Dalam pengasuhan, salah satu faktor yang perlu diperhatikan adalah perkembangan moral anak. Kohlberg menyusun tahapan perkembangan moral anak berdasarkan teori Piaget. Setelah itu, Thomas Lickona mengembangkan lagi teori ini hingga dapat diterapkan secara konkret oleh orang tua dan guru.
Dalam buku Pendidikan yang Patut dan Menyenangkan, Ratna Megawangi menjabarkan penerapan teori ini agar dapat diterapkan dalam bentuk pendidikan karakter.
Tahap 1: Berpikir Egosentris (Self Oriented Morality): 1 – 4 atau 5 tahun
Anak pada usia ini cenderung egois. Sulit bagi anak usia ini untuk berbagi mainan dengan teman-temannya. Oleh karena itu, sekolah yang baik harus menyiapkan lebih dari satu mainan yang jenisnya sama. Dengan begitu tidak ada konflik antarteman di sekolah.
Walau begitu, anak pada usia ini sudah dapat diperkenalkan sopan santun dan juga perbuatan baik-buruk. Anak pada usia ini cukup sulit diatur sehingga memerlukan kesabaran orang tua.
Lickona mengatakan bahwa selain egois, anak pada tahap ini juga senang melanggar aturan, memamerkan diri, dan senang memaksakan keinginannya. Bahkan terkadang anak melakukan hal ini secara manipulatif dan berbohong. Namun anak pada tahap ini bisa memahami kaid
Guru sebaiknya melakukan 3 hal ini:
- memberi insentif agar anak berperilaku baik (misalnya dengan pujian),
- memberikan arahan yang jelas tentang wujud perbuatan baik (misalnya anak yang baik tidak memukul temannya), serta
- memberikan aturan dan sanksi yang jelas (misalnya anak yang berteriak tidak sopan tidak akan diberi kesempatan menggambar di papan tulis)
Cara ini efektif karena anak-anak pada tahap egosentris akan menurut selama kepentingannya dapat terpenuhi.
Anak-anak pada tahap ini juga sudah bisa berempati. Oleh karena itu, cukup efektif bila seorang anak diajarkan untuk melihat dari perspektif orang lain. Misalnya saja dengan mengatakan, “Ibu akan sedih kalau kamu berbohong,” atau “Ibu guru akan sangat senang kalau kamu mau membantu ibu untuk tidak berteriak di dalam kelas.”
Penting untuk diingat bahwa tahapan moral yang egosentris ini sangatlah normal pada anak-anak usia ini. Para pendidik perlu mengerti bahwa anak-anak pada usia ini agak sulit ditangani, namun ini tidak akan berlanjut lama.
Tahap 2: patuh tanpa syarat (authority-oriented morality): usia 4 ½ – 6 tahun
Anak-anak pada tahap ini lebih mudah menurut dan diajak kerja sama. Oleh akrena itu anak mau mengerjakan perintah orang tua maupun guru. Namun ada kalanya anak-anak usia ini masih menunjukkan perilaku anak-anak tahap 1. Hal ini menandakan perkembangan moral anak tersebut belum optimal.
Lickona mengungkapkan bahwa ciri khas perekembangan moral pada tahap patuh tanpa syarat adalah:
- dapat menerima pandangan orang lain, namun pandangan yang dianggap benar adalah pandangan orang dewasa
- bisa menghormati otoritas orang tua atau guru
- menganggap orang dewasa itu mahatahu dan mampu melihat kawannya yang nakal atau melanggar aturan
- senang mengadukan temannya yang nakal karena menganggap orang dewasa itu satu-satunya panutan moral. Anak-anak pada tahap ini menganggap bahwa yang melanggar peraturan harus dihukum dan anak yang baik harus diberi hadiah
- walau mereka berpikir bahwa mereka harus mematuhi aturan, jika tak ada orang dewasa/guru yang melihat, mereka cenderung melanggarnya. Mereka belum mengerti mengapa peraturan dibuat
Tahap 3: Masa “Balas-Membalas” (Exchange Stage): usia 6 ½ – 8 tahun
Lickona mengatakan bahwa pada tahap ini, sikap egois anak masih menonjol. Selain untuk kepentingan pribadi, alasan anak berbuat baik adalah sebagai balasan dari perbuatan orang lain. Prinsip anak tahap ini: “saya harus berbuat baik pada orang-orang yang berbuat baik pada saya.”
Ciri-ciri perkembangan moral anak pada tahap ini adalah:
- anak-anak merasa bahwa mereka juga memiliki hak seperti orang dewasa
- anak-anak merasa memiliki keinginan untuk mandiri
- tidak lagi berpikir bahwa orang dewasa bisa memerintah anak-anak
- mempunyai konsep keadilan yang kaku, yaitu balas-membalas. Ia berbuat baik hanya pada orang yang berbuat baik padanya, begitu juga dalam membalas perbuatan buruk
- memahami perlunya berperilaku baik sebagai cara agar disenangi orang lain
- sering membanding-bandingkan dan meminta perlakuan adil. Selain itu ia juga cenderung melanggar perintah kalau tidak mendapat hal yang ia anggap adil
- berpotensi untuk bertindak kasar dan bisa bersikap tidak sensitif terhadap perasaan orang lain. Akibatnya otoritas orang dewasa di mata anak semakin turun. Hal ini terjadi karena pada tahap ini anak masih kesulitan melihat dari sisi orang lain (anak masih egosentris)
- kurang bisa melihat tindakan yang salah kecuali kalau melihat hasilnya yang membahayakan. Anak juga sering beranggapan bahwa berbohong atau curang itu diperbolehkan
- lebih banyak terlibat perkelahian dan saling mengejek dengan teman-temannya karena beranggapan bahwa segala sesuatu harus dibalas
Mengajarkan moral pada anak tahap ini dapat memakai kecenderungan prinsip timbal balik mereka. Misalnya dengan peraturan, “Kamu harus melakukan itu kalau saya melakukan ini untuk kamu.”
Anda juga dapat melakukan negosiasi untuk mendapat kesepakatan yang dianggap adil baik oleh anak dan juga Anda. Namun sebagai orang tua/pendidik, Anda harus memberikan pengertian agar mereka dapat mencapai perkembangan moral tahap berikutnya.
Jika tidak, anak hanya berpikir prinsip timbale balik dan balas-membalas sampai ia dewasa. Tentu kita tahu sama tahu banyaknya orang dewasa yang tahapan moralnya baru sampai tahap ini!
Untuk itu, Lickona menganjurkan orang tua/pendidik untuk melakukan hal-hal berikut ini agar anak bisa berkembang ke tahap berikutnya:
Tahap 4: memenuhi harapan lingkungan (peer-oriented morality): 8-13/14 tahun
Pada tahap sebelumnya, kebenaran ditentukan oleh figur otoritas. Sementara pada tahap ini kebenaran ditentukan oleh teman sebayanya. Kohlberg menyebutnya dengan tahap “anak baik” (good boy/good girl stage).
Anak-anak pada tahap ini ingin diterima oleh teman-temannya sehingga tindakannya cenderung ingin disesuaikan dengan harapan teman sebayanya. Walau pada tahap ini anak sudah paham moral baik dan buruk, namun faktor dominan yang mendorong anak berbuat baik adalah keinginan untuk dikatakan sebagai “anak baik” oleh lingkungannya.
Lickona mengatakan tahap ini dapat berlangsung pada usia 8 ½ – 14 tahun. Menurutnya, ciri khas perkembangan pada tahap ini adlaah:
- anak ingin mendapat penghargaan sosial dari orang lain. Ia mau berbuat sesuatu dnegan tujuan orang lain berpikir “dia ini anak yang baik.”
- sudah dapat mengerti konsep golden rules: “harus memperlakukan orang lain seperti kamu mengharapkan orang lain memperlakukan kamu”
- dapat mengerti apa yang dibutuhkan orang lain, tidak semata-mata berpikir “apa yang bisa saya peroleh.” Jika anak bisa menempatkan dirinya pada posisi orang lain, anak bisa melakukan kebaikan
- bisa menerima otoritas orang tua dan berpikir: “orang tua itu bijak dan saya perlu mengikuti nasihatnya”
- bisa menerima tanggung jawab dan melakukannya untuk kepentingan keluarganya karena anak sudah memiliki perspektif sebagai anggota dari kelompok
- karena orientasi anak pada tahap ini adalah diterima kawannya, maka anak cenderung kurang percaya diri. Hal ini terutama terjadi pada masa awal pubertas. Dampaknya adalah anak rentan terjerumus pada hal-hal negatif untuk diterima kawannya
- sudah mulai mempunyai nurani (rasa bersalah dan malu), namun belum mantap karena masih mudah terpengaruh oleh lingkungan luarnya, terutama yang berkaitan dengan konsep diri yakni anak ingin diterima oleh lingkungannya
Lickona memberi tips pada orang tua dan pendidik untuk membantu anak pada tahap ini agar dapat meningkatkan perkembangan moral ke tahap selanjutnya.
- Memelihara hubungan baik daengan menjalin komunikasi dengan anak, ikut membantu dalam pemecahan masalah anak, dan membantu anak untuk menemukan identitas diri
- Membantu membangun konsep diri yang positif, yakni dengan cara:
- Tidak membanding-bandingkan anak dengan kawannya
- Beri penghargaan pada perilaku positif yang anak lakukan
- Dorong anak untuk mencari teman-teman yang baik
- Bantu anak untuk mengembangkan hobi dan kemampuannya
- Bantu anak menghilangkan kebiasaan mengecilkan orang lain
- Diskusikan masalah moral
- Menyeimbangkan antara memberi kebebasan terhadap anak dengan mengontrol tindakan anak
- Gunakan kekuasaan yang Anda miliki berdasarkan cinta kasih
- Katakana “ya” atau “tidak” kalau diperlukan, namun beri anak kesempatan untuk memilih
- Beri anak kesempatan untuk menolak dengan cara yang baik
- Jangan berlebihan dalam menimbulkan rasa bersalah ketika anak berbuat salah. Hal ini dapat menimbulkan citra diri yang negatif
- Gunakan kontrol secara tidak langsung. Beri kebebasan pada anak namun jelas batasannya. Misalnya dengan mengatakan, “Boleh bermain, tapi tetap di dalam rumah,” atau “Boleh memakai baju yang kamu suka, asalkan rapi.” Dengan begitu anak tidak merasa terlalu dikekang