Apakah Saya Ini Narsis Kalau Terlalu Memperhatikan Tanggapan Orang Lain Tentang Saya?

Dari definisinya, narsis berarti gangguan jiwa karena terlalu memperhatikan diri sendiri secara berlebihan. Anggapan saya dulu, narsis itu berarti terlalu fokus ke diri sendiri. Namun jika dipikir-pikir, alasan di balik berlebihan memperhatikan diri sendiri tampaknya cenderung karena terlalu peduli akan tanggapan orang lain (hal ini didukung juga oleh hasil penelitian lho! Lanjut baca saja).

Sedikit refleksi ke hidup saya, mana sih yang lebih saya perhatikan? Perasaan dan keinginan saya sendiri? Atau ketakutan di kepala saya akan tanggapan orang lain? Kalau mau jujur, lebih sering yang kedua. Butuh usaha sadar secara pikiran untuk bisa secara jujur terhadap perasaan dan keinginan diri sendiri.

Contoh sederhananya saja dalam bersosial media. Saat ini media sosial yang sering saya gunakan adalah facebook.

1

Terlalu Sering Mengecek Sosial Media?

Seringkali saat saya mem-post-kan sesuatu ke wall facebook, saya merasa ada dorongan kuat untuk mengecek reaksi orang terhadap postingan tersebut. Saya seperti menanti like, comment, sampai share orang lain di dalam postingan tersebut.

Hal yang cukup menguras waktu sebenarnya. Bahkan saya terkadang “merasa harus” mengecek handphone saya untuk memperhatikan interaksi orang lain dengan postingan saya.

Tentu kalau saya tidak mengecek akun sosial media, saya bisa menggunakan waktu saya untuk hal-hal yang lebih produktif. Misalnya saja bekerja atau mendekatkan hubungan dengan teman dan keluarga.

Ini membuat saya bertanya-tanya, apakah saya ini terlalu narsis sampai-sampai merasa perlu mengecek sosial media seintens ini? Bukan hanya facebook, bisa jadi whatsapp, line, twitter, instagram, atau path.

Apakah ini termasuk gejala narsis kalau sampai-sampai saya mengabaikan orang-orang yang secara fisik di dekat saya hanya untuk mengecek sosial media?

Tentu hal ini membuat saya berpikir tentang masalah yang lebih mendasar dalam hidup saya: mengapa saya merasa takut akan tanggapan orang lain? Mengapa saya terkadang tergerak berbuat sesuatu lebih karena asumsi saya tentang apa yang akan orang lain pikirkan? Dan bagaimana saya bisa mengatasi masalah ini?

Pertanyaan-pertanyaan ini membawa saya ke sebuah buku berjudul Daring Greatly: How the Courage to Be Vulnerable Transforms the Way We Live, Love, Parent, and Lead.

2

Apa emosi tersembunyi di balik narsis?

Dalam buku Daring Greatly, peneliti rasa malu, Brene Brown Ph.D, menjelaskan bahwa narsis itu adalah rasa ketakutan untuk menjadi biasa. Penyebab narsis adalah ketakutan untuk tidak pernah merasa cukup diperhatikan, cukup dicintai, cukup memiliki, atau takut tidak memiliki tujuan hidup.

Brene Brown mengamati semakin banyak orang yang kesulitan untuk merasa bahwa dirinya itu sebenarnya cukup berharga. Menurutnya, ada pesan tersirat di berbagai belahan dunia yang mengatakan bahwa kehidupan yang biasa-biasa saja itu  kehidupan yang tidak ada artinya.

Anak-anak tumbuh di dalam 3 pengaruh besar: televisi, budaya selebritis, dan sosial media yang tidak terkontrol. 3 hal ini sangat memengaruhi cara pandang seseorang terhadap dunia. Salah satunya adalah pesan berikut ini:

Saya hanya sebaik dan seberharga jumlah “likes” yang saya dapat di akun facebook dan instagram saya.

Tentu tidak setiap saat, namun dalam sekejap bisa saja anak-anak generasi digital rasakan. Hal ini membuat generasi saat ini rentan terkena kecanduan sosial media.

Namun apakah sosial media membuat masyarakat saat ini menjadi generasi narsis? Brene Brown dengan tegas mengungkapkan “tidak.” Gejala “kecanduan” sosial media ini dapat kita gali akar masalahnya dengan mempelajari budaya kelangkaan.

3

Budaya kelangkaan: masalah “tidak pernah merasa cukup”

Brene Brown menanyakan ke banyak orang tentang masalah tidak pernah merasa cukup ini. Ia memberikan kuesioner berisi kalimat sederhana berikut ini: Saya tidak pernah merasa cukup …….

Ini hasil kuesionernya:

  • Saya tidak pernah merasa cukup baik
  • Saya tidak pernah merasa cukup sempurna
  • Saya tidak pernah merasa cukup kurus
  • Saya tidak pernah merasa cukup kuat
  • Saya tidak pernah merasa cukup sukses
  • Saya tidak pernah merasa cukup pintar
  • Saya tidak pernah merasa cukup yakin
  • Saya tidak pernah merasa cukup aman
  • Saya tidak pernah merasa cukup luar biasa

Brene Brown menyimpulkan bahwa budaya kelangkaan terjadi dalam hidup manusia karena memiliki percakapan semacam ini di dalam kepalanya.

Dalam buku The Soul of Money, Lynne Twist, mengilustrasikan masalah “tidak pernah merasa cukup” ini dengan sangat baik.

“Bagiku, dan bagi kebanyakan dari kita, pikiran pertama yang terlintas di kepala kita di pagi hari adalah “Saya tidak mendapat cukup tidur.” Lalu lintasan pikiran berikutnya adalah: “Saya tidak punya cukup waktu.”

Baik benar ataupun tidak, pikiran tidak merasa cukup timbul di pikiran kita secara otomatis sebelum kita mempertanyakan atau menguji kebenarannya. Kita menghabiskan berjam-jam dan berhari-hari dalam hidup kita untuk mendengarkan, menjelaskan, komplain, atau mengkhawatirkan hal-hal yang tidak cukup kita miliki…..

Sebelum kita terbangun dari kasur, sebelum kaki kita menyentuh lantai, kita sudah merasa tidak cukup, sudah merasa tertinggal, sudah merasa kalah, sudah merasa kekurangan sesuatu.

Dan pada saat kita berniat untuk tidur di malam hari, pikiran kita berlomba dengan percakapan-percakapan akan hal-hal yang tidak kita dapatkan di hari itu, atau hal-hal yang belum sempat kita selesaikan di hari itu. Kita pergi tidur dengan beban pikiran-pikiran tersebut dan terbangun dengan lamunan kekurangan semacam itu….

Kondisi internal kelangkaan seperti ini, mindset kelangkaan seperti ini, hidup di dalam bagian hati rasa cemburu kita, keserakahan kita, prasangka kita, dan sanggahan-sanggahan kita dengan kehidupan yang sebenarnya kita jalani…..

Dalam bahasa Inggris, langka disebut scarce. Akar kata scarce berasal dari kata scars dari bahasa Norman Perancis Kuno. Scars berarti jumlahnya terbatas. Kelangkaan akan tumbuh dalam budaya di mana semua orang sangat waspada akan keterbatasan.

Semua hal dari rasa aman, cinta, sampai ke uang terasa sangat kurang. Inilah konsekuensi dari membiarkan diri dalam budaya kelangkaan:

Akibatnya saya menghabiskan banyak waktu memperhitungkan seberapa banyak yang saya miliki, sebearapa banyak yang saya inginkan, dan juga seberapa banyak yang tidak saya miliki. Bukan hanya itu, saya juga memikirkan seberapa banyak yang orang lain miliki, seberapa banyak yang orang lain butuhkan, dan juga seberapa banyak yang orang lain inginkan.

Budaya kelangkaan dan tidak pernah merasa cukup akhirnya menghasilkan satu hal: kebiasaan membanding-bandingkan.

Yang membuat kebiasaan membanding-bandingkan ini jadi sangat sia-sia adalah seringkali saya membanding-bandingkan kehidupan saya, keluarga saya, dan orang-orang di sekitar saya dengan gambaran kesempurnaan yang didorong oleh media. Atau terkadang  saya membandingkan realitas hidup saya dengan khayalan saya sendiri akan betapa hebatnya kehidupan orang lain.

Brene Brown juga mengutarakan bentuk berbahaya lain dari membanding-bandingkan: nostalgia. Membandingkan diri saya dengan kehidupan saya dulu (yang sudah diperindah dan dihilangkan bagian buruknya), itulah nostalgia. Sampai akhirnya saya berujar, “Wah, waktu masih sekolah dulu hidup saya….” atau “Hidup saya dulu sangatlah….”

4

Asal-muasal budaya budaya kelangkaan

Dari mana sebenarnya asal pikiran kelangkaan? Jawaban untuk setiap orang bisa jadi berbeda-beda. Brene Brown menyarankan untuk mempertanyakan 3 hal ini untuk mengetahuinya:

  1. Rasa malu:
  • Apakah takut dipermalukan dan dikecilkan itu digunakan untuk mengatur orang-orang?
  • Apakah rasa takut dipermalukan ini digunakan juga untuk membuat orang-orang mengikuti aturan?
  • Apakah harga diri itu ditentukan oleh prestasi, pencapaian, dan produktivitas?
  • Apakah masyarakat terbiasa menyalahkan orang lain dan mencari kambing hitam?
  • Apakah masyarakat terbiasa menjatuhkan dan mengejek orang lain?
  • Apakah masyarakat terbiasa memfavoritkan orang tertentu?
  • Apakah perfeksionis menjadi masalah?
  1. Membanding-bandingkan:
  • Persaingan yang sehat itu sangat bermanfaat, namun apakah ada desakan untuk selalu membandingkan dan me-ranking?
  • Apakah kreativitas terhambat?
  • Apakah masyarakat mengukur diri dan orang lain dari standar yang sempit dan mengabaikan bakat dan kontribusi unik dari setiap orang (dan juga dirinya sendiri)?
  • Apakah ada satu bentuk cara hidup ideal yang kita gunakan untuk mengukur harga diri setiap orang?
  1. Ketidakterikatan:
  • Apakah orang-orang takut untuk mengambil risiko atau melakukan hal-hal baru?
  • Apakah lebih nyaman bagi kita untuk tetap diam daripada berbagi cerita, pengalaman, dan ide-ide?
  • Apakah kita merasa tidak ada orang yang benar-benar memperhatikan dan mendengarkan kita?
  • Apakah semua orang berusaha keras untuk bisa terlihat dan didengar?

Nurani jujur dari diri kita sendiri yang bisa menjawabnya. Jawaban ya dari rentetan pertanyaan tersebut menunjukkan bahwa budaya kelangkaan dan tidak pernah merasa cukup sudah melanda di masyarakat.

5

Apa solusi dari masalah terlalu memperhatikan tanggapan orang lain ini?

Kalau masalahnya ternyata ada pada kelangkaan, apakah solusinya itu keberlimpahan? Brown menyanggahnya. Ia berpendapat bahwa kelangkaan dan keberlimpahan adalah 2 sisi dari koin yang sama.

Solusinya ada pada perasaan sepenuh hati. Brown menjelaskan cara menjadi sepenuh hati: kemauan untuk mendekap erat kerapuhan diri kita dan kemampuan diri kita untuk terhubung dengan dunia dengan perasaan bahwa diri ini berharga.

Saya sendiri memaknai solusi Brown ini dengan 2 sifat: jujur dan berani. Bagi saya, jujur adalah jujur pada diri sendiri, terutama jujur pada perasaan diri sendiri.

Sebagai manusia, di dalam diri saya melekat berbagai perasaan negatif. Kesal, sesal, dendam, sebal, iri, sombong, rendah diri, ingin pamer, ingin terlihat baik, ingin merasa benar. Perasaan negatif ini ada setiap saat hanya saja sering saya tidak menyadarinya. Menyangkal perasaan seperti ini hanya akan membuatnya semakin besar.

Arti dari jujur bagi saya adalah merangkul perasaan negatif tersebut dan mengakuinya sebagai bagian dari diri kita. Namun ini saja tidak cukup, saya perlu berani menghadapi konsekuensinya.

Setelah mengakui perasaan iri, apakah saya tetap ingin memakai topeng di depan orang lain? Atau saya berani memilih untuk bertindak apa adanya?

Setelah mengakui rasa sombong, apakah saya tetap mengacuhkan orang-orang di rumah saat kumpul bersama? Apakah saya memutuskan untuk mengabaikan mereka dengan menatap gadget dan mengobrol dengan “orang-orang yang sebenarnya jauh?”

Atau saya berani untuk berbagi cerita dengan ibu dan adik-adik dan menanyakan perasaan dan pengalaman mereka?

Saat saya merasa bahwa saya ini inferior, apakah saya akan mencari-cari alasan dan kambing hitam atas kondisi saya? Apakah saya akan melampiaskannya dengan mengejek dan merendahkan pilihan hidup orang lain? Apakah saya akan berpura-pura pada dan menyalahkan diri sendiri?

Atau saya memilih untuk berani mengambil keputusan terbaik yang saya punya? Saat saya gagal, apakah saya berani untuk tidak menyalahkan diri dan memberi diri saya kesempatan kedua untuk bertindak? Apakah saya memilih untuk berani menyapa orang lain dan memulai percakapan?

Memilih untuk jujur dan berani itu sulit, rasanya sangat tidak nyaman. Namun sejauh ini, itulah solusi yang saya punya untuk melawan rasa lelah karena terus-menerus terkungkung pada pertanyaan:

“Apa yang harus saya takutkan?” dan “Siapa yang harus saya salahkan?”

Hidup itu pilihan. Kita akan selalu mengambil keputusan terbaik dari pilihan-pilihan yang kita punya. Hanya saja seringkali saya tidak menyadarinya. Apa yang saya rasakan di balik keputusan saya justru sama pentingnya dengan apa yang saya lakukan.

Sadar untuk jujur dan berani itulah pilihan tidak nyaman yang memberikan hasil terbaik.  Ini yang membuat saya tidak terjebak dengan ketakutan akan “Apa kata orang nanti?”