Anak Autis Ini Berhasil Diterapi Hingga Mampu Belajar Sampai Lulus S3

Anak yang mengidap autis memiliki bakat yang terpendam, seringkali mengejutkan, jika kita membiarkan anak itu tumbuh sesuai fitrahnya. Dalam tulisannya Renungan Pendidikan #75, Harry Santosa mengisahkan kehidupan seorang wanita yang berhasil diterapi dengan tepat. Hasilnya mengagumkan, anak ini berhasil lulus sampai jenjang S3.

Temple Grandin, seorang wanita muda bergelar Ph.D, hadir dalam sebuah seminar yang dihadiri psikolog dan para orangtua yang anak anaknya mengidap autis. Grandin melihat kebingungan dan kepanikan para orangtua apalagi ketika ada psikolog.yang mengatakan anak autis harus dikurung.

Grandin tiba tiba berdiri dari tempat duduknya, dan berbicara dengan lugas. “Biarkan anak autis berputar – putar dan berguling – guling di alam terbuka, itu bagus baginya, karena akan mengurangi tekanan psikologis yang dialami mereka”.

Ruangan menjadi senyap, semua mata menoleh kepadanya. Seorang bertanya, “Apa anda punya anak?”
Grandin menjawab, “Saya belum menikah”.
Lalu seisi ruangan bergemuruh, seolah menggerutu, bagaimana mungkin seorang yang belum punya anak bisa bicara menasehati seperti itu tentang autis.

Grandin paham situasi, dengan lantang dia berkata, “Nama saya Grandin, saya seorang Ph.D dan saya seorang yang mengalami autistik sejak kecil dan tidak bisa bicara sampai usia 4 tahun sehingga ibu saya harus menterapi bicara”.

Lalu seisi ruangan nampak kembali bergemuruh, kali ini hadirin sangat takjub luar biasa. Bagaimana bisa seorang Autis meraih Ph.D?

Ada yang bertanya, “Apa anda sudah sembuh dari Autis?”

Grandin menjawab,

“Tidak, sampai hari ini saya masih mengidap Autis. Namun ibu saya sangat shabar mendidik saya. Memasukkan saya ke sekolah menengah biasa ketika beranjak remaja, namun meminta sekolah agar saya hanya fokus pada pelajaran sains yang saya sukai dan mengabaikan pelajaran yang lain. Pihak sekolah dengan bijak memberikan saya mentor seorang pakar sains yang sangat kreatif dan peduli sehingga saya jadi kreatif”

“Lalu ibu saya, ketika masa liburan panjang, mengirim saya ke peternakan, ke rumah bibi saya yang juga sangat shabar. Membiarkan saya apa adanya, berguling di lumpur, berputar putar di tali ayunan, bermain sepuasnya di alam termasuk bermain dengan sapi. Namun ibu dan bibi saya selalu dengan shabar memberitahu tentang bagaimana adab dan sopan santun. Anda tahu anak autis tidak suka basa basi, tidak suka menatap mata, membenci bila bersentuhan apalagi harus berpelukan.”

“Saya akhirnya mau masuk perguruan tinggi, walau awalnya menolak. Itu karena tertarik dengan sapi. Selama di peternakan bibi saya, menginspirasi saya untuk mendalami peternakan khususnya sapi.”

Lalu Grandin menceritakan bagaimana beratnya masa masa belajar dan bersosial di kampus. Sudah pasti dia dianggap makhluk aneh karena Grandin sangat sensitif terhadap suara dan visual. Misalnya Grandin takut luarbiasa dengan pintu geser otomatis, karena imajinya berlebihan sehingga menganggap rolling door akan mencelakakannya. Grandin juga jijik dengan pelajaran bahasa Perancis, karena dalam imajinya banyak kata kata dalam bahasa Perancis yang berpola kepada ikan.

Namun demikian Grandin sangat ekselen dan detail dalam membuat riset, bisa menghafal satu halaman penuh buku hanya dengan melihat sekilas dsbnya. Grandin juga mampu membedakan pola suara dan pola gerakan sapi yang sedih, marah dsbnya ketika membuat riset di peternakan.

Semua ditempuh dengan keshabaran dan dukungan penuh keluarga, walau ketika kuliah Grandin hidup sendiri di asrama dan ditemani roommate nya yang juga setia mendukung namun buta. Keluarganya, terutama ibunya selalu punya strategi dan seni untuk membuat Grandin mandiri dan fokus pada minatnya.

Grandin akhirnya sukses menjadi manusia yang memiliki peran sebagai perancang kandang dan peternakan yang karya karyanya banyak memberi manfaat dan merubah cara para cowboy memperlakukan ternak. Grandin tetap seorang yang atutistik, namun sisi cahaya kekuatannya yang membesar, sisi keterbatasannya menjadi tidak relevan.

Kisah Grandin di atas, bukan satu satunya. Ada ratusan anak anak Autis yang bahagia dan memiliki peran dan karya manfaat ketika mereka dewasa.

Mereka, para anak autis yang akhirnya punya karya manfaat itu, menjadi saksi hidup akan tiga hal.

Yang pertama, bahwa setiap anak yang dilahirkan ke muka bumi pasti ditakdirkan memiliki peran yang memberi manfaat bagi kehidupan manusia dan alam semesta apabila dididik sesuai fitrahnya, baik fitrah keimanan, fitrah bakat, fitrah belajar, fitrah sosial dsbnya. Interaksi keunikan fitrah diri dengan fitrah alam melallui belajar bersama alam dan bersosial langsung dengan kehidupan nyata akan sangat baik.

Yang kedua, dukungan dan keyakinan penuh dari orangtua, lingkungan dan teman untuk menerima mereka apa adanya dan fokus pada sisi cahayanya bukan sibuk pada sisi keterbatasannya.

Ibu Grandin adalah orang yang sangat meyakini fitrah anak anaknya dan yakin bahwa Tuhan menciptakan Grandin pasti dengan maksud dan tujuan, dan semua well installed dalam potensi fitrah tiap anak sejak lahir. Orangtua hanya perlu telaten menggali dan membangkitkannya. Adab ditumbuhkan sepanjang proses mendidik.

Yang ketiga adalah dukungan komunitas, termasuk keluarga dan lembaga pendidikan yang mempersilahkan anak tumbuh sesuai fitrah keunikannya bukan penyeragaman akademis dan pemberhalaan kognitif. Para maestro harus urun tangan untuk mendampingi anak anak muda sesuai fitrah bakatnya, sebagaimana Guru Sains nya Grandin.

Grandin hanyalah contoh anak yang punya kekuatan dan sekaligus keterbatasannya, sama seperti manusia manapun di dunia. Potensi Grandin berupa sensitifitasnya pada suara dan penglihatan berujung pada karya, walaupun potensinya itu menjadikannya nampak aneh pada sosialnya. Tulisan ini tidak mendorong orangtua agar anaknya kelak meraih PhD., tetapi mendorong agar anak tumbuh sesuai fitrahnya dengan fokus pada kekuatannya bukan pada keterbatasannya.

Maka wahai ayah bunda, yakinlah pada fitrah penciptaan anak anak kita, biarkan mereka tumbuh mekar indah sesuai fitrahnya, jangan sekali kali mendahului takdir Allah dengan mengatakan anakku tidak punya masa depan karena bodohnya dan nakalnya setengah mati. Ingat, sibukkanlah dengan sisi cahaya anak kita bukan sisi gelapnya.