Benarkah Mengumumkan Mimpi ke Orang-Orang Akan Membantu Kita untuk Mewujudkannya?

Dalam surat Yusuf ayat 4-5, Allah mengisahkan cerita tentang curhat Yusuf kepada ayahnya, Yakub, bahwa ia bermimpi bahwa alam ini akan tunduk kepada Yusuf. Namun, sang ayah yang juga seorang rasul meminta Yusuf untuk tidak menceritakan mimpi ini kepada orang lain. Nanti saudara-saudaranya, yang tertipu bisikan setan, akan menjadi iri dan terbujuk rayuan setan untuk mencoba membunuhnya.

Kita bukanlah nabi. Allah tidak akan berbicara langsung kepada kita untuk menunjukkan masa depan kita, ataupun mimpi kita. Namun kita memiliki mimpi-mimpi, target yang ingin kita capai. Trendnya saat ini, banyak orang yang menyarankan agar kita mengumumkan kepada orang-orang mimpi-mimpi kita.

Malah ada yang menyarankan agar kita mengumumkan kepada sebanyak mungkin orang agar kita semakin termotivasi untuk meraih mimpi itu. Benarkah? Kalau memang benar, berarti terjemah atas 2 ayat tersebut salah. Ternyata ada penelitian yang menunjukkan bahwa sebaiknya kita tidak mengumumkan mimpi-mimpi kita.

Penelitian tentang motivasi dalam bermimpi

Psikolog New York University Peter Gollwitzer melakukan beberapa percobaan untuk mencari tahu apakah mengumumkan mimpi akan membantu kita mewujudkannya. Contoh percobaan yang mereka lakukan seperti ini: psikolog merekrut sekelompok mahasiswa jurusan hukum lalu meminta mereka menilai sekumpulan pernyataan dari “sangat setuju” hingga ke “sangat tidak setuju.” Pernyataan yang diajukan seperti “saya akan memanfaatkan sebaik mungkin kesempatan belajar di bidang hukum.”

Beberapa mahasiswa mengerjakannya diam-diam lalu mengumpulkan kuesioner tersebut secara anonim sementara yang lain membahasnya bersama psikolog yang menemaninya. Gagasannya adalah menciptakan versi laboratorium dari mengumumkan ke publik, yakni mengenali orang-orang yang membuat hasrat belajar diketahui orang dan orang-orang yang memendam hasrat mereka.

Setelah itu, peneliti membuat simulasi untuk mengukur usaha mahasiswa yang sebenarnya. Peneliti meminta para mahasiswa untuk membantu dalam sebuah proyek menganalisis 20 kasus hukum yang sangat sulit. Mahasiswa diminta untuk bekerja sekeras mungkin, tapi mereka juga diberi tahu bahwa mereka dapat berhenti kapan pun mereka mau. Psikolog mengukur hasil kerja sebenarnya dari kedua kelompok, yang mengumumkan dengan yang tidak.

Hasilnya sangat jelas. Walaupun semua mahasiswa memiliki komitmen yang tinggi dalam mengejar kariernya di bidang hukum, hanya mereka yang merahasiakan mimpi bekerja cukup keras untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Orang-orang yang mengumumkan keinginannya, gagal untuk melakukan hal-hal yang diperlukan untuk mencapai targetnya. Mahasiswa-mahasiswa ini ngomong, tapi ketika kesempatan untuk mewujudkannya datang, mereka menghindarinya.

Mengapa hal ini terjadi? Gollwitzer berpendapat hal ini berhubungan dengan perasaan akan keutuhan identitas diri. Kita semua ingin menjadi orang yang ideal dan mengumumkan niat akan bekerja keras menjadi semacam aksi simbolis kita.

Hal tersebut melengkapi diri kita, yang dalam kasus ini: “saya seorang pengacara, ahli hukum.” Aksi simbolis ini membuat mereka merasa telah melakukan sesuatu, padahal belum ada hal konkret yang mereka kerjakan untuk menggapai keinginannya. Sebelum mulai bekerja, mahasiswa yang membuat aksi simbolis ini merasa sudah melakukan sesuatu dan kurang merasa perlu untuk bekerja keras.

Psikolog melakukan percobaan lain untuk mengetahui apakah hal ini mendasari dinamika psikologi di dunia kerja. Peneliti ini meminta para mahasiswa untuk menuliskan 3 hal spesifik yang akan mereka lakukan untuk membantu mereka menjadi pengacara yang sukses. Jawaban yang sering muncul,”saya akan rutin membaca literatur hukum.” Seperti pada percobaan sebelumnya, beberapa mahasiswa memberi tahu yang lain tentang strategi mereka sementara yang lain tidak.

Lalu mereka diberikan tes yang tidak biasa. Mereka diberikan 5 foto hakim agung, ukurannya beragam. Mereka ditanya, “Foto manakah yang paling membuatmu merasa menjadi ahli hukum?” Mereka harus menjawab dengan memilih salah satu foto. Tes ini menguji alam bawah sadar mahasiswa. Semakin besar gambar yang kamu pilih, kamu merasa semakin utuh. Gagasannya adalah untuk melihat bagaimana mengumumkan (atau tidak mengumumkan) keinginan mereka membuat mereka merasa seperti icon hukum modern.


Sesuai dengan teori Gollwitzer, mahasiswa hukum yang mengumumkan rencana mereka untuk membaca jurnal hukum dan sejenisnya cenderung memilih foto yang paling besar. Maknanya, hanya dengan menyatakan strategi untuk menjadi pengacara yang sukses sudah membuat mereka merasa menjadi pengacara sesungguhnya. Namun citra diri ini justru membuat mereka kurang bekerja keras. Mereka telah menjadi icon hukum dalam pikiran mereka sehingga tidak perlu lagi berpayah-payah bekerja.

Begitulah hasil penelitian yang dilakukan Gollwitzer, jika Nabi Yusuf mendapat cobaan melalui saudara-saudaranya (sulit bagi setan untuk menggoda Yusuf, beliau levelnya sudah mampu menolak wanita cantik yang sudah mau di”apa-apa”kan), maka bagi kita justru diri kita sendiri yang menggagalkannya.

Dengan berbicara kita merasa sudah melakukan hal yang mendekatkan diri kita dengan mimpi kita, padahal justru kita belum berusaha. Mungkin baiknya seperti Yusuf, sebaiknya kita hanya membagi mimpi kita dengan orang-orang yang kita percayai.