus wanita.
Akhir Hayat dan Perjuangan yang Diteruskan
Selama pernikahannya, RA. Kartini dikaruniai satu putra bernama Soesalit Djojoadhiningrat. RA. Kartini kemudian menghembuskan nafas terakhirnya empat hari setelah melahirkan. Beliau wafat pada usia 25 tahun.
Perjuangan RA. Kartini tidak terhenti bahkan setelah beliau wafat. Perjuangan tersebut diteruskan oleh sahabatnya Rosa Abendanon yang membukukan surat-surat keduanya menjadi sebuah buku.Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang artinya “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”.
Habis Gelap Terbitlah Terang
Buku Door Duisternis tot Licht buah pikiran RA. Kartini tersebut diterbitkan pada tahun 1911 dan disebarluaskan di eropa dan kemudian di Indonesia dalam bahasa Belanda. Pada tahun 1922 buku tersebut diterjemahkan dalam bahasa Melayu oleh Balai Pustaka. Buku terjemahan tersebut diberi judul “Habis Gelap Terbitlah Terang: Buah Pikiran”.
Selanjutnya pada tahun 1938, sastrawan Armijn Pane menerbitkan terjemahan dalam judul “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang berisi lima bab cara berpikir RA. Kartini.