Sejarah Toyota: Produsen Mobil Terlaris di Dunia

Toyota Motor Corporation (Toyota Jidosha Kabushiki-gaisha) didirikan pada 1937 oleh Kiichiro Toyoda sebagai cabang dari Yoyota Automatic Loom. Yang terakhir ini  adalah bagian dari perusahaan ayahnya, Toyota Industries, yang mulai berdiri di abad ke-19 dengan bantuan transfer teknologi dari Oldham di Inggris utara.

Tonggak Sejarah Toyota

1894: Kelahiran Kiichiro Toyoda.

1933: Pembentukan divisi otomotif di Toyota Industries.

1935: Mobil penumpang Toyota yang ppertama, Model A1, diproduksi.

1937: Kiichiro Toyoda mendirikan Toyota Motor Corporation.

1941-5: Toyota memproduksi truk untuk Tentara Kerajaan Jepang.

1950: Pecahnya perang Korea mendatangkan pesanan dalam jumlah besar untuk truk militer dari AS.

1952: Kematian Kiichiro Toyoda.

1957; Toyota Crown menjadi mobil Jepang pertama yang diekspor ke Amerika.

1965-70: Perang Vietnam mendatangkan lebih banyak pesanan militer AS.

1973: “Kejutan minyak” mendorong peningkatan permintaan terhadap mobil “ekonomis” di AS.

1975: Penjualan Toyota melewati penjualan Volkswagen di AS.

1992: Presiden George Bush Sr mengunjungi Jepang bersama eksekutif senior perusahaan mobil AS untuk menekan Jepang agar membeli lebih banyak mobil buatan AS. Kunjungan ini tidak berhasil.

2007: Di seluruh dunia, penjualan Toyota melampaui General Motors.

Divisi otomotif Toyota Industries sebenarnya mulai bekerja pada 1933. Divisi otomotif ini lahir didorong oleh pemerintah Jepang yang membutuhkan produksi kendaraan domestik dalam menghadapi resesi di seluruh dunia dan Perang Sino-Jepang.

Toyota menghasilkan mesin Tipe A pada 1934 dan mobil penumpang Model AI pada 1935. Pada tahun yang sama, perusahaan ini juga menghasilkan truk GI. Produksi mobil penumpang Model AA dimulai pada 1936.

Mobil-mobil ini mirip dengan mobil-mobil yang diproduksi oleh Dodge dan Chevrolet. Suku cadangnya memang dapat dipertukarkan dengan model-model Amerika.

Jepang telah menjadi negara Asia pertama yang menandingi Barat secara ekonomi dan industri. Negara ini memiliki ciri khas budaya kerja keras, pendidikan, dan komitmen yang fanatik untuk memperbaiki kualitas produk dan produksi.

Produksi Militer

Selama Perang Dunia Kedua, pabrik-pabrik Toyota memanufaktur truk untuk Tentara Kerajaan Jepang. Kekurangan material membuat kendaraan ini jadi sederhana, dengan lampu besar tunggal dan ditempatkan di tengah.

Jepang mengakui kekalahan segera sebelum pemboman oleh Sekutu dijadwalkan untuk menghancurkan pabrik-pabrik Toyota. Penyerahan tanpa syarat diikuti dengan pendudukan militer oleh AS. Jepang bertekuk lutut, bergantung kepada bantuan Amerika Serikat (AS).

Pada 1950, Toyota berusaha memulai kembali produksi mobil, namun perusahaan berada di ujung kebangkrutan. Satu pabrik beralih produksi ke gandum dan roti hanya untuk emmberi makan para pekerjanya. Toyota menjual kurang dari 300 truk setiap bulan.

Perusahaan ini berhenti membuat mobil sama seklai ketika CEO Shotara Kamiya melakukan perjalanan ke AS dengan harapan bisa menjalin kerja sama dengan Ford Motor Company. Kamiya gagal.

Alasannya bukan karena Departemen Pertahanan AS merasa bahwa perjanjian semacam itu akan menggerogoti produksi domestik AS. Tetapi karena saat ia kembali ke Jepang, Perang Korea pecah. AS menjerit minta dukungan Jepang. Kamiya disambut dengan pesanan 1.500 buah truk per bulan dari Pentagon.

Saat Perang Korea berakhir pada 1953, 1 juta orang Tiongkok, 600.000 orang Korea, dan 54.246 orang Amerika telah terbunuh. Perbatasan yang dipersengketakan antara Korea Utara dan selatan tetap berada di Paralel 38.

US Special Procurements Program telah memompa $3,5 milyar kepada Jepang. Terlebih lagi bagi Kamiya, tragedi Korea adalah “penyelamatan Toyota,”  walau ia merasa bersalah atas “gembira di atas perang negara lain.” Gubernur Bank Jepang melukiskan Special Procurement Program sebagai “bantuan Tuhan.”

Metode Baru Manufaktur Mobil

Keuntungan dari investasi AS di Jepang memungkinkan Eiji Toyoda, keturunan sang pendiri, untuk merenungkan kembali produksi mobil.

Toyoda mengunjungi Ford di Detroit dan menyimpulkan bahwa metode Amerika bukanlah caranya. Metode Amerika cenderung melakukan subordinasi pekerja individual, jumlah suku cadang yang sangat banyak, dan lini produksi masal yang tidak fleksibel.

Faktor-faktor lain yang dianggap berpengaruh terhadap Toyoda saat itu di antaranya adalah sistem distribusi “menit terakhir” yang diterapkan toko swalayan Piggly Wiggly dan program pendidikan yang direncanakan oleh Angkatan Bersenjata AS.

Toyoda dan rekannya harus menciptakan sistem yang fleksibel bagi pasar Jepang yang kecil dan terfragmentasi. Mereka memodifikais alat pres bekas Amerika dan memberitahu karyawan agar mengeluarkan suku cadang “pada waktunya.”

Karyawan juga didorong untuk menghentikan lini produksi saat sebuah mobil terlihat mengandung cacat atau ada suku cadang yang hilang. Awalnya yang terjadi adalah kekacauan. Namun gagasan itu dengan cepat berjalan begitu tim menjadi semakin kompak.

Dalam waktu singkat, Toyota menghasilkan lebih banyak mobil dengan biaya yang lebih rendah dan kualitas lebih tinggi dariapda pembuat mobil Jepang lainnya.

Toyota Way mengajarkan dan mempraktikkan perbaikan dan pemberdayaan terus-menerus di seluruh organisasi. Mereka menyebutnya Sistem Produksi Toyota. Beebrapa tahun kemudian, orang Barat menamainya lean production.

Keberhasilan Ekspor

Pada 1957, Toyota Crown, perpaduan antara gaya Barat dan nilai-nilai rekayasa Jepang, menjadi mobil pertama yang diekspor ke Amerika Serikat. Pada 1958, Toyota masih mengekspor kurang dari 100 mobil per tahun ke Amerika.

Walau begitu, industri manufaktur Jepang sedang booming. Ditambah lagi Perang Vietnam mendatangkan suntikan $3 milyar dalam bentuk pesanan militer dari AS antara tahun 1965 dan 1970 yang mendorong ekonomi Jepang lebih lanjut.

Pada 1973, Oil Shock alias Kejutan Minyak dari OPEC yang pertama menimbulkan efek inflasi yang masif terhadap Barat dan juga terhadap harga bahan bakar. Hal ini membuat orang-orang menyadari superioritas mobil “ekonomi” Jepang terhadap mobil setara buatan Amerika.

Pada tahun 1975, Toyota menyusul Volkswagen dan menjual 800.000 mobil di Amerika. Pada 1979, terjadi Oil Shock yang kedua, Toyota menjual 1,8 juta kendaraan di Amerika. Selama dekade berikutnya, Toyota memapankan jaringan penjual, jaringan layanan, dan kemudian pabrik-pabrik di sleuruh Amerika Serikat.

Sementara itu, pembuat mobil Amerika seperti General Motors terjun ke dalam krisis. Timbul kerugian terbesar sepanjang sejarah korporat Amerika. Kota-kota mobil  seperti Flint, Michigan, hancur.

Pada tahun 1989, Presiden General Motors Roger Smith memuji mobil baru yang diparkir di sebuah tempat di Detroit. “Apa itu?” tanyanya kepada orang yang ada di situ, “Mercedes Benz baru?”

“Bukan, tuan,” jawaban orang itu, “itu salah satu mobil model baru dari Jepang.” Mobil itu adalah Toyota Lexus.

Dua puluh tahun kemudian, Lexus menjadi mobil mewah terlaris di Amerika Utara. Divisi ini mungkin yang paling menguntungkan dari keseluruhan Toyota Motor Corporation.

“Pearl Harbour Economy”

Krisis yang melanda industri mobil Amerika pad awal tahun 1990-an memicu pertanyaan di Washington dan seruan untuk memberi hukuman berupa tarif perdagangan atas impor mobil dari Jepang. Seorang senator Demokrat, Donald Riegle, bahkan menyatakan, “Ini Pearl Harbour ekonomi.”

Pada tahun 1992, Presiden George Bush Sr, yang pernah bertempur melawan Jepang sebagai pilot Angkatan Laut dalam Perang Pasifik, mengajak serta pimpinan General Motors, Ford, dan Chrysler untuk mengunjugni Jepang. Tujuannya adalah menekan tuan rumah agar membeli lebih banyak mobil Amerika.

Inisiatif ini menjadi kegagalan diplomatik dan komersial, sekaligus membingungkan orang-orang Jepang. “Kunjungan Presiden Bush telah menimbulkan banyak kebingungan dan menyusahkan orang-orang Jepang,” kata seorang konsultan manajemen Jepang di Wall Street Journal. “Kebanyakan kami tidak mengerti mengapa Presiden Amerika Serikat mengangkat isu yang biasanya ditangani oleh asisten Carla Hills (perwakilan dagang AS).”

Jawabannya terletak pada pabrikan Amerika yang menganut metode dan nilai-nilai Jepang. Perusahaan seperti General Motors dan Ford harus mendefinisikan ulang budaya perushaaan, memeriksa secara menyeluruh jaringan penjualan dan layanan mereka.

Terlebih lagi, para produsen mobil AS ini harus mendengarkan pelanggan jika ingin mendapat kembali pangsa pasar yang menguntungkan dalam industri yang mereka pelopori dan yang di dalamnya mereka telah lama menganggap diri sebagia pemimpin dunia.

Pada 2007, walau di Amerika Honda menjual lebih banyak, namun Toyota menjual lebih banyak mobil dan truk di sleuruh dunia daripada General Motors. Peristiwa ini mengakhiri 75 tahun kejayaan kelompok AS sebagai pembuat mobil terbesar di dunia.

Di AS, perusahaan mengoperasikan pabrik perakitan di Alabama, Kentucky (di sini pabrik merakit Toyota Camry, mobil paling laku di Amerika), Indiana, Texas, West Virginia, dan Mississippi. Toyota juga memanufaktur secara lokal untuk pasar di Inggris, Australia, Kanada, Perancis, Turki, Republik Ceko, Indonesia, Polandia, Afrika Selatan, Brazil, Pakistan, India, Argentina, Meksiko, Malaysia, Thailand, Tiongkok, Vietnam, Venezuela, dan Filipina.

Orang-orang Eropa menandatangani kontrak untuk mobil Prius hibrida, yang memakai bahan bakar minyak, listrik, atau keduanya. Di Amerika Serikat, dengna mundurnya Ford dan General Motors, orang-orang Amerika yang bergantung pada mobil dibuat panik oleh naiknya harga bensi. Alhasil makin banyak orang yang berpaling kepada mobil-mobil efisien bahan bakar buatan Toyota untuk mengangkut mereka dari kawasan pinggiran-kota ke tempat kerja.