Tidak hanya di luar negeri saja terjadi kasus orang hilang atau pun peristiwa yang tetap menjadi misteri baik itu motif, atau pun siapa pelaku atas berbagai kasus-kasus yang menjadi misteri dan tak terpecahkan (sengaja ditutupi) hingga kini.
Berikut dibawah ini adalah beberapa kasus besar yang hingga kini tetap masih menjadi misteri di Indonesia dan belum tuntas penyelesaiannya baik secara hukum maupun keberadaan fisik ataupun siapa pelaku sebenarnya.
Kasus Pembunuhan Aktifis HAM Munir (Tahun 2004)
Pada saat pembunuhan itu terjadi, Munir sebenarnya akan melanjutkan study S2 di Univeritas Utrecht, Belanda.Dalam kronologi kasus pembunuhan aktivis HAM tersebut disebutkan bahwa menjelang memasuki pintu pesawat.
Munir bertemu dengan Polycarpus seorang pilot pesawat Garuda yang sedang tidak bertugas dan Polycarpus menawarkan kepada Munir untuk berganti tempat duduk pesawat dimana Munir menempati kursi Polycarpus dikelas bisnis dan Polycarpus menempati kursi Munir dikelas ekonomi.
Sebelum pesawat mengudara, Pramugari Yetti Susmiarti dibantu Pramugara senior Oedi Irianto membagikan welcome drink kepada para penumpang dan Munir memilih Jus Jeruk. Pukul 22.05 WIB, pesawat lepas landas dan 15 menit kemudian kembali Pramugari membagikan makanan dan minuman kepada para penumpang.
Munir pun memilih mie goreng dan kembali memilih jus jeruk sebagai minumannya. Setelah mengudara hampir 2 jam, pesawat mendarat di bandara Changi Singapura.
Di bandara Changi, Munir menghabiskan waktu di sebuah gerai kopi sedangkan seluruh awak pesawat termasuk Polycarpus berangkat menuju hotel menggunakan bus dan sejak perjalanan dari Singapura menuju Belanda, seluruh awak pesawatnya berbeda dari perjalanan Jakarta menuju Singapura.
Dalam perjalanan Singapura-Belanda, Munir meminta kepada Pramugari Tia Ambarwati segelas teh hangat dan Tia pun menyajikan segelas teh hangat yang dituangkan dari teko ke gelas diatas troli dilengkapi gula sachet. Tiga jam setelah mengudara, Munir bolak balik ke toilet.
Ketika berpapasan dengan seorang Pramugara bernama Bondan, Munir memintanya memanggil Tarmizi, seorang dokter yang ia kenal saat hendak berangkat yang kebetulan juga menuju Belanda, Tarmizi melakukan pemeriksaan umum dengan membuka baju Munir.
Dia lalu mendapati bahwa nadi di pergelangan tangan Munir sangat lemah. Tarmizi berpendapat Munir mengalami kekurangan cairan akibat muntaber. Munir kembali lagi ke toilet untuk muntah dan buang air besar dibantu pramugari dan pramugara.
Setelah selesai, Munir ke luar sambil batuk-batuk berat.Tarmizi menyuruh pramugari untuk mengambilkan kotak obat yang dimiliki pesawat.
Kotak pun diterima Tarmizi dalam keadaan tersegel. Setelah dibuka, Tarmizi berpendapat bahwa obat di kotak itu sangat minim, terutama untuk kebutuhan Munir: infus, obat sakit perut mulas dan obat muntaber, semuanya tidak ada. Tarmizi pun mengambil obat di tasnya.
Dia memberi Munir dua tablet obat diare New Diatabs; satu tablet obat mual dan perih kembung, Zantacts dan satu tablet Promag. Tarmizi menyuruh pramugari membuat teh manis dengan tambahan sedikit garam.
Namun, setelah lima menit meminum teh tersebut, Munir masih juga kembali ke toilet. Tarmizi menyuntikkan obat anti mual dan muntah, Primperam, kepada Munir sebanyak 5 ml.
Hal ini berhasil karena Munir kemudian tertidur selama tiga jam. Setelah terbangun, Munir kembali ke toilet. Kali ini dia agak lama, sekitar 10 menit, ternyata Munir telah terjatuh lemas di toilet.
Dua jam sebelum pesawat mendarat, terlihat keadaan Munir: mulutnya mengeluarkan air yang tidak berbusa dan kedua telapak tangannya membiru. Awak pesawat mengangkat tubuh Munir, memejamkan matanya dan menutupi tubuh Munir dengan selimut. Ya, Munir meninggal dunia di pesawat, di atas langit Negara Rumania.
Setelah dilakukan penyelidikan termasuk oleh pihak otoritas Belanda ditemukan bahwa didalam tubuh Munir ditemukan kandungan racun Arsenik sebanyak 460mg didalam lambungnya dan 3.1mg/l dalam darahnya.
Namun terdapat keanehan setelah dilakukan otopsi oleh pihak RS Dr Soetomo, dimana kandungan arsenik yang ditemukan didalam lambung Munir sedikit ganjil karena seharusnya kandungan arsenik tersebut sudah hancur/melarut.
Hal ini terkesan mempertegas spekulasi jika kandungan arsenik dalam tubuh Munir baru dimasukkan ketika jenazahnya sudah di Indonesia. Spekulasi ini juga diperkuat dengan permintaan mereka (pihak RS) untuk menahan lebih lama organ tubuh Munir.
Spontan ini juga menimbulkan indikasi bahwa hal itu dilakukan agar organ tubuh Munir bisa dipersiapkan (dimark-up) agar benar-benar akan terkesan keracunan arsenik ketika diperiksa oleh pihak lain.
Disebutkan juga ciri-ciri korban yang keracunan arsenik, antara lain: ada pembengkakan otak, paru paru yang mengalami kerusakan, mulut keluar darah karena indikasi kerusakan sistem pencernaan. Ketika arsenik masuk kedalam tubuh (dan racun mulai bekerja), biasanya korban mengalami muntaber berat disertai kejang-kejang.
Apapun itu penyebab kematian aktivis HAM tersebut, namun hingga kini tampaknya kasus tersebut belum tuntas walaupun ada beberapa orang yang telah dijatuhi vonis oleh pengadilan namun Suciwati selaku istri Munir tetap merasa tidak puas dan meminta pemerintah menuntut secara tuntas kasus kematian suaminya.
Apakah ini tindakan kontra intelijen ataupun sebuah operasi pembunuhan oleh intelijen? tidak ada yang mengetahui kejadian sebenarnya kecuali mungkin para pelaku utama pemberi perintah untuk membunuh sang aktivis.
Namun yang pasti didalam sebuah kasus pembunuhan terencana harus ada motif dan tujuan dari melenyapkan seseorang, apakah pihak dinas intelijen RI begitu bodoh untuk membunuh seseorang yang secara aktif mengkritisi berbagai persoalan HAM di indonesia dan jika ia dihilangkan secara paksa pasti mata dan tuduhan internasional pasti akan mengarah kepada pemerintah Indonesia, dan pihak militer serta badan intelijennya, atau mungkin ada beberapa pihak yang telah gelap mata akibat sikap kritis dari Munir yang membuat mereka mengambil keputusan untuk menghabisinya, sebuah misteri yang belum terungkap hingga kini.
Kasus Kaburnya Koruptor Edi Tansil (Tahun 1996)
Edy Tansil adalah seorang pengusaha sukses keturunan Cina yang memiliki nama asli Tan Tjoe Hong/Tan Tju Fuan yang menjadi narapidana dan harus mendekam selama 20 tahun di penjara Cipinang atas kasus kredit macet Bank Bapindo yang merugikan negara senilai 565 juta dollar (1.5 T rupiah dengan kurs dollar saat itu).
Pada tanggal 4 Mei 1996, Edy Tansil dilaporkan kabur dari penjara sehingga 20 petugas LP Cipinang dijadikan tersangka karena dianggap membantu Edy Tansil melarikan diri dan sejak itu keberadaan dari Edy Tansil seperti raib ditelan bumi.
Sebuah LSM pengawas anti-korupsi bernama Gempita melaporkan bahwa Edy Tansil tengah menjalankan bisnis sebuah perusahaan bir yang mendapat lisensi dari perusahaan bir Jerman bernama Becks Beer Company di kota Pu Tian Provinsi Fujian China.
Pada tahun 2007 Tempo interactive melaporkan bahwa tim pemburu koruptor (TPK) berdasarkan temuan dari PPATK menyatakan akan segera memburu Edy Tansil dimana PPATK menemukan bukti bahwa buronan tersebut telah melakukan transfer uang ke Indonesia setahun sebelumnya. Namun hingga kini keberadaan Edy Tansil tetap masih menjadi misteri.
Ada beberapa koruptor lainnya yang juga melarikan diri ke luar negri dan hingga kini keberadaan mereka tidak terungkap atau belum tertangkap seperti Adelin Lis, Sjamsul Nursalim, David Nusa Wijaya, Maria Pauline, Djoko S Tjandra, Marimutu Sinivasan, Hendra Rahardja, Sukanto Tanoto dan masih banyak lainnya.
Kasus Mengenaskan Sum Kuning (Tahun 1970)
Ini adalah kasus getir dan pahit dari seorang gadis muda bernama Sumarijem seorang gadis muda dari kelas bawah seorang penjual telur dari Godean Yogyakarta yang (maaf) diperkosa oleh segerombolan anak pejabat dan orang terpandang di kota Yogyakarta kala itu.
Kasus ini merebak menjadi berita besar ketika pihak penegak hukum terkesan mengalami kesulitan untuk membongkar kasusnya hingga tuntas. Pertama-tama Sum Kuning disuap agar tidak melaporkan kasus ini kepada polisi. Belakangan, oleh polisi tuduhan Sum Kuning dinyatakan sebagai dusta.
Seorang pedagang bakso keliling dijadikan kambing hitam dan dipaksa mengaku sebagai pelakunya.
Tanggal 18 September 1970 Sumarijem yang saat itu berusia 18 tahun tengah menanti bus di pinggir jalan dan tiba-tiba diseret masuk ke dalam sebuah mobil oleh beberapa pria, di dalam mobil Sumarijem (Sum Kuning) diberi bius (Eter) hingga tak sadarkan diri, Ia dibawa ke sebuah rumah di daerah Klaten dan diperkosa bergilir hingga tak sadarkan diri.
Kasus ini cukup pelik karena menurut Jendral Pur Hoegeng, mantan Kapolri, bahwa para pelaku pemerkosaan adalah anak-anak pejabat dan salah seorang diantaranya adalah anak seorang pahlawan revolusi.
Dalam bukunya juga disebutkan bahwa Sum Kuning ditinggalkan di tepi jalan, Gadis malang ini pun melapor ke polisi. Bukannya dibantu, Sum malah dijadikan tersangka dengan tuduhan membuat laporan palsu.
Dalam pengakuannya kepada wartawan, Sum mengaku disuruh mengakui cerita yang berbeda dari versi sebelumnya. Dia diancam akan disetrum jika tidak mau menurut. Sum pun disuruh membuka pakaiannya, dengan alasan polisi mencari tanda palu arit di tubuh wanita malang itu.
Karena melibatkan anak-anak pejabat yang berpengaruh, Sum malah dituding anggota Gerwani. Saat itu memang masa-masanya pemerintah Soeharto gencar menangkapi anggota PKI dan underbow-nya, termasuk Gerwani.
Kasus Sum disidangkan di Pengadilan Negeri Yogyakarta. Sidang perdana yang ganjil ini tertutup untuk wartawan. Belakangan polisi menghadirkan penjual bakso bernama Trimo. Trimo disebut sebagai pemerkosa Sum. Dalam persidangan Trimo menolak mentah-mentah.
Jaksa menuntut Sum penjara tiga bulan dan satu tahun percobaan. Tapi majelis hakim menolak tuntutan itu. Dalam putusan, Hakim Ketua Lamijah Moeljarto menyatakan Sum tak terbukti memberikan keterangan palsu. Karena itu Sum harus dibebaskan.
Dalam putusan hakim dibeberkan pula nestapa Sum selama ditahan polisi. Dianiaya, tak diberi obat saat sakit dan dipaksa mengakui berhubungan badan dengan Trimo, sang penjual bakso. Hakim juga membeberkan Trimo dianiaya saat diperiksa polisi.
Hoegeng terus memantau perkembangan kasus ini. Sehari setelah vonis bebas Sum, Hoegeng memanggil Komandan Polisi Yogyakarta AKBP Indrajoto dan Kapolda Jawa Tengah Kombes Suswono. Hoegeng lalu memerintahkan Komandan Jenderal Komando Reserse Katik Suroso mencari siapa saja yang memiliki fakta soal pemerkosaan Sum Kuning.
“Perlu diketahui bahwa kita tidak gentar menghadapi orang-orang gede siapa pun. Kita hanya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadi kalau salah tetap kita tindak,” tegas Hoegeng.
Hoegeng membentuk tim khusus untuk menangani kasus ini. Namanya Tim Pemeriksa Sum Kuning, dibentuk Januari 1971. Kasus Sum Kuning terus membesar seperti bola salju. Sejumlah pejabat polisi Yogyakarta yang anaknya disebut terlibat, membantah lewat media massa.
Belakangan Presiden Soeharto sampai turun tangan menghentikan kasus Sum Kuning. Dalam pertemuan di istana, Soeharto memerintahkan kasus ini ditangani oleh tim pemeriksa Pusat Kopkamtib. Hal ini dinilai luar biasa.
Kopkamtib adalah lembaga negara yang menangani masalah politik luar biasa. Masalah keamanan yang dianggap membahayakan negara. Kenapa kasus perkosaan ini sampai ditangani Kopkamtib??
Dalam kasus persidangan perkosaan Sum, polisi kemudian mengumumkan pemerkosa Sum berjumlah 10 orang. Semuanya anak orang biasa, bukan anak penggede alias pejabat negara. Para terdakwa pemerkosa Sum membantah keras melakukan pemerkosaan ini. Mereka bersumpah rela mati jika benar memerkosa.
Kapolri Hoegeng sadar. Ada kekuatan besar untuk membuat kasus ini menjadi bias.
Tanggal 2 Oktober 1971, Hoegeng dipensiunkan sebagai Kapolri. Beberapa pihak menilai Hoegeng sengaja dipensiunkan untuk menutup kasus ini.
Sum sendiri kemudian bekerja di Rumah Sakit Tentara di Semarang. Dia kemudian menikah dengan seorang pria yang sudah dikenalnya saat masih dirawat.
Tapi siapakah pelaku pemerkosaan sebenarnya dari Sum Kuning masih menjadi tanda tanya besar sampai saat ini sebab baik Sum Kuning tetap pada pendiriannya bahwa pemerkosanya adalah sekumpulan anak pejabat, di sisi lain 10 pemuda anak orang biasa yang diajukan ke pengadilan membantah habis-habisan tuduhan yang diajukan kepada mereka karena merasa dijadikan sebagai kambing hitam untuk menutupi para pelaku sebenarnya.
Sumber: Hoegeng, Oase menyejukkan di tengah perilaku koruptif para pemimpin bangsa, penerbit Bentang
Misteri Penembak Misterius/Petrus (Tahun 1982-1985)
Petrus atau juga dikenal sebagai operasi clurit dianggap oleh banyak orang sebagai sebuah operasi rahasia dimasa pemerintahan Orde Baru untuk menghabisi para Gali (Gabungan anak liar) dan Preman yang dianggap meresahkan dan mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat kala itu. Hingga kini para pelaku Petrus tidak pernah tertangkap dan tidak jelas siapa pelakunya.
Kemungkinan besar adanya operasi ini karena instruksi dari Presiden Soeharto di tahun 1982 saat memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya, Anton Soedjarwo atas keberhasilannya membongkar kasus perampokan yang meresahkan masyarakat, lalu ditahun yang sama Soeharto kembali meminta Polisi dan ABRI dihadapan RAPIM ABRI untuk mengambil langkah pemberantasan yang efektif dalam menekan angka kriminalitas.
Karena permintaan atau perintah Soeharto disampaikan pada acara kenegaraan yang istimewa, sambutan yang dilaksanakan oleh petinggi aparat keamanan pun sangat serius.
Permintaan Soeharto itu sontak disambut oleh Pangkopkamtib Laksamana Soedomo melalui rapat koordinasi bersama Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta yang berlangsung di Markas Kodam Metro Jaya tanggal 19 Januari 1983.
Dalam rapat yang membahas tentang keamanan di ibukota itu kemudian diputuskan untuk melaksanakan operasi untuk menumpas kejahatan bersandi Operasi Celurit di Jakarta dan sekitarnya. Operasi Celurit itu selanjutnya diikuti oleh Polri/ABRI di masing-masing kota serta provinsi lainnya.
Para korban Operasi Celurit pun mulai berjatuhan. Petrus pada awalnya beraksi secara rahasia, namun lambat laun aksi mereka seperti sebuah teror menakutkan bagi para bromocorah dan preman di kota-kota besar. Pada tahun 1983, Petrus berhasil menumbangkan 532 orang yang dituduh sebagai pelaku kriminal.
Dari semua korban yang terbunuh, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Tahun 1984 korban Petrus (Penembak Misterius) yang tewas sebanyak 107 orang, tapi hanya 15 orang yang tewas oleh tembakan. Sementara tahun 1985, tercatat 74 korban Petrus (Penembak Misterius) tewas dan 28 di antaranya tewas karena tembakan.
Secara umum, para korban Petrus saat ditemukan dalam kondisi tangan dan leher terikat. Kebanyakan korban dimasukkan ke dalam karung dan ditinggal di tepi jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, hutan-hutan, dan kebun.
Yang pasti pelaku Petrus terkesan tidak mau bersusah-susah membuang korbannya karena bila mudah ditemukan efek shock therapy yang disampaikan akan lebih efektif.
Sedangkan pola pengambilan para korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal atau dijemput aparat keamanan. Akibat berita yang demikian gencar mengenai Petrus yang berhasil membereskan ratusan penjahat, para petinggi negara pun akhirnya berkomentar.
Ketika berita serupa hampir tiap hari muncul di seantero Jakarta dan massa mulai membicarakan masalah penembakan misterius, Benny Moerdani sebagai Panglima Kopkamtib seusai menghadap Presiden Soeharto lalu memberi pernyataan kepada pers bahwa penembakan gelap yang terjadi mungkin timbul akibat perkelahiaan antar geng bandit. Sejauh ini belum pernah ada perintah tembak di tempat bagi peniahat yang ditangkap, komentar Benny.
Dan tak ada seorang pun wartawan yang saat itu berani melanjutkan pertanyaan kepada jenderal yang dikenal sangat tegas dan garang itu. Kepala Bakin saat itu, Yoga Soegama juga memberikan pernyataan yang bernada enteng bahwa masyarakat tak perlu mempersoalkan para penjahat yang mati secara misterius.
Tapi, pernyataan yang dilontarkan mantan Wapres H. Adam Malik justru bertolak belakang sehingga membuat kasus penembakan misterius tetap merupakan peristiwa serius dan harus diperhatikan oleh pemerintah RI yang selalu menjunjung tinggi hukum.
“Jangan mentang-mentang penjahat dekil jadinya langsung ditembak. Kalau mau, penjahat itu diadili dulu hari ini, langsung besoknya baru dieksekusi mati. Jadi syarat sebagai negara hukum sudah terpenuhi,” kecam Adam Malik.
Tindakan tegas para Penembak Misterius (Petrus) pada akhirnya memang menyulut pro dan kontra. Pendapat yang pro, Petrus pantas diterapkan kepada target yang memang jelas-jelas penjahat. Sebaliknya, pendapat yang kontra menyatakan keberatannya jika sasaran Petrus hanya penjahat kelas teri atau mereka yang hanya memiliki tato tapi bukan penjahat asli.
Pendapat atau komentar yang cukup kontroversial adalah yang dikemukakan oleh Menteri Luar Negeri Belanda, Hans van den Broek, yang secara kebetulan sedang berkunjung ke Jakarta pada awal Januari tahun 1984. Setelah bertemu dengan Menlu Mochtar Kusumaatmadja, Broek secara mengejutkan berharap bahwa pembunuhan yang telah memakan korban jiwa sebanyak 3.000 orang itu pada waktu mendatang harus diakhiri dan Indonesia juga diharapkan dapat melaksanakan konstitusi dengan tertib hukum.
Menlu Mochtar sendiri menjawab bahwa peristiwa pembunuhan misterius itu terjadi akibat meningkatnya angka kejahatan yang mendekati tingkat terorisme sehingga masyarakat merasa tidak aman dan main hakim sendiri. Atas pernyataan Menlu Belanda itu, Benny yang merasa kebakaran jenggot sekali lagi harus tampil untuk meluruskan tuduhan tadi.
Ia kembali menegaskan bahwa pembunuhan yang terjadi karena perkelahian antar geng. “Ada orang-orang yang mati dengan luka peluru, tetapi itu akibat melawan petugas. Yang berbuat itu bukan pemerintah. Pembunuhan itu bukan kebijaksanaan pemerintah,” tegasnya.
Namun persoalan penembakan itu akhirnya tidak lagi misterius meskipun para pelakunya hingga saat ini tetap misterius dan tidak terungkap. Beberapa tahun kemudian Presiden Soeharto justru memberikan uraian tentang latar belakang permasalahannya dimana ia mengatakan tindakan keamanan tersebut memang terpaksa dilakukan sesudah aksi kejahatan yang terjadi di kota-kota besar Indonesia semakin brutal dan makin meluas.
Seperti tertulis dalam bukunya Benny Moerdani hal 512-513 Pak Harto berujar: “Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatment therapy, tindakan yang tegas. Tindakan tegas bagaimana? Ya harus dengan kekerasan. Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor-dor! Begitu saja. Bukan! Tetapi yang melawan, ya mau tidak mau harus ditembak.
Karena melawan, maka mereka ditembak. Lalu ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan. Supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya.
Tindakan itu dilakukan supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampui batas perikemanusiaan. Maka kemudian redalah kejahatan-kejahatan yang menjijikkan itu.”
Namun, jika para petinggi militer maupun presiden sendiri menyatakan bahwa penembakan terhadap para preman adalah karena mereka melawan saat hendak ditangkap, bagaimana Moerdani mau menjelaskan para korban Penembakan Misterius yang ditemukan dalam goni-goni dengan tangan terikat atau yang dihanyutkan di sungai? Atas kordinasi siapakah para Penembak Misterius itu menjalankan perintah?
Kasus Kematian Peragawati Terkenal Dietje (Tahun 1980)
Di era tahun 1980an, ada seorang peragawati ternama yang cantik bernama Dietje, yang memiliki nama lengkap Dietje (Dice) Budimulyono. Dia tewas dibunuh dengan tembakan berulang kali oleh seorang yang ahli dalam menembak yang kemudian mayatnya dibuang disebuah kebun karet di daerah kalibata yang sekarang menjadi komplek perumahan DPR.
Setelah kasus tersebut marak di media massa, polisi akhirnya menangkap seorang tua renta yang nama aslinya tidak diketahui dan hanya dikenal dengan panggilan Pakde, dikenal juga sebagai Muhammad Siradjudin, konon ia adalah seorang dukun. Dengan alasan dan motif apa yang tidak jelas, ia dianggap oleh polisi sebagai pembunuh Dietje.
Bagi polisi, motif tidak begitu penting karena polisi mengungkapkan bahwa “katanya” mereka “memiliki bukti yang kuat”.
Pak De pun membantah sebagai pembunuh Ditje seperti yang tercantum dalam BAP yang dibuat polisi. Pengakuan itu, menurut Pak De dibuat karena tak tahan disiksa polisi termasuk anaknya yang menderita patah rahang.
Ketika itu, Pakde mengajukan alibi bahwa Senin malam ketika pembunuhan terjadi, dia berada di rumah bersama sejumlah rekannya. Saksi-saksi yang meringankan Pakde untuk memperkuat alibi bahwa ia tidak bersalah juga hadir di pengadilan. Namun, saksi dan alibi yang meringankan itu tak dihiraukan Majelis Hakim.
Akhirnya Pakde dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Namun, publik saat itu sudah mengetahui rumor bahwa Dietje telah menjalin hubungan asmara dengan seorang menantu dari orang paling berkuasa di Indonesia saat itu. Dan tentu saja kasus seperti ini tidak akan pernah terungkap dengan benar. Karena pemilik informasi satu-satunya kepada media atau publik berasal dari polisi.
Dan bisa jadi, publik digiring dengan sekuat tenaga, untuk meyakini bahwa benarlah yang membunuh Dietje adalah Pakde. Dietje disebutkan dipakai sebagai “pemulus” oleh seorang eks petinggi militer yang terjun ke dunia usaha.
Dan untuk memuluskan bisnisnya, dipakailah Dietje oleh sang eks petinggi militer itu untuk menyenangkan menantu orang paling berkuasa di Indonesia itu. Hasil dari jasa Dietje, sang jenderal pengusaha berhasil mendapat satu kontrak besar pembangunan sebuah bandar udara modern.
Tapi hubungan Dietje ternyata berlanjut terlalu jauh dengan sang menantu. Tatkala perselingkuhan itu bocor ke keluarga besar, keluar perintah untuk memberi pelajaran kepada Dietje.
Hanya saja, perintah tersebut dipahami dengan kebablasan sehingga menjadi suatu pembunuhan. Dietje ditembak di bagian kepala pada suatu malam tatkala mengemudi sendiri mobilnya di jalan keluar kompleks kediamannya di daerah Kalibata.
Pakde Siradjuddin yang dikenal sebagai guru spiritualnya pun dikambinghitamkan, ditangkap, dipaksa mengakui sebagai pelaku hingga diadili dijatuhi hukuman seumur hidup dan sempat dipenjara bertahun-tahun lamanya.
Namun hukuman itu berhenti saat akhirnya Pakde mendapat grasi dari Presiden BJ Habibi dimana hukuman Pak De dirubah dari seumur hidup menjadi 20 tahun di tahun 1999.
Akhirnya, 27 Desember 2000 Pakde dapat meninggalkan hotel prodeo setelah pemerintah memberikan kebebasan bersyarat. Setelah menghirup udara bebas, Pakde lebih sering mengurusi ayam-ayamnya. Tubuhnya telah lama layu. Kumis tebalnya juga sudah berwarna kelabu.
Kepada setiap orang kembali Pakde menyatakan: “Pakde tidak membunuh Ditje”.
Pakde dalam kasus pembunuhan itu merasa menjadi kambing hitam oleh polisi dan Polda Metro Jaya. “Sebenarnya saat itu polisi tahu pembunuhnya,” kata PakDe. Siapakah pelakunya? Pakde menyebut-nyebut sejumlah nama yang saat itu dekat dengan kekuasaan. Entahlah, sebab di negeri ini keadilan tidak berlaku bagi rakyat kecil
Kasus Pembunuhan Wartawan Udin Yogya (1996)
Udin adalah seorang wartawan Harian Bernas di Yogyakarta yang tewas terbunuh oleh seseorang tidak dikenal. Udin yang bernama asli Fuad Muhammad Syafrudin pada selasa malam 13 Agustus 1996 kedatangan seorang tamu misterius yang kemudian menganiyaya dirinya dan pada tanggal 16 Agustus 1996, Udin meninggal dunia.
Udin tercatat sebagai seorang wartawan yang kritis terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru dan militer.
Kasus Udin menjadi ramai karena Kanit Reserse Polres Bantul, Serka Edy Wuryanto dilaporkan telah membuang barang bukti dengan membuang sampel darah Udin ke laut dan mengambil buku catatan Udin dengan dalih penyelidikan dan penyidikan.
Kasus Udin menjadi semakin gelap akibat hilangnya beberapa bukti penting dalam pengungkapan kasus kematian sang wartawan dan juga terdapat beberapa orang yang dikambing hitamkan atas peristiwa kematian Udin.
Seorang wanita bernama Tri Sumaryani mengaku ditawari dengan imbalan sejumlah uang untuk membuat pengakuan bahwa ia dan Udin telah melakukan hubungan gelap dan suaminya lah yang telah membunuh Udin.
Lalu Dwi Sumaji alias Iwik seorang supir dari Dymas Advertising Sleman diculik di perempatan Beran Sleman lalu dibawa ke Hotel Queen of the South Parangtritis dan dipaksa oleh Serka Edy Wuryanto yang memiliki nama panggilan Franky agar mengaku sebagai pembunuh Udin.
Sebelumnya, di sebuah losmen bernama Losmen Agung yang juga berada di parangtritis Iwik dicekoki berbotol-botol minuman keras hingga mabuk dan disuguhi wanita penghibur dan diberi janji uang, pekerjaan yang layak serta jaminan hidup buat keluarganya.
Di pengadilan, Iwik mencabut seluruh “pengakuan” dirinya dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh Polisi karena ia sebagai korban rekayasa dan berada dibawah ancaman tekanan dan paksaan oleh Kanit Reserse Polres Bantul Serka Edy Wuryanto.
Komnas HAM pun mengadakan investigasi lapangan dan menyimpulkan telah terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia, namun tetap saja Iwik dijadikan sebagai tersangka utama oleh Polisi dan diajukan ke persidangan.
Walau penuh teror dari berbagai pihak, akhirnya Iwik divonis bebas oleh Majelis Hakim dan motif perselingkuhan yang selama ini dihembuskan secara otomatis gugur.
Selain itu, Majelis Hakim juga memerintahkan agar polisi mencari, mengungkap motif, dan menangkap pelaku pembunuhan Udin yang sebenarnya.
Dalam kesaksiannya di persidangan, Iwik menyatakan bahwa dirinya selain menjadi korban rekayasa dan bisnis politik, ia juga dipaksa menjalankan skenario rekayasa Franki alias Serma Pol Edy Wuryanto dengan alasan untuk melindungi kepentingan Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo.
Namun, hingga kini para pelaku kejahatan pembunuhan terhadap sang wartawan yang kritis tersebut tidak ada yang ditangkap atau diadili ke meja hukum.
BACA JUGA:Â 6 Misteri Indonesia yang Belum Terpecahkan
Kasus Penganiayaan dan Pembunuhan Marsinah (Tahun 1993)
Marsinah hanyalah seorang buruh pabrik dan aktivis buruh yang bekerja pada PT Catur Putra Surya (CPS) di Porong Sidoarjo, Jawa Timur. Ia ditemukan tewas terbunuh pada tanggal 8 Mei 1993 diusia 24 tahun. Otopsi dari RSUD Nganjuk dan RSUD Dr Soetomo Surabaya menyimpulkan bahwa Marsinah tewas kerena penganiayaan berat.
Marsinah adalah salah seorang dari 15 orang perwakilan para buruh yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan. Awal masalah ini adalah dari kasus pemogokan dan unjuk rasa para buruh karyawan CPS yang bermula dari surat edaran Gubernur Jawa Timur No. 50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok.
Himbauan tersebut tentunya disambut dengan senang hati oleh karyawan, namun di sisi pengusaha berarti tambahannya beban pengeluaran perusahaan.
Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya (PT. CPS) Porong membahas Surat Edaran tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan PT. CPS memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan upah dari Rp 1700 menjadi Rp 2250.
Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja.
Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap. Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993.
Pada tanggal 30 September 1993 dibentuk tim Bakorstanasda Jatim untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah. Yang menjadi penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim langsung dan Satgas Kadit Reserse Polda Jatim yang beranggotakan tim penyidik Polda Jatim serta Intel Brawijaya.
Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur resmi, termasuk Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya perempuan yang ditangkap. Ia mengalami siksaan fisik maupun mental selama diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V Brawijaya.
Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS, Yudi Susanto, juga termasuk salah satu yang ditangkap.
Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah.
Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI.
Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian kontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar 4 hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas.
Dalam proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah “direkayasa”.
Kasus ini menjadi catatan tersendiri bagi ILO (Organisasi Buruh Internasional), dikenal sebagai kasus 1713. Hingga kini, kasus Marsinah tetap menjadi misteri dan menjadi sejarah kelam ranah hukum di Indonesia.