KERAJAAN MAJAPAHIT – Kerajaan Majapahit bisa dibilang kerajaan terbesar yang ada di Indonesia. Bahkan, wilayah kerajaan ini jauh lebih luas daripada luas Indonesia. Kerajaan yang berdiri sekitar tahun 1293 sampai 1500 Masehi ini mencapai puncak kejayaannya pada masa kekuasaan Hayam Wuruk yang berkuasa sekitar tahun 1350 sampai 189.
Sejarah Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan Hindu-Budha terakhir yang berkuasa. Karena setelah itu, kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia berganti mengganti kerajaan Islam.
Namun, sebelum hancurnya Kerajaan Majapahit, tentu saja kerajaan ini meninggalkan banyak sekali peninggalan bangunan seperti candi. Nah, bagi kamu yang belum tahu candi peninggalan Kerajaan Majapahit, berikut ini beberapa dari candi tersebut.
Candi Sukuh
Candi Sukuh merupakan candi yang termasuk dalam kategori candi Hindu karena terdapat objek pujaan lingga dan yoni. Candi yang terletak di wilayah Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah tersebut tergolong candi yang kontroversial. Karena bentuknya sangat berbeda dengan candi Hindu pada umumnya yang terletak di Indonesia.
Bentuk candi ini tidak lazim dan banyak juga ditemukan objek lingga dan yoni yang menggambarkan seksualitas. Meskipun demikian, candi ini diusulkan ke UNESCO pada tahun 1995 untuk dijadikan salah satu situs warisan dunia.
Candi sukuh pertama kali dilaporkan ditemukan oleh Johnson pada pemerintahan Britania Raya di jawa tahun 1815 M. Ketika itu Johnson bertugas sebagai Residen Surakarta diberi tugas oleh Thomas Stanford agar mengumpulkan data-data yang akan digunakan sebagai bahan menulis bukunya The History of Java. Setelah masa pemerintahan Inggris, pemerintahan belanda melakukan penelitian di situs Candi Sukuh. Kemudian pemugaran pertama kali dilakukan pada tahun 1928.
Candi Sukuh ini terletak di lereng kaki gunung lawu pada ketinggian sekitar 1.186 meter diatas permukaan laut. Candi ini berjarak sekitar 20 kilometer dari kota karanganyar.
Pada struktur bangunannya, Candi Sukuh ini mempunyai beberapa elemen yang mana setiap elemen nya mempunyai maksud dan tujuannya sendiri. Bangunan candi ini juga mempunyai kesan sederhana yang mirip-mirip dengan peninggalan budaya suku maya di daratan Amerika, Meksiko.
Kesannya yang sederhana ini sempat menarik perhatian seorang arkeolog termasyhur dari Belanda, W.F Stutterheim pada tahun 1930 M. Dia memiliki tiga pandangan mengenai Candi Sukuh ini. Pertama, ada kemungkinan pemahat candi ini bukan seorang tukang pahat batu, melainkan tukang pahat kayu dari desa. Kedua, candi dibuat agak tergesa, sehingga terkesan kurang rapi dalam pahatannya. Ketiga, Candi Sukuh tidak megah seperti candi-candi lain karena kala itu Majapahit sedang mengalami krisis politik.
Setidaknya, Candi Sukuh ini mempunyai tiga teras utama, yang mana setiap teras mempunyai maksud tersendiri. Kami akan membahas satu persatu secara global, semoga dapat menambah wawasan kamu.
Teras Pertama- Pada teras pertama terdapat semacam gapura. Pada dinding gapura ini terdapat sebuah sengkala memet yang bertuliskan ‘gapura buta aban wong’ dalam bahasa jawa yang berarti ‘raksasa gapura memangsa manusia’.
Tulisan tadi ternyata masing-masing mempunyai makna angka 9, 5, 3, 1 yang mana apabila dibalik akan diperoleh tahun 1359 Saka atau 1437 Masehi. Para peneliti berpendapat kalau ini adalah tahun berdirinya candi sukuh ini, meskipun bisa saja ini adalah tahun pembangunan gapuranya saja. Sisi samping gapura juga terdapat sebuah sengkala memet berupa gajah bersorban yang menggigit seekor ular.
Teras Kedua- Pada teras yang kedua ini tidak banyak yang bisa didapatkana oleh para peneliti karena kondisinya yang sudah rusak dan sudah tidak jelas lagi bentuknya. Gapuranya sendiri sudah tidak beratap dan juga tidak banyak patung di dalamnya. Pada gapura ini juga ditemukan candrasangkala yang bila diartikan dalam angka menjadi 1378 Saka atau tahun 1456 Masehi.
Teras Ketiga- Teras ketiga ini lebih berisi dibandingkan kedua teras sebelumnya. Teras ketiga memiliki pelataran yang cukup luas dengan candi induk dan beberapa relief serta patung-patung. Diatas candi utama pada bagian tengahnya terdapat bujur sangkar yang terlihat seperti tempat untuk menaruh sesajian. Di Bujur Sangkar ini masing sering terlihat bekas-bekas kemenyan, dupa dan hio yang dibakar, sehingga secara tidak langsung berarti itu menunjukkan kalau tempat ini masih sering digunakan untuk sembahyang.
Sedangkan pada bagian kiri candi induk terdapat panel-panel dengan relief yang terukir di dinding-dindingnya yang menceritakan tentang mitologi utama Candi Sukuh.
Selain candi utama dan beberapa patung kura-kura, garuda serta reliefna, masih ditemukan juga patung-patung dengan wujud yang lain, yaitu bebentuk celeng (babi hutan) dan gajah berpelana. Filosofi gajah berpelana ini salah satunya karena zaman dahulu para bangsawan dan ksatria berkendaraan gajah.
Di sisi lain juga ada sebuah bangunan kecil yang disebut candi pewara, tepatnya berada di depan candi utama. Pada candi pewara ini di bagian tengahnya terdapa patung kecil tidak berkepala yang masih dianggap keramat karena masih sering dibuat tepat sesaji.
Candi Cetho
Sama halnya dengan Candi Sukuh, Candi Cetho juga termasuk sebuah candi yang bercorak Hindu. Candi yang terletak di Dusun Ceto, Desa Gumeng,Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar ini merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit pada masa akhir pemerintahan, yaitu pada tahun 1842.
Pada tahun 1842, seorang yang berwarganegaraan asing, yaitu Van de Vlies membuat laporan pertama kali mengenai candi ini dan dilakukannya penelitian oleh A.J. Bernet Kempers. Sedangkan penggarian untuk kepentingan konstruksi dilakukan oleh Dinas Purbakala Hindia Belanda pada tahun 1928. Penggalian ini merupakan penggalian pertama kali yang dilakukan untuk mengetahui lebih jauh mengenai candi ini. Berdasarkan hasil penelitian terhadap reruntuhan, candi ini memiliki usia yang hampir sama dengan Candi Sukuh.
Candi Pari
Candi pari merupakan candi yang terletak di Desa Candi Pari, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Lokasi candi ini tidak jauh dari pusat semburan lumpur lapindo brantas, yaitu sekitar 2 km dari pusat semburan.
Candi Pari ini didirikan pada masa kekuasaan Prabu Hayam Wuruk. Terdapat sebuah bukti bahwa kerajaan ini didirikan pada masa kekuasaan Prabu Hayam Wuruk, yaitu terdapat batu di atas gerbang yang bertulisan angka tahun 1293 Saka. Angka tersebut sama dengan 1371 Masehi.
Candi Jabung
Candi Jabung bejarak sekitar 5 km dari kecamatan Krakasan atau setengah kilo dari kolam renang Jabung Tirta yang terletak di Jl. Suarabaya-Banyuwangi. Candi Jabung merupakan candi yang termasuk dalam kategori candi Hindu. Candi yang terletak di Desa Jabung, Kecamatan Paiton,Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur ini memiliki arsitektur bangunan yang sangat mirip dengan arsitektur bangunan yang ada di Candi Bahal, Sumatera Utara.
Menurut Agama Budha dalam kitabnya Nagarakertagama, candi ini disebut dengan nama Bajrajinaparamitapura. Dalam kitab tersebut juga menyatakan bahwa Candi Jabung ini pernah dikunjungi oleh Prabu Hayam Wuruk pada tahun 1359 Masehi dalam lawatannya ke Jawa Timur. Pada kitab Pararaton disebutkan bahwa candi ini merupakan makam Bhre Gundal, yaitu salah seorang keluarga raja.
Candi Jabung tberdiri pada sebidang tanah ukuran 35 m X 40 m. Pembenahan konstruksi dilakukan pada tahun 1983-1987. Dari konstruksi ini, luas di sekitar candi bertambah menjadi 20,042 m2 dan terletak di ketinggian 8 mdpl. Candi Jabung terdiri dari dari dua bangunan utama yakni satu bangunan besar dan satu lagi bangunan kecil.Candi kecil ini biasa disebut dengan Candi Sudut. Yang menakjubkan adalah bahan bangunan yang digunakan sudah menggunakan batu bata merah berkualitas tinggi. Batu bata ini diukir sedemikan rupa untuk membentuk relief.
Dilihat dari arsiteknya, bangunan Candi Jabung begitu menarik. Yaitu terdiri dari batur, kaki, tubuh dan atap. Bagian utama candi jabung berdiri diatas bagian kaki yang bertingkat tiga. Dimana bagian tubuh candi jabung berbentuk bulat (silinder persegi 8). Pada bagian atasnya berbentuk stupa. Di dalam tembok candi terdapat lapik arca.
Deskripsi Candi Jabung
Batur
Candi Jagung memiliki ukuran batur 13,11 m x 9,58 . Di atas batur ini terdapat lukisan-lukisan relief yang menggambarkan kehidupan sehari-hari. Sepeti :
Seseorang pertapa memeakai sorban yang sedang berhadapan dengan muridnya.
Dua orang berada di dekat sumur, salah satunya sedang memegang timba.
Dua ekor singa yang saling berhadapan
Kaki Candi
Pada bagian dasarnya berbentuk segi empat. Pada bagian depannya terdapat bagian yang menjorok ke depan. Bagian kaki Candi Jabung dibagi menjadi dua:
Kaki candi tingkat pertama, Dimulai dari bilah atas yang berbentuk agief dengan hiasan daun padina. Kemdian bilah datar yang tingginya kurang lebih 60 cm. Di atas bilah candi, terdapat penyekat yang terdiri dari 20 lapis bata merah atau setinggi 12 m.
Kaki candi tingkat kedua, bentuknya mirip dengan dengan kaki candi tingkat pertama, yaitu dimulai hiasan daun padma dan bilah datar. Dibeberapa bagian terdapat bidang vertikal dengan lebar 50 cm. Dimana bidang tersebut berisi ukiran kala dan ornamen daun-daunan.
Tubuh candi
Pada bagian tubuh Candi Jabung teradapat lukian-lukisan manusia, rumah dan pepohonan. Di sudut tenggara terdapat relief yang menggambarkan seorang wanita sdang naik di punggung ikan. Dalam agama Hindu, relief tersebut mengisahkan tentang pelepsan jiwa Sri Tanjung. Pada bagian tengahnya, tepatnya di pintu terdapat bilik candi berukuran 2,60 x 2,58 m dan tinggi 5,52 m. Di atasnya ada batu penutup yang berukir. Di setiap atas pintu candi, terdapat pahatan berbentuk kala dan pada bagian bawahnya terdapat tonjolan berbentuk persegi dimana bagian tengahnya terpahat kepala naga. Pada bagian gawang pintu, juga terdapat balok batu kali yang bertuliskan angka tahun saka 1276/1354 m yang menandakan tahun pembangunan Candi Jabung.
Atap Candi
Karena tergerus zaman, sebagian besar atapcandi sudah hilang. Dari sisa-sisanya, diperkirakan atap candi berbentuk stupa dengan motif sulur-suluran.
Gapura Wringin Lawang
Dalam bahasa Jawa, Wringin Lawang memiliki arti “Pintu Beringin”. Gapura Wringin Lawang terbuat dari batu bata merah dengan luas dasar 13X11 meter dengan ketinggian 15,5 meter. Gapura ini diperkirakan dibangun pada abad ke-14 dan arsitektur gerbangnya seperti gaya Candi Bentar. Gaya arsitektur seperti ini mudah ditemukan di Bali.
BACA JUGA: Mitos dan Legenda 3 Keris Pusaka Kerajaan Majapahit
Gapura Bajang Ratu
Sama halnya dengan Gapura Wringin Lawang, Gapura Bajang Ratu juga diperkirakan dibangun pada abad ke-14. Gapura ini salah satu gapura besar pada masa keemasan Kerajaan Majapahit. Menurut catatan Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala Mojokerto, gapura ini merupakan pintu masuk bangunan suci untuk memperingati wafatnya Raja Jayanegara.
Bajang ratu adalah sebuah gapura atau candi peninggalan majapahit yang yang berada di desa temon, Kecamatan trowulan, Kabupate Mojokerto, Jawa Timur, Indonesia.
Yang disebut gapura adalah suatu struktur yang merupakan pintu masuk atau gerbang ke suatu kawasan. Gapura sering dijumpai di pura dan tempat suci hindu, kerena gapura merupakan unsur penting dalam arsitek hindu.
Sedangkan candi adalah istilah dalam bahasa indonesia yang merujuk kepada sebuah bangunan keagamaan tempat ibadah peninggalan purbakala dari peradapan hindu-buddha. Bagunan ini diperkirakan dibangun pada abad ke-14 dan adalah salah satu gapura besar pada zaman keemasan majapahit.
Menurut catatan badan pelestarian peninggalan purbakala Mojokerto, candi atau gapura ini berfungsi sebagai pintu masuk bagi bangunan suci untuk memperingati wafatnya Raja jayanegara.
Asal Penamaan Candi
Bajang Ratu dalam bahasa jawa mempunyai arti “raja/bangsawan yang kecil/kredit/cacat”. Dari nama tersebut, gapura ini dikaitkan penduduk setempat dengan Raja Jay negara.
Disebutkan bahwa, ketika ketika dinobatkan menjadi raja, usia jayanegara masih sangat muda (“bujang”/”bajang”) sehingga sehingga diduga gapura ini diberi nama “Ratu Bajang/Bajang Ratu” yang memiliki arti yaitu “Raja kecil”.
Struktur Bangunan Bajang Ratu
Secara vertikal banguan ini memiliki tiga bagian yaitu bagian kaki, tubuh ,dan atap. Mempunyai semacam sayap dan pagar tembok di kedua sisi. Kaki gapura sepanjang 2,48 meter. struktur kaki tersenut terdiri dari bingkai bawah, badan kaki dan bingkai atas. Bingkai-bingkai tersebut tersusun dari sejulam pelipit rata dan berbingkai bentuk genta.
Menurut buku Drs I.G Bagus L Arnawa secara fisik keseluruhan candi ini terbuat dari batu bata merah, kecuali lantai tangga serta ambang pintu bawah dan atas yang dibuat dari batu andesit.
Berdiri di ketinggian 41,49 m dpl, dengsn orientasi mengarah ke timur laut-tenggara. Denah candi berbentu segi empat, memiliki ukuran kurang lebih 11,5 meter (panjang) kali 10,5 meter (lebar), tinggi !6,5 meter, lorong pintu masuk memiliki lebar kurang lebih 1,4 meter.
Lokasi Bajang Ratu
Untuk mencapai lokasi gapura Bajang Ratu, pengunjung harus menempuk sejauh 200 meter dari jalan raya Mojokerto-Jombang, kemudian sampai di perempatan Dukuh Ngliguk, berbelok ke arah timur sejauh 3 km, di Dukuh Keraton, Desa Temon, Kecamatan trowulan, Kabupaten Mojokerto.
Tersimpan banyak peninggalan bersejarah di daerah bekas ibukota Kerajaan Majapahit atau di sekitar lokasi Gapura Ratu di Trowulan, pada zaman keemasan saat kerajaan Majapahit adalah salah satu kerajaan yang disegani di muka bimi.
Tempat atau lokasi Candi Bajang Ratu berada di Dusun Kraton, Desa Temon, berjarak cukup dekat sekitar 0,7 km dengan Candi Tikus. arsitek majapahit memilih lokasi ini.
Mungkin karena merasakan ketenangan dan kedekatan dengan alam yang masih terkontrol di daerah tersebut, yakni dengan adanya kanal yang melintang sebagai bukti di sebelah candi kurang lebih berjarak sekitar 200 meteryang langsung menuju pusat kota majapahit.
Penelitian Bajang Ratu
Menurut penelitian candi diperkirakan dibangun pada abad ke-13 – 14 berdasarkan relief yang terdapat dibangunan candi tersebut. Dan pendiri candi Bajang Ratu masih belum diketahui dengan pasti.
Candi diresmikan pada tahun 1992 oleh Dirjen kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Kepercayaan Lokal
Pengaruh kebudayaan besar Majapahit masih terasa dalam kepercayaan masyaraka trowulan. Menurut kepercayaan lokal, adalah suatu pamali bagi seorang pejabat pemerintahan untuk memasuki pintu gerbang Candi Bajang Ratu.
Candi Tikus
Candi Tikus adalah salah satu peninggalan purbakala dari kerajaan Majapahit yang terletak di dukuh Dinuk, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Candi Tikus terletak di dalam kompleks Trowulan, yang berjarak sekitar 13 kilometer di sebelah tenggara kota Mojokerto.
Kalau dari jalan raya Mojokerto-Jombang, setelah sampai di perempatan Trowulan, kamu cukup belok ke arah timur, melewati Kolam Segaran dan Candi Bajangratu yang terletak di sebelah kiri jalan, dan kemudian sampailah kamu di Candi Tikus.
Candi Tikus juga terletak di sisi kiri jalan, sekitar 600 meter dari Candi Bajangratu. Candi Tikus yang pada awalnya telah terkubur di dalam tanah ditemukan kembali pada tahun 1914 oleh Bupati Mojokerto saat itu.Penggalian situs candi tersebut akhirnya dilakukan berdasarkan laporan dari bupati Mojokerto, R.A.A. Kromojoyo Adinegoro, tentang ditemukannya benda yang menyerupai miniatur candi di sebuah kompleks pekuburan rakyat.
Pemugaran secara menyeluruh akhirnya dilaksanakan pada tahun 1984 – 1985. Sebenarnya, nama ‘Candi Tikus’ hanyalah sebutan yang digunakan masyarakat setempat untuk menyebut bangunan ini. Karena konon, ketika Candi Tikus ditemukan, tempat candi tersebut berada adalah sarang tikus.
Sampai saat ini belum diperoleh sumber informasi tertulis yang menyatakan secara jelas tentang kapan candi ini dibangun, untuk apa, dan oleh siapa. Akan tetapi, dengan adanya miniatur menara dalam candi tersebut, dapat diperkirakan bahwa candi ini dibangun antara abad ke-13 hingga ke-14 masehi, karena menara semacam itu adalah ciri arsitektur di masa tersebut.
Bentuk bangunan Candi Tikus yang menyerupai sebuah petirtaan atau pemandian memicu lahirnya perdebatan di kalangan pakar sejarah dan arkeologi mengenai fungsi dari candi tersebut.Sebagian pakar sejarah berpendapat bahwa candi ini merupakan tempat mandi dari raja dan keluarganya, namun sebagian pakar juga ada yang berpendapat bahwa bangunan tersebut merupakan tempat penampungan dan penyaluran air untuk keperluan penduduk Trowulan pada masa itu..
Akan tetapi, menaranya yang berbentuk meru menimbulkan beberapa dugaan bahwa bangunan candi ini pada zaman dulu juga berfungsi sebagai tempat pemujaan dewa-dewa Hindu.
Candi Surawana
Candi Surawana atau yang juga dikenal dengan sebutan Candi Surowono adalah candi Hindu yang berada di Desa Canggu, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, yang terletak sekitar 25 kilometer ke arah timur laut dari Kota Kediri.
Candi yang nama sebenarnya adalah Candi Wishnubhawanapura ini diperkirakan dibangun pada abad ke-14 guna memuliakan seorang raja dari Kerajaan Wengker yang bernama Bhre Wengker. Kerajaan Wengker adalah salah satu kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Raja Wengker meninggal pada tahun 1388 Masehi. Di dalam kitab Negarakertagama, diceritakan bahwa pada tahun 1361, Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit pernah menyambangi bahkan menginap di Candi Surawana.Kini, keadaan fisik Candi Surawana sudah tidak lagi utuh. Hanya bagian dasarnya saja yang telah direkonstruksi, sementara bagian lainnya belum sepenuhnya. Ukuran Candi Surawana tidak begitu besar, hanya 8×8 meter persegi. Candi yang seluruh bangunannya dibangun menggunakan batuan andesit ini adalah candi Siwa.
Saat ini, seluruh tubuh dan atap Candi Surawana telah hancur tak tersisa. Hanya kaki candi setinggi sekitar 3 meter yang masih berdiri tegak di tempat semula. Untuk naik ke selasar di atas kaki candi terdapat sebuah tangga sempit yang berada di sisi barat. Dari letak tangganya, dapat diambil kesimpulan bahwa candi ini menghadap ke arah barat.
Demikian penjelasan sekilas tentang kerajaan majapahit. Candi-candi peninggalan Kerajaan Majapahit merupakan salah satu cagar budaya yang harus dilindungi.